Menurut survei Indonesia Procurement
Watch (IPW) yang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada
Maret 2011 lalu, terungkap bahwa ternyata 89 persen penyedia barang dan
jasa pemerintah me-lakukan suap untuk memenangkan tender.
Selain itu, 92 persen penyedia barang
dan jasa tersebut juga mengakui pernah melakukan penyuapan dalam
mengikuti tender. Survei yang dilakukan terhadap 792 penyedia barang dan
jasa pengu-saha rekanan pemerintah ini dilakukan di Jakarta, Bekasi,
Tangerang, Depok, dan Bogor.
Alasan pihak penyedia barang dan jasa
ini melakukan penyuapan karena mereka meyakini hampir tak mungkin bisa
memenangi tender tanpa menyuap.
Temuan lain survei ini adalah ternyata
inisiatif pemberian suap justru datang dari pejabat atau panitia
pengadaan. Selain itu, sampai hari ini dari 55 ribu pengaduan yang masuk
ke KPK, 80 persen diantaranya adalah kasus yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah. ”Itu menunjukkan kalau negara ini jika diibaratkan penyakit sudah sangat kronis.
Bahkan data Komisi Pengawas Per-saingan
Usaha (KPPU) mengindikasikan hal yang serupa, yaitu 80 persen dari
laporan yang masuk terkait dengan kasus pengadaan barang dan jasa.
Ini terkait dengan adanya persaingan
yang tidak sehat diantara vendor, yang kebanyakan waktu terjadi pada
saat kompetisi di pengadaan,” ujar Himawan Adinegoro, Deputi Bidang
Pengem-bangan Strategi dan Kebijakan LKPP.
Inilah yang kian menguatkan betapa
pentingnya penerapan sistem lelang elektronik(e-procure-ment)yang
dikembangkan oleh LKPP. Sistem ini menjawab masalah-masalah yang terjadi
di seputar pegadaan barang dan jasa di instansi-instansi pemerintah.
Sebagaimana sudah jamak diketahui bahwa pengadaan barang dan jasa yang dilakukan di instansi-instansi pemerintah merupa-kan salah satu celah untuk korupsi dan melakukan penyimpangan.
Mulai dari permasalahan adanya
persekongkolan antara penyedia dengan panitia pengadaan, penyimpangan
pagu belanja, proses pengadaan yang kurang transparan dan tidak fair,
dan lain sebagainya.
”Potensi uang negara yang
pembelanjaannya melalui proses pengadaan kurang lebih 35 sampai 40
persen dari APBN, berarti mencapai sekitar Rp 450 triliun. Dana yang
sedemikian besar itu mes-tinya dikelola dengan sistem yang baik.
E-procure-mentini memungkinkan prinsip-prinsip lelang yaitu efisien,
efektif, transparan, bersaing, tidak
diskriminatif, terbuka, dan akuntabel,
bisa terlak-sana. E-procurementini seperti mempersiapkan sebuah pasar,
dan karena sifatnya elektronik sehngga pasar tersebut bisa diawasi oleh
banyak orang,” kata Kepala LKPP Agus Rahardjo.
Upaya LKPP dalam mendorong penerapan
pe-ngadaan dengan sistem e-procurementini cukup signifikan. Ini bisa
dilihat dari jumlah Layanan Pe-ngadaan Secara Elektronik (LPSE) yang
kini sudah mencapai 288 buah dan tersebar di 32 provinsi.
Padahal pada waktu pertama kali
diluncurkan pada 2008, jumlah LPSE hanya 11 buah. Menurut data per 3
November 2011, jumlah pengguna LPSE sebanyak 591 instansi. Nilai yang
dilelang menca-pai lebih dari Rp 50 triliun, dengan jumlah paket ada
23.271 paket.
Jumlah efisiensi yang berhasil dilakukan
dengan adanya sistem ini mencapai 12 persen (lihat pada tabel). Selain
menguntungkan bagi pemerintah, sistem e-procurementjuga memberikan
keuntungan tersendiri bagi pihak penyedia. Mulai dari awal un-tuk ikut
tahapan pelelangan misalnya. Bayangkan, setidaknya untuk mengikuti satu
kali pelelangan saja, pihak penyedia akan mengeluarkan uang minimal Rp 1
juta, yang digunakan untuk peng-gandaan dokumen, transportasi, dan
lainnya. Itu hanya untuk satu paket dan satu penawaran saja.
Bagaimana jika paket yang ditawarkan ada 25 ribu paket dan diikuti rata-rata oleh 10 penyedia?
Inilah manfaat dari adanya sistem yang
bisa me-mangkas biaya-biaya tersebut, dan memungkin-kan transaksi tetap
bisa terlaksana tanpa adanya keterlibatan fisik.
Selain itu, sistem e-procurement juga secara tidak lang-sung memicu terciptanya sebuah pasar yang semakin kompetitif dan sehat.
Siapapun bisa mengajukan diri menjadi
penyedia, dan bersaing secara fairdalam memberikan penawaran. Mela-lui
sistem ini, setiap penyedia memiliki kesempat-an yang sama, diperlakukan
secara adil dan tidak diskriminatif, serta jaminan adanya transparansi
lewat sistem yang bisa dipantau bersama-sama.
Dengan meminimalisir tatap-muka antara penye-dia dan panitia pengadaan, terjadinya kongka-likong juga bisa semakin dihilangkan.
”E-procurementitu pada prinsipnya adalah
mengubah pola pikir, dari sesuatu yang sifatnya manual dan rawan
penyalahgunaan menjadi sistem yang elektronik sistemik yang mengurangi
tatap muka, sehingga otomatis penyalahgunaan akan berkurang,” imbuh Agus
Prabowo, Deputi Bidang Pengembangan dan Pembinaan Sumber Daya Manusia
LKPP.
Sistem e-procurementini secara perlahan
nanti-nya diharapkan akan dapat menggantikan sistem pengadaan manual
yang memang sangat rawan dalam memberi celah untuk tindak
penyelewe-ngan. Inilah inovasi untuk mewujudkan peng-adaan yang bersih
dan bebas korupsi yang mem-butuhkan komitmen bersama. Semoga.
Komentar
Posting Komentar