HANSIP / LINMAS
SEJARAH, CATATAN SERTA PERAN LINMAS DITENGAH
MASYARAKAT
Tulisan ini adalah tentang Satuan
Perlindungan Masyarakat (Satlinmas) yang dulu dikenal dengan istilah Pertahanan Sipil (Hansip). Tulisan ini adalah ringkasan hasil kajian pustaka dan uji petik di
lapangan yang dilakukan pada selama penulis menjadi Kepala Bidang Linmas di
Provinsi Jawa Barat. Tulisan ini
bertujuan menelaah secara historis dan filosofis tentang eksistensi Satlinmas
dalam konteks kekinian. Untuk mendalaminya, tulisan ini menggunakan metode deskriptif
dipadukan pendekatan kualitatif untuk menggali peran dan eksistensi Satlinmas.
Hasil tulisan menunjukkan,
keberadaan Satlinmas masih meninggalkan banyak persoalannya, di antaranya,
pertama, mengenai dasar hukum pembentukan Satlinmas. Sampai kini, belum ada
regulasi baru yang mengatur Satlinmas. Regulasi yang ada sudah terlalu uzur dan
tidak bisa menangkap perkembangan zaman. Kedua, rumusan konsep dan tugas pokok
dan fungsi Satlinmas tumpang tindih dengan institusi lain. Ketiga, citra
Satlinmas di masyarakat semakin memudar dan cenderung dilecehkan. Keempat,
penggabungan Satlinmas ke dalam Polisi Pamong Praja dianggap tidak tepat,
karena beda filosofi. Kata kunci: satuan perlindungan masyarakat, pertahanan
sipil, bencana alam, ketentraman dan ketertiban masyarakat, dan sistem keamanan
lingkungan
Oleh
Drs
Budy Hermawan, MSi
Kabid Linmas Prov Jawa Barat
PENDAHULUAN
Judul di atas senyatanya
tidaklah berlebihan jika kita jujur menilai eksistensi Satuan Perlindungan
Masyarakat (Satlinmas) dewasa ini. Tulisan ini di susun menjelang
pelaksanaan Hari Ulang Tahun Perlindungan Masyarakat ( LINMAS ) KE 59 sebagai
ilustrasi pelaksanaan Linmas khususnya di Jawa Barat. Saat ini Kondisi Satlinmas terkesan
ala kadarnya kalau tidak mau dikatakan memprihatinkan. Tidak ada keunggulan khusus, sehingga patut
dipersoalkan keberadaannya. Sejauh ini, Satlinmas hanya dikenal sebagai penjaga
keamanan kantor desa/kelurahan/kecamatan atau pun sekadar menjadi satuan “seksi
sibuk” saat ada kenduri di rumah warga. Padahal, dilihat dari definisinya,
menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan Masyarakat Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa Satuan Perlindungan
Masyarakat yang selanjutnya disebut Satlinmas adalah Organisasi yang dibentuk
oleh Pemerintah Desa/Kelurahan dan beranggotakan warga masyarakat yang
disiapkan dan dibekali pengetahuan serta keterampilan untuk melaksanakan
kegiatan penanganan bencana guna mengurangi dan memperkecil akibat bencana
serta ikut memelihara keamanan,
ketentraman dan ketertiban masyarakat, kegiatan sosial kemasyarakatan. Praktik di lapangan juga
menunjukkan, Satlinmas merupakan warga masyarakat yang ikut memelihara
keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat, termasuk kegiatan sosial
kemasyarakatan. Namun, fungsi-fungsi itu sekarang seakan tidak memunyai greget
lagi dan pudar di mata masyarakat. Fungsinya direduksi sebagai penjaga gardu
ronda dan pukul kentongan. Malahan, di
tengah pamornya yang memudar, Satlinmas pun digelayuti sejumlah persoalan.
Pasalnya, sebagian besar anggota Satlinmas tampak uzur dan berpenampilan lemah
fisik. Sementara, untuk mencari pengganti anggota yang sudah uzur, sekarang ini
sangat sulit. Para pemuda pada umumnya tidak mau menjadi anggota Satlinmas.
Persoalan menjadi kian kompleks dan rumit kalau kita telaah eksistensi
Satlinmas dari sisi regulasi, tugas pokok dan fungsi (tupoksi), serta hal lain
dalam konteks kekinian. Oleh karenanya, tulisan ini menjadi relevan. Reposisi
dan revitalisasi peran dan fungsi Satlinmas kiranya perlu dilakukan. Sehingga,
didapatkan pemahaman yang utuh tentang keberadaan fungsi sejati dari Satlinmas.
Agar mudah dibahas, patut juga diuraikan tentang latar belakang berdirinya
Satlinmas. Sejarah perjalanan bangsa ini membuktikan, kehadiran Perlindungan
Masyarakat (dulu disebut Pertahanan Sipil, disingkat Hansip) memiliki
kontribusi yang positif. Dimulai pada
waktu pemerintahan Hindia Belanda, Pemerintah Belanda membentuk sebuah
organisasi yang bertugas melindungi masyarakat dari serangan udara musuh. Pada
waktu itu (1939) dikenal dengan nama Lucht Bescherming Deints atau LBD
(Perlindungan Pemecah Udara). Organisasi itu dibentuk dari tingkat pusat sampai
daerah dan dikoordinasikan oleh pejabat pemerintahan sipil. Kegiatannya
meliputi penerangan masyarakat, pemberitaan serangan udara musuh, perlindungan,
penyamaran, pemadam kebakaran, pertolongan pertama penderita kecelakaan,
pengungsian dan sebagainya. Kemudian, pada masa pendudukan Jepang, Pemerintah
Jepang membentuk organisasi semacam LBD yang disebut Hansip pada 1943 (Istanto,
1992). Sistem pertahanan Jepang pada
waktu itu diarahkan untuk mengadakan pertahanan rakyat total; dan untuk pengerahan rakyat,
organisasi itu dibentuk sampai dengan pada lingkungan masyarakat yang terkecil
dalam bentuk Gumi atau RT yang dikenal sekarang. Organisasi bentukan Jepang itulah yang
menjadi embrio Hansip, organisasi itu dirangkaikan dengan kepentingan
pertahanan dan perlindungan masyarakat terhadap serangan musuh. Selain itu, ia
juga dibebani tugas penjagaan keamanan, pengumpulan dana, pengaturan distribusi
bahan makanan dan sebagainya. Lalu, pada masa awal kemerdekaan, organisasi
Hansip dilanjutkan eksistensinya. Pemerintah Indonesia menata dan mewadahi,
mengerahkan, serta mengendalikan penyelenggaraan upaya pertahanan keamanan
negara melalui suatu konsepsi Perlawanan Rakyat Semesta yang mengandung arti
kesadaran, tekad, sikap dan pandangan rakyat Indonesia untuk melawan dan
menghancurkan setiap bentuk ancaman. Keikutsertaan seluruh rakyat Indonesia
secara spontan dalam penyelenggaraan upaya pertahanan keamanan negara dengan
maksud untuk membuka seluas-luasnya kepada warga negara agar tertampung guna
ikut serta dalam upaya pembelaan negara ini diwadahi dalam organisasi Hansip
dan Wanra (Perlawanan Rakyat). Perlu diketahui, Wanra didasarkan pada security
defence approach, sedangkan Hansip didasarkan pada prosperity approach
(Istanto, 1992:168). Seiring berjalannya waktu, pada 20 Mei 1960 Indonesia
resmi menjadi anggota International Civil Defence Organization (ICDO). Posisi
Indonesia dalam organisasi internasional itulah yang kemudian mengilhami
pembentukan organisasi Pertahanan Sipil (Hansip) dan organisasi Perlawanan
Rakyat (Wankamra) secara nasional, dengan fungsi bidang perlindungan
masyarakat, ketahanan nasional, pemerintahan, dan kesejahteraan rakyat. Sejarah
mencatat, organisasi Hansip di Indonesia pertama kali diatur oleh Keputusan
Wakil Menteri Pertama Urusan Pertahanan/Keamanan No. MI/A/72/62 tertanggal 19
April 1962 tentang Peraturan Pertahanan Sipil dan sampai sekarang tanggal
tersebut diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Pertahanan Sipil di seluruh
Indonesia. Dalam rangka penyempurnaan organisasi Pertahanan Sipil dan sistem
pembinaan potensi rakyat sebagai perwujudan dan kewajiban rakyat dalam usaha
pembelaan negara, maka pada 12 Agustus 1972 lahirlah Keppres No. 55 Tahun 1972
tentang Penyempurnaan Organisasi Pertahanan Sipil dan Organisasi Perlawanan dan
Keamanan Rakyat dalam Rangka Penertiban Pelaksanaan Sistem Pertahanan dan
Keamanan Rakyat Semesta. Dalam konteks itu, dengan apik Crouch (1988)
mencandrakan bagaimana Orde Baru melakukan “pembinaan” seluruh potensi rakyat
dalam hubungannya dengan pertahanan negara dan mobilisasi politik (lihat
penjelasan Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia
Bandingkan juga dengan
tulisan Lee (2009) dalam (Un) Civil Society and Political Change in Indonesia).
Keppres tersebut menyatakan, perlindungan masyarakat (Linmas) merupakan fungsi
utama dari pertahanan sipil yaitu mengorganisasikan rakyat dan membentuk
Satlinmas untuk menanggulangi/mengurangi akibat-akibat dari serangan pihak
musuh dari luar, bencana alam, dan
bencana lainnya, agar kerugian jiwa dan materil dapat dihindarkan/dibatasi. Maka, pada tanggal yang sama Organisasi
Pertahanan Sipil yang semula dibina oleh Departemen Pertahanan Keamanan
diserahkan kepada Departemen Dalam Negeri melalui Keppres No. 56 Tahun 1972
tentang Penyerahan Pembinaan Organisasi Pertahanan Sipil dari Departemen
Pertahanan Keamanan kepada Departemen Dalam Negeri. Seiring dengan perkembangan ketatanegaraan
Republik Indonesia dan pertumbuhan Angkatan Bersenjata, maka pada 19 September
1982 lahirlah UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Negara di
mana UU tersebut menguatkan posisi dan tugas pokok organisasi Hansip. Dalam aturan itu Hansip melaksanakan fungsi
Linmas dalam penanggulangan akibat bencana perang, bencana alam atau bencana
lainnya maupun memperkecil akibat malapetaka dengan menempatkan Hansip sebagai
komponen khusus di bidang pertahanan keamanan rakyat semesta. Sebagai tindak
lanjut Pasal 42 UU No. 20 Tahun 1982 yang mengamanatkan mobilisasi dan
demobilisasi harus diatur dengan UU, maka pada 3 Oktober 1997 lahirlah UU No. 27
Tahun 1997 tentang mobilisasi dan demobilisasi yang menyebutkan, ”mobilisasi
dikenakan terhadap warga negara yang termasuk Perlindungan Masyarakat” sebagai
komponen khusus kekuatan pertahanan keamanan negara yang mampu berfungsi
membantu masyarakat menanggulangi bencana dan memperkecil akibat
malapetaka. Dalam Penjelasan Umum juga
disebutkan mobilisan yang melaksanakan fungsi ketertiban umum, perlindungan
rakyat, perlindungan masyarakat dan warga negara yang karena keahliannya
diperlukan, serta awak sarana dan prasarana nasional yang tidak langsung
membantu pertempuran diorganisasikan dalam perlawanan rakyat tidak bersenjata.
Namun, sejak dicabutnya UU No. 20 Tahun 1982 dan digantikan dengan UU No. 3
Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang menempatkan Satlinmas sebagai
komponen cadangan, maka sebagai dasar hukumnya organisasi Hansip yang pada saat
itu telah berubah nomenklatur menjadi organisasi Linmas (berdasarkan Rapat
Koordinasi Markas Wilayah Pertahanan Sipil Tahun 2000) kembali mengacu kepada
Keppres No. 55 Tahun
1972 sehubungan Keppres tersebut belum dicabut atau diganti dengan aturan yang
baru.
Merujuk aturan yang berlaku
saat ini, ada beberapa tugas pokok yang diemban Satlinmas. Pertama, membantu upaya pertahanan negara. Menurut
Pasal 1 Angka 4 dan Pasal 6 UU No. 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi, mobilisan
adalah warga negara anggota Rakyat Terlatih, warga negara anggota Linmas, dan
warga negara yang karena keahliannya dimobilisasi. Malah, pada UU No. 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara khususnya Pasal 8 Ayat 1 diterangkan, salah satu
komponen cadangan pertahanan negara adalah Satlinmas. Patut diketahui, berkait
dengan itu, dalam RUU Komponen Cadangan yang sedang digarap oleh Kementerian
Pertahanan dan TNI, pada bagian komponen pendukung non-kombatan, elemen
Hansip/Linmas dimasukkan menjadi bagian dari komponen pertahanan negara. Kedua, membantu penanggulangan bencana. Dalam UU
No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, khususnya pada Pasal 4 Huruf
a, Pasal 6 Huruf b, dan Pasal 8 Huruf b menyebutkan, tanggung jawab pemerintah
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi perlindungan masyarakat
dari dampak bencana. Dalam konteks itulah, Satlinmas memegang peranan
penting. Kemudian dalam Keppres No. 55
Tahun 1972 tentang Penyempurnaan Organisasi Pertahanan Sipil dan Organisasi
Perlawanan dan Keamanan Rakyat dalam Rangka Penertiban Pelaksanaan Sistem
Hankamrata pada Pasal 6 juga telah ditegaskan, tugas pokok Hansip adalah
merencanakan, mempersiapkan, dan menyusun serta mengerahkan potensi rakyat
dalam bidang perlindungan masyarakat untuk mengurangi/memperkecil akibat-akibat
bencana perang/bencana alam serta mempertinggi ketahanan nasional. Belakangan,
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 131 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah, pada Pasal 1 Huruf d
ditegaskan kembali, penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi di daerah
dilakukan secara berjenjang, meliputi Kepala Desa/Lurah selaku Kepala Satuan
Hansip/Linmas. Mereka bertanggung jawab
mengoordinasikan dan mengendalikan kegiatan masyarakat dalam pelaksanaan
penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi di wilayah Desa/Kelurahan,
mulai dari tahap sebelum, pada saat, dan sesudah terjadi bencana dan
pengungsian. Ketiga, membantu kegiatan
pemilu/pemilukada. Dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, pada Pasal 152 Ayat 4 disebutkan, penanganan ketenteraman, ketertiban,
dan keamanan di setiap TPS dilaksanakan oleh 2 (dua) orang petugas yang
ditetapkan oleh PPS.
Penjelasannya, petugas yang
menangani ketenteraman, ketertiban, dan keamanan dalam ketentuan ini berasal
dari satuan Hansip/Linmas. Tugas ini senyatanya juga tercantum dalam Pasal 13
Ayat 3 dari PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Keempat,
membantu kegiatan sosial kemasyarakatan. Dalam keadaan normal, Satlinmas
diikutsertakan dalam membantu kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Sebagai contoh, kegiatan pernikahan di lingkungan setempat, kegiatan keagamaan,
serta kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan di lingkungannya
bertugas. Kelima, membantu memelihara
ketentraman dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Dalam rangka memelihara
kamtibmas, Satlinmas juga diikutsertakan dalam pengamanan wilayah serta ikut
terlibat dalam kegiatan sistem keamanan lingkungan (siskamling).
menjadi istilah yang lebih
sipilistik. Dalam konteks ini, termasuklah istilah Hansip menjadi Linmas.
Namun, sayangnya, perubahan itu tidak dilandasi aturan hukum yang jelas
(Rinakit, 2005; bandingkan juga dengan penjelasan Rüland, 2013). Menjadi rancu
lagi, dalam konteks internasional, justru istilah Hansip-lah yang lebih
dikenal. Ini tercermin dengan berdirinya organisasi Hansip sedunia, ICDO
(http://www.icdo.org/ Home.aspx?lng=2 (diakses pada 20 Desember 2013 pukul 9.52
wib). Organisasi itu pun mencantumkan, salah satu tupoksi Hansip (civil
defence) adalah perlindungan masyarakat. Jadi, terminologinya bukan Linmas atau
civil protection, melainkan Hansip. Linmas tidak ada contoh praktiknya di dunia
internasional alias tidak dikenal.
Sesuai pasal
1 ayat (8) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2020 , dijelaskan
bahwa Pelindungan Masyarakat yang selanjutnya disebut Linmas adalah segenap
upaya dan kegiatan yang dilakukan dalam rangka melindungi masyarakat dari
gangguan yang diakibatkan bencana serta upaya untuk melaksanakan tugas membantu
penanganan bencana guna mengurangi dan memperkecil aibat bencana, membantu
memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat, membantu kegiatan
social kemasyarakatan, membantu memelihara ketentraman dan ketertiban pada saat
pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah , dan pemilihan umum, serta
membantu upaya pertahanan Negara. Selanjutnya Sat Linmas yang berada di
Desa/Kelurahan di bentuk menjadi 5 regu antara lain ; Regu Kesiapsiagaan dan
Kewaspadaan Dini, Regu Pengamanan, regu Pertolongan Pertama pada Korban bencana
dan kebakaran, Regu Penyelamatan dan evakuasi serta Regu Dapur Umum. Di satu sisi, sejak awal tugas
pokok Satlinmas adalah melaksanakan kegiatan penanganan bencana. Sementara, di sisi lain, pembentukan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB)
dan keluarnya UU No. 24 Tahun 2007 jelas-jelas telah mengambil alih
peran Satlinmas. Tugas Linmas saat terjadi bencana alam tidak lagi terlihat.
Hadirnya BNPB senyatanya juga telah mereduksi peran Satlinmas dalam
memobilisasi penanggulangan bencana.
Sebab, secara asas, Satlinmas
mengedepankan kerja sukarela, bukan bayaran. Kalau terjadi bencana, aspek
mobilisasi sukarelawan bisa berubah menjadi mobilisasi berbasis komersialisme,
dan BNPB senyatanya tidak punya sukarelawan, seperti halnya Satlinmas. Para pejabat
yang membidangi urusan Linmas pun kerap berkelit dan mengatakan, tidak ada
tumpang tindih antara tugas Satlinmas dan BNPB atau pun Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD). Memang, bisa dikatakan demikian. Sebab, selama ini
sangat sedikit atau mungkin tidak pernah BNPB/BPBD menggunakan aparat Satlinmas
di lapangan ketika terjadi bencana.
Pasalnya, banyak anggota Satlinmas yang tidak terlatih dalam
menanggulangi bencana. Sekadar perbandingan, Hal ini sangat berbeda dengan
peran Satlinmas yang berlaku di Selandia Baru. Di sana, peran Satlinmas cukup
sentral, selain terlatih, Satlinmas juga diberi kewenangan besar dalam
melakukan koordinasi dengan pihak terkait guna menangani bencana secara cepat
dan tepat. Belum lagi, kebanyakan anggota Satlinmas sudah uzur. Sehingga, tidak
berperan ketika penanggulangan bencana dilakukan oleh BNPB/BPBD. Jadi, kalau
memang tidak berperan, bagaimana bisa dikatakan ada tumpang tindih kewenangan
dan peran di lapangan? Ketujuh, citra Satlinmas.
Rendahnya citra Satlinmas di mata masyarakat akibat opini publik yang terbentuk
dari media cetak maupun elektronik/audiovisual yang hanya menampilkan sisi
negatif Satlinmas. Akibatnya, masyarakat tidak lagi melihat Satlinmas sebagai
aparatur negara yang mempunyai peran dan fungsi penting, tetapi hanya sebagai petugas
yang tidak mempunyai
pekerjaan dan keahlian apa-apa selain berjaga di pos ronda.
Melihat pelbagai persoalan yang
diuraikan di atas, banyak hal yang mesti diupayakan oleh pelbagai pihak,
utamanya Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai Pembina Kelinmasan di Tingkat
Kabupaten/Kota serta Ditjen PUM Kementerian Dalam Negeri untuk membenahi Satlinmas. Dari
sekian banyak masalah, agaknya kedudukan dan tupoksi Satlinmas dan
Peningkatan Kapasitas SDM adalah yang paling
menonjol untuk segera dicarikan solusinya.
Kalau ditelaah secara saksama, merujuk pada pelbagai peraturan yang ada,
tupoksi utama Satlinmas adalah penanggulangan bencana. Adapun tupoksi yang lain
seperti pengaman pemilu dan pemilu kepala daerah, sifatnya hanya insidentil. Malah, kalau hanya terlibat sebagai penjaga
ketertiban dalam pemilu, harusnya tidak perlu dilembagakan khusus, anggota
Satlinmas cukup direkrut oleh KPU/KPUD saja. Dengan begitu, jelas eksistensi
Satlinmas menjadi mubazir setelah adanya BNPB/BPBD. Apalagi di kementerian lain
juga ada satuan yang memiliki tugas dan peran yang sama dengan
Satlinmas. Kementerian Sosial, misalnya, punya satuan berjuluk Taruna Siaga
Bencana (Tagana) yang tersebar di 33 provinsi, dan saat ini sudah terdapat lebih dari 29 ribu relawan. Kementerian
Sosial pun menyiapkan sarana latihan penanganan bencana alam bernama Tagana
Center, sehingga masyarakat siap menghadapi bencana yang kapan saja
datang. Tagana Center merupakan tempat
ideal latihan penanganan bencana. Kementerian Sosial sebagai lembaga negara
memberikan logistic supporting system, termasuk capacity building, manajemen
bencana dengan membangun pusat pelatihan yang lengkap dengan simulasi bencana
di kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat. Sementara, Satlinmas tidak punya sarana
latihan seperti itu. Selain itu, dengan berubahnya paradigma pemerintahan dari
sentralistik ke demokratis desentralistik, maka menempatkan urusan Linmas di
jajaran Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah menjadi kurang relevan
lagi. Kita mesti jujur mengatakan, yang
paling membutuhkan keberadaan Linmas sekarang ini sebenarnya adalah TNI dan
Kementerian Pertahanan, karena dianggap masih relevan dengan doktrin Pertahanan
Rakyat Semesta. Untuk itu, sudah saatnya
dipikir ulang tentang eksistensi Satlinmas di masa depan. Sebaiknya diadakan
workshop nasional yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Pertahanan, BNPB/BPBD dan pemerintah daerah guna mengkaji secara komprehensif dan
holistik eksistensi Satlinmas. Sehingga,
didapatkan rumusan yang utuh tentang konsepsi, tugas pokok dan fungsi, serta
tingkat obyektivitas tentang perlu tidaknya Satlinmas dipertahankan.
Linnas ituns3harus di.masukan di UU Desa. Sebagai tenaga keamanan Wilayah atau Lingkungan Desa itu sendiri. Sarana dan prasarana nya di biaya dari dasa. Kerjasamanya Dengan Babinkantibmas.
BalasHapus