Mengajar itu bukan sekadar menyampaikan materi. Apalagi kalau pesertanya adalah 30 orang ASN Kota Depok yang datang dengan semangat, rasa ingin tahu tinggi, dan selera humor yang kadang bikin saya lupa ini pelatihan serius. Selama 2 hari Saya mendapat kesempatan menjadi fasilitator pelatihan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJP) Level 1 yang diselenggarakan oleh BPSDM Provinsi Jawa Barat. Dan ya, ini bukan pelatihan biasa.
Sejak hari
pertama, saya tahu bahwa kelas ini akan seru. Wajah-wajah antusias itu langsung
saya sambut dengan satu kalimat pembuka, “Ada yang disuruh jadi Pejabat
Pengadaan sebelum sempat tahu singkatan PBJ itu apa?” Ternyata banyak yang
senyum-senyum sambil angkat tangan. Pertanyaan susulan ; angkata tangan , Siapa
peserta yang sudah tamat membaca 6 modul PBJ ini ?,,,..di tunggu beberapa saat
tidak ada yg angkat tangan,,,,hikkks.
Siapa yang
udah buka modul PBJ ini ?..dengan wajah ragu,,beberapa peserta mulai angkat
tangan…ada celetukan dr peserta ; baru dibuka aj pak,,,belum sempat di baca,,,
Materi
pertama yang kami bahas adalah Pengantar Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Saya tekankan bahwa PBJP itu bukan sekadar proses belanja pemerintah, tapi
instrumen strategis untuk mencapai tujuan pembangunan. Di sinilah saya coba
'membumikan' prinsip-prinsip dasar: efisien, efektif, transparan, terbuka,
bersaing, adil dan akuntabel. Dengan bahasa ringan, saya bilang, “Kalau
belanja pribadi aja bisa ribut soal harga dan kualitas, apalagi ini pakai duit
negara!” Peserta tertawa, tapi mereka paham maksudnya.
Lanjut ke materi
kedua: Perencanaan PBJ. Ini bagian krusial yang sering dilupakan. Saya ajak
peserta merenung: kenapa banyak pengadaan bermasalah? Karena perencanaannya
seperti dadakan. Saya pakai analogi, “Mau belanja ke pasar aja kita biasanya
bikin daftar, masa pengadaan negara nggak direncanain?” Di sini peserta
mulai banyak cerita tentang pengalaman mereka menyusun RUP, kesulitan di tahap
identifikasi kebutuhan, dan koordinasi yang kadang seperti main tebak-tebakan.
Kami berdiskusi hangat—serius tapi tetap menyenangkan.
Materi ketiga adalah Pemilihan Penyedia. Di sinilah suasana kelas mulai ‘hidup total’. Saya bawakan simulasi sederhana dengan studi kasus fiktif perusahaan "PT Angin Ribut Sejahtera". Peserta langsung antusias. Mereka belajar mengidentifikasi metode pemilihan, membuat kerangka dokumen pemilihan, hingga membedakan penunjukan langsung dan pengadaan langsung. Ada yang nyeletuk, “Wah ini vendor kayaknya mirip yang kemarin ngasih penawaran
pakai kertas
fotokopian buram.” Kami semua tertawa. Tapi poinnya sampai: memilih
penyedia bukan asal tunjuk, tapi harus punya dasar yang sah dan masuk akal.
Di hari
terakhir, kami lakukan sesi Try Out atau Latihan Soal.
Nah, di sinilah suasana kelas yang sebelumnya penuh canda tiba-tiba berubah
drastis. Begitu soal dibagikan, ruangan mendadak hening. Tak ada suara selain
detik jam dan bunyi bolpoin yang sesekali berhenti karena ragu. Beberapa
peserta tampak mengernyit, menatap layar atau kertas soal seperti sedang
menghadapi teka-teki nasional.
Saya sempat
bercanda, “Tenang, ini bukan UN, nggak ada ranking. Yang penting lulus
semua!” Tapi candaan itu hanya memancing senyum tipis, lalu mereka kembali
tenggelam dalam soal. Tegang tapi fokus. Ini bukan tegang karena takut, tapi
karena mereka ingin benar-benar paham dan menjawab dengan yakin.
Dan hasilnya?
Cukup membanggakan. Rata-rata nilai kelas mencapai angka 80%, sebuah
indikasi bahwa peserta tidak hanya hadir secara fisik, tapi juga betul-betul
menangkap inti materi yang disampaikan. Ini angka yang solid, menunjukkan bahwa
pemahaman mereka sudah berada di jalur yang tepat menjelang uji kompetensi.
Setelah waktu selesai, kami bedah satu per satu soal. Diskusinya hidup. Peserta saling menyampaikan alasan pilihannya, ada yang mendebat soal yang dianggap menjebak, dan ada juga yang merasa "Ah, ini tadi saya keburu klik yang salah!" Tapi dari situ, terlihat betul bahwa mereka belajar aktif, bukan pasif.
Satu hal yang
paling saya apresiasi: peserta dari Depok ini tidak malu bertanya. Mereka
terbuka menyampaikan hal yang belum dipahami. Bahkan beberapa menyampaikan
studi kasus nyata yang sedang mereka hadapi di kantor. Saya senang, karena di
situ terjadi transfer pengetahuan dua arah. Saya bukan satu-satunya yang
memberi, saya juga belajar dari pengalaman mereka.
Sebelum kami
akhiri pelatihan, saya sampaikan harapan sederhana tapi penting:
“Teman-teman
ASN Kota Depok, hari Kamis nanti kalian akan menghadapi uji kompetensi. Saya
tahu itu bikin deg-degan. Tapi saya juga tahu, kalian sudah belajar,
berdiskusi, dan mencoba memahami bukan hanya teori, tapi juga praktik. Jadi
jangan panik. Yakinlah, yang kalian dapat selama pelatihan ini cukup untuk
menjawab soal dengan percaya diri dan benar. Yang penting tenang, baca soal
baik-baik, dan jangan buru-buru. Kalau kalian bisa memahami prinsip PBJP secara
utuh, maka insyaAllah kalian akan lulus dengan hasil terbaik.”
Saya tahu,
lulus uji kompetensi bukan akhir. Tapi ini adalah tonggak penting. Karena ASN
yang paham PBJP adalah aset berharga untuk menjadikan tata kelola pemerintah
lebih akuntabel dan profesional. Dan saya yakin, peserta dari Kota Depok sudah
berada di jalur itu.
Catatan Penutup
Mengajar 30 orang peserta ASN dari Kota Depok adalah pengalaman yang menyenangkan dan bermakna. Mereka datang bukan hanya untuk mengisi kursi pelatihan, tapi benar-benar ingin menjadi bagian dari perubahan. Semoga mereka tidak hanya lulus uji kompetensi, tapi juga lulus dalam ujian sebenarnya: pengadaan di dunia nyata yang penuh dinamika.
Cipageran , 20 Mei 2025
Komentar
Posting Komentar