Catatan Cerita dari Ruang Pelatihan: Kepemimpinan Pancasila dan 40 Wajah Penuh Harapan
Pagi itu, udara Cipageran terasa segar—kombinasi antara dinginnya dataran tinggi dan hangatnya semangat 40 peserta PKP Angkatan 2 yang sudah siap menyambut Agenda 1: Etika dan Integritas Kepemimpinan Pancasila. Sebagai widyaiswara, saya sudah terbiasa memulai hari lebih awal. Tapi kali ini, jantung saya sedikit berdebar. Bukan karena dingin atau kafein berlebih, tapi karena jadwal hari ini benar2 membuat saya gelisah, Dimana 2 jadwal dilaksanakan berbarengan . hari ini saya harus memegang 2 kelas sekaligus; yakni Kelas pelatihan PBJ Kota Depok dan Kelas PKP Jabar Angkatan II secara klasikal di kampus BPSDM Jabar. saya tahu betul: sesi 2 kelas ini bukan hanya soal mentransfer materi, melainkan menanamkan nilai. Dan nilai, seperti cinta, tak bisa dipaksakan.
Saya melangkah ke ruangan pelatihan
dengan satu prinsip: "Kalau mau berbicara tentang integritas, jangan
menggurui. Berceritalah." Maka saya mulai dengan kisah nyata. Tentang
seorang ASN yang menolak suap meski tahu kontraknya akan diputus. Tentang
pegawai pelayanan yang menahan tangis ketika dimaki warga, tapi tetap menyapa
dengan senyum esok paginya. Dan tentu, tentang seorang pemimpin yang memotong
tunjangannya sendiri agar bisa membayar gaji staf honorer.
Ruangan yang semula sunyi menjadi
hidup. Salah satu peserta, dari Kabupaten Indramayu , berkomentar, “Pak, ini
mirip cerita di tempat saya. Tapi kadang, yang ideal itu berat dijalani.” Saya
tersenyum dan menjawab, “Betul, Bu. Karena yang ideal biasanya tidak populer.
Tapi kepemimpinan bukan soal popularitas, melainkan tanggung jawab."
Interaksi yang Hangat, Tak Sekadar Serius
Materi Agenda 1 ini—yang dalam modul
mencakup konsep etika, akuntabilitas, integritas, hingga nilai-nilai
Pancasila—kami olah dengan pendekatan partisipatif. Saya sengaja menyusun
dinamika kelompok dalam bentuk refleksi silang, di mana peserta diminta
menuliskan satu contoh nyata pelanggaran etika yang pernah mereka temui. Bukan
untuk menghakimi, tapi untuk memahami bahwa integritas bukan absennya
kesalahan, melainkan keberanian untuk memilih benar meskipun sendiri.
Dari kegiatan ini, muncul berbagai
pengakuan jujur. Ada yang bicara soal tekanan pimpinan untuk “ikut
menandatangani,” ada yang mengaku pernah mengabaikan peraturan karena takut
dikucilkan. Saya diam sejenak lalu berkata, “Inilah realitas ASN kita. Tapi dari
sini pula perubahan bisa dimulai.”
Antara Teori dan Kenyataan, di Sana
Ada Dilema
Sesi berikutnya mengangkat dilema
etika. Saya lemparkan skenario: "Anda kepala bidang yang diminta
mempercepat pencairan dana hibah karena 'sudah jadi janji politik'. Apa yang
Anda lakukan?" Tawa gugup langsung muncul. Tapi saya tidak tertawa. Saya
bilang, “ASN adalah benteng terakhir akal sehat. Ketika politisi menari di atas
panggung, ASN-lah yang menjaga agar musiknya tetap harmoni.”
Diskusi pun mengalir. Salah satu
peserta menyodorkan pendapat cerdas, “Pak, kalau kita tolak, kita bisa
dimutasi.” Saya balas, “Betul. Tapi kalau kita biarkan, kita sedang membangun
sistem yang penuh lubang. Mungkin karier kita aman, tapi bagaimana dengan anak
cucu kita?”
Kepemimpinan Pancasila: Bukan Slogan,
Tapi Jalan Hidup
Menjelang tengah sesi, saya angkat
satu nilai penting: Leiden is lijden — memimpin itu menderita. Saya
kutip H. Agus Salim yang sering dijadikan rujukan dalam modul. Saya tunjukkan
bagaimana sila demi sila Pancasila seharusnya menjadi kompas moral ASN. Bukan
sekadar dihafal, tapi dihayati: dari ketuhanan yang membentuk akhlak,
kemanusiaan yang mengingatkan kita pada empati, hingga keadilan sosial yang
menuntut kita bersikap adil bahkan kepada warga yang tidak kita kenal.
Di sinilah saya menyadari: peserta
mulai terdiam bukan karena bosan, tapi karena berpikir.
Saat Refleksi Menjadi Cermin
Saya akhiri sesi dengan satu
pertanyaan: “Jika esok lusa Anda diberi
menjadi pimpinan dilevel yang lebih tinggi, nilai apa yang paling ingin Anda
wariskan?” Jawaban mereka beragam. Ada yang menjawab “kejujuran,” ada yang
bilang “ketegasan,” ada juga yang menulis “kesederhanaan.” Saya baca satu per
satu. Lalu saya berkata, “Kalau begitu, mari mulai dari sekarang. Karena
warisan dimulai dari kebiasaan.”
Tepuk tangan spontan pun muncul,
bukan karena materi saya hebat, tapi karena nilai-nilai itu ternyata tidak jauh
dari mereka. Ia ada di dalam hati, menunggu untuk disulut oleh narasi, contoh,
dan kadang… keberanian.
Namun, tak bisa dipungkiri, semangat integritas yang digelorakan di ruang pelatihan kerap terhempas ketika kembali ke realitas kantor. Di sesi refleksi kelompok, seorang peserta —ASN dari salah satu dinas teknis di kota besar—berbicara dengan suara lirih namun tegas, “Pak, terus terang, kami tahu apa yang benar. Tapi lingkungan kami… ya begitulah. Integritas itu seperti barang antik—dihargai, tapi tak ada tempat di ruang kerja.”
Beberapa peserta mengangguk pelan. Suasana jadi hening sejenak, seperti ruang kelas berubah menjadi ruang pengakuan. Saya pun tak buru-buru menyela. Karena sering kali, yang dibutuhkan bukan jawaban, tapi tempat aman untuk berkata jujur.
Seorang ASN dari kabupaten lain menyambung, “Kadang kita sudah jaga integritas, tapi dianggap ‘sok suci’. Dibilang gak bisa diajak kerja sama. Malah jadi dikucilkan.” Ia tertawa kecil, getir, lalu menambahkan, “Kalau ikut alur, hati gak tenang. Kalau lawan arus, kita yang tenggelam.”
Saya angkat tangan, lalu menuliskan di papan tulis: “Integritas adalah perjuangan sepi.” Dan saya jelaskan, “Justru karena sulit itulah, integritas jadi mahal. Kalau semua orang bisa menjaganya tanpa tekanan, maka ia bukan lagi nilai, tapi rutinitas."
Saya ajak mereka menganalisis akar masalahnya. Ternyata bukan hanya soal atasan yang otoriter atau rekan kerja yang permisif, tapi sistem yang membuat ‘bermain aman’ lebih nyaman daripada ‘melawan demi benar’.
Dalam diskusi lanjutan, kami menyusun peta tantangan integritas di lingkungan peserta:
ü Ada yang menghadapi tekanan atasan untuk menandatangani laporan fiktif.
ü Ada pula yang merasa lelah mempertahankan nilai karena jadi bulan-bulanan tim kerja yang sudah “kompak dalam kompromi.”
ü Tak sedikit yang mengeluhkan insentif yang hanya cair kalau “ikut prosedur tak tertulis”.
Saya bertanya, “Lantas apa yang bisa kita lakukan?”
Di sinilah muncul perenungan. Peserta menyadari, menjaga integritas bukan berarti harus jadi hero sendirian. Ada cara-cara cerdas untuk tetap ‘bernapas’ dalam sistem, sambil menanamkan nilai sedikit demi sedikit. Misalnya, membuat dokumentasi kerja yang transparan, menciptakan sistem rotasi untuk mengurangi kolusi, atau sekadar menjadi ‘orang baik yang konsisten’ agar jadi cermin di tengah ruangan.
Saya berikan ilustrasi: integritas itu seperti membawa lilin di lorong kantor yang gelap. Mungkin kecil cahayanya, tapi siapa tahu, dengan cukup banyak lilin, lorong itu tak lagi suram.
Peneguhan di Akhir Sesi
Saya akhiri sesi dengan satu pesan, “Bapak/Ibu, mungkin hari ini integritas belum dihargai. Tapi percayalah, ia selalu dikenang. Dan kadang, yang Anda tanam hari ini, akan tumbuh di generasi ASN setelah Anda.”
Mereka pulang dengan mata berbinar. Bukan karena semua masalah selesai, tapi karena mereka tahu: mereka tidak sendiri. Dan itu cukup untuk memulai perlawanan terhadap apatisme yang selama ini membungkam suara hati.
Selamat menjadi Pemimpin Perubahan dan Ber-Karakter, Ber-Integritas dan Profesional
Komentar
Posting Komentar