Liburan Seru ke Negri Atas Awan ; Bersama Keluarga di Dieng – Jawa Tengah
Akhirnya,
setelah sekian lama hanya wacana di grup WhatsApp keluarga, liburan bareng ke
Dieng jadi juga! Ide ini awalnya muncul di sela-sela ngobrol sambil ngopi,
waktu saya bilang, "Kayaknya kita butuh healing kelokus yang belum kita
kunjungi dech, yang sejuk-sejuk, jangan mall lagi." Istri langsung
nyamber, “Dieng, yuk! Anak-anak pasti suka!” Dan tanpa perlu musyawarah mufakat
ala sidang DPR, kita sepakat.
Persiapan
dilakukan seperti biasa: mendadak dan agak chaos. Tapi ya, di situlah seninya. Kami
berangkat dari Bandung sekitar jam 10 pagi, sambil diiringi harapan besar:
semoga anak-anak nggak mabuk perjalanan dan istri nggak ngajak berhenti setiap
lihat pemandangan Instagramable. Ternyata, doa saya dijawab setengah. Anak-anak
aman, tapi istri… ya, pemandangan sawah pun jadi spot selfie. Untung saya
sabar. Kan lagi liburan.
Perjalanan
ke Dieng memang panjang, tapi tidak membosankan. Sepanjang jalan, kami ditemani
playlist campuran: dari lagu lawas Ebiet G. Ade sampai K-Pop. Sesekali saya
ikut nyanyi, walau suara saya lebih cocok buat demo burung hantu daripada
nyanyi duet. Tapi ya, siapa peduli. Ini liburan, bukan audisi The Voice.
Sampai
di Dieng sore hari, kami langsung check-in di penginapan The Dieng
Cabin—tempatnya mungil tapi estetik, cocok banget buat keluarga. Begitu buka
pintu kamar, udara sejuk langsung menyambut. Anak saya yang biasa ngeluh panas
langsung bilang, “Wah, ini mah kayak pakai AC 24 jam!” Saya cuma senyum, dalam
hati bilang: Tunggu besok pagi, Nak. Dingin belum seberapa.
Interior
The Dieng Cabin ini unik—dindingnya kayu, jendelanya besar, dan pemandangannya
langsung ke arah perbukitan berkabut. Istri saya langsung sibuk moto
sudut-sudut kabin sambil komentar, “Ini mah estetik banget, bisa buat konten!”
Saya? Langsung rebahan. Lelah, bos.
Malam
itu, kami ngumpul di ruang tengah kabin sambil bikin mi instan dan wedang ronde
instan (karena anak-anak nggak kuat minum jahe se-asli itu). Di luar, udara
dingin bikin napas berasap. Tapi di dalam, suasananya hangat—obrolan
ngalor-ngidul.
Esok
paginya, kami lanjut ke Kawah Sikidang. Begitu turun dari mobil, kami langsung
disambut bau belerang yang khas. Saya sempat bercanda, “Yang belum mandi,
ngaku! Nih, ditambah belerang biar steril!” Anak-anak ngakak, walau sambil
nutup hidung. Kawahnya luar biasa—seolah-olah bumi lagi rebus air raksasa. Kami
jalan menyusuri jalur kayu yang mengelilingi kawah, sesekali berhenti untuk
foto bareng.
Perut
kenyang, kami lanjut ke Telaga Warna. Sesuai namanya, air telaga ini bisa
berubah warna tergantung pantulan cahaya. Pemandangannya sungguh memukau. Kami
naik ke bukit kecil di dekat situ untuk lihat telaga dari atas. Benar-benar
seperti lukisan hidup—air biru kehijauan dengan latar pepohonan lebat.
Nah,
dari sana, kami memutuskan sekalian ke Batu Pandang Ratapan Angin. Namanya aja
udah puitis, ya—“ratapan angin”. Saya sempat bilang ke anak-anak, “Kalau ada
yang galau, cocok nih ratapan angin. Bisa curhat sama semesta.” Mereka cuma
cengar-cengir, tapi semangat ikut naik ke spot yang katanya salah satu titik
terbaik untuk lihat Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari atas.
Benar
saja. Setelah jalan kaki menanjak sebentar, kami sampai di batu besar yang jadi
spot utama. Dan wow... pemandangannya bikin melongo. Dua telaga terlihat
berdampingan seperti sepasang mata alam, masing-masing punya warna yang
berbeda. Saya dan istri berdiri di pinggir batu itu, berpegangan tangan, sambil
menatap ke bawah. Angin berhembus cukup kencang, seolah menyapa, “Selamat
datang di atap keindahan.”
Malamnya,
kami kembali ke kabin dan ngumpul di ruang tengah sambil minum wedang ronde. Di
luar, udara dingin menusuk, tapi suasana hati hangat. Anak-anak cerita kesan
mereka hari ini, dan istri menimpali dengan nostalgia masa kecilnya. Saya
mendengarkan sambil tersenyum. Momen seperti ini mahal—lebih dari sekadar tiket
masuk tempat wisata.
Waktu
pulang, kami semua sepakat: Dieng luar biasa. Bukan hanya karena dinginnya atau
pemandangannya, tapi karena momen kebersamaan yang kami rajut selama di sana.
Tertawa bareng, jalan bareng, kedinginan bareng, bahkan rebutan selimut juga
jadi kenangan lucu.
Sepanjang
jalan pulang, saya berkendara dengan hati ringan. Dalam hati saya berkata,
Beginilah seharusnya liburan. Bukan tentang seberapa jauh atau mahal, tapi
tentang seberapa dalam kita bisa merasa dekat. Dan hari itu, saya merasa sangat
dekat—dengan keluarga, dengan alam, dan dengan diri saya sendiri.
Kalau
nanti ada waktu dan rezeki, kami sepakat akan balik lagi ke Dieng. Siapa tahu,
waktu itu saya bisa touring motor ke sana, Bersama Kawan-kawan dan Keluarga - ala keluarga Hermawan.
Komentar
Posting Komentar