Menyusuri Pagi Menuju Cipageran: Cerita Sejam Lebih dari Antapani ke BPSDM
suasana Antapani masih lengang. Udara pagi
Bandung yang sedikit menggigit menyapa wajah dengan ramah. Setelah menyantap 2
helai roti plus telur ceplok ditambah secangkir kopi susu hangat pagi ini, dengan
semangat yang menggebu untuk memulai hari lebih awal dari biasanya. Mesin mobil
dinyalakan, suara klakson pelan memecah kesunyian. Perjalanan dimulai.
Dari rumah, saya langsung mengarah ke Jalan Terusan Jakarta.
Jalanan masih belum padat, hanya beberapa kendaraan yang melintas, sebagian
besar sepertinya juga sedang mengejar waktu seperti saya. Di kanan kiri,
warung-warung masih tutup, hanya terlihat beberapa pedagang mulai menata
dagangannya, bersiap menyambut pelanggan setia. Lampu-lampu jalan mulai
meredup, digantikan cahaya pagi yang malu-malu menembus mendung tipis yang
menggantung di langit.
Cuaca pagi itu memang sedikit sendu—mendung menggantung, seolah menahan hujan di ujung langit. Tapi tak ada rintik, hanya hawa sejuk yang membuat perjalanan terasa nyaman. Di jalan Terusan Jakarta, laju mobil stabil. Jalan ini memang salah satu rute favorit saya karena cukup luas dan mengalir. Beberapa pengendara lain tampak seperti rekan seperjalanan tak dikenal—sama-sama mengejar waktu, mungkin ke kantor, ke pasar, atau entah ke mana. Tapi di pagi hari seperti ini, kita semua punya tujuan dan semangat yang serupa.
Memasuki Jalan Supratman, lalu lintas mulai sedikit ramai.
Mobil-mobil pribadi dan motor sudah mulai meramaikan suasana. Di kejauhan, saya
melihat beberapa anak muda berseragam putih abu-abu berdiri di pinggir jalan,
menunggu angkot atau mungkin ojek online. Ada juga seorang bapak tua yang
sedang mendorong gerobak berisi sayur mayur, menyeberang dengan pelan namun
pasti. Momen kecil yang mengingatkan saya bahwa kota ini punya dinamika yang
hidup, bahkan sejak pagi buta.
Perjalanan berlanjut menuju Pusdai, dan saya melewati Gedung
Sate. Ini adalah salah satu bagian favorit saya dari rute ini. Gedung Sate
di pagi hari punya pesonanya sendiri. Megah dan tenang, berdiri kokoh di bawah
langit kelabu. Gedung tempat saya pernah bertugas , dan menempati salah satu
pojok barat Gedung sate saat menjabat sebagai Kabag Humas. Di pelatarannya,
beberapa orang tampak sedang jogging ringan. Ada juga pasangan lansia yang
berjalan beriringan, menikmati pagi. Saya sempat memperlambat laju mobil,
sekadar menikmati pemandangan. Beberapa tenaga kebersihan masih sibuk membersihkan
sisa2 sampah konvoi kemenangan Persib yang masih berserakan di seputaran Gasibu.
Sekilas, saya seperti melihat Bandung
lama—damai, teduh, dan penuh kenangan.
Dari sana, saya menyusuri jalan menuju Pasopati. Flyover ini seperti gerbang menuju sisi lain Bandung. Di bawahnya, lalu lintas mulai menggeliat. Di atasnya, saya melaju dengan tenang, ditemani semilir angin pagi yang masih bersahabat. Di kejauhan, saya bisa melihat langit yang mulai berubah warna, meski matahari tak kunjung menampakkan diri. Mendung yang menggantung membuat pagi tetap tampak seperti subuh.
Setelah melintasi Pasopati, saya menuju gerbang Tol Pasteur.
Masuk tol di pagi hari punya tantangan tersendiri. Tapi hari ini berbeda—perjalanan
lancar, nyaris tanpa hambatan. Tidak ada antrian berarti di gerbang tol,
dan jalur tol pun terasa lengang. Saya sempat berpikir, mungkin ini berkah dari
cuaca mendung, atau mungkin banyak orang memilih berangkat lebih siang.
Melaju di tol, saya bisa melihat pemandangan kota yang perlahan mulai
hidup. Beberapa gedung tinggi tampak samar diselimuti kabut tipis. Kendaraan di
jalur tol berjalan rapi, tidak ada yang ngebut ugal-ugalan. Semua tampak sadar
bahwa pagi ini adalah tentang ketenangan dan ketepatan waktu.
Keluar di gerbang Baros, suasana mulai berubah. Udara terasa
sedikit lebih hangat, dan aktivitas warga Cimahi mulai terlihat. Saya melintasi
Alun-alun Cimahi, yang pagi itu belum terlalu ramai. Beberapa pesepeda
melintas, dan ada juga petugas kebersihan yang dengan tekun menyapu daun-daun
yang berserakan. Di sisi alun-alun, warung kopi mulai buka. Aroma kopi hitam
dan gorengan pagi menggoda dari kejauhan. Tapi saya menahan diri. Masih ada
tujuan yang harus dicapai.
Dari Alun-alun Cimahi, perjalanan dilanjutkan menuju kawasan Cipageran,
lokasi BPSDM Provinsi Jawa Barat. Jalanan menuju ke sana relatif lancar,
meski mulai ada sedikit keramaian di perempatan. Saya memilih jalur yang sudah
sering saya lalui, karena selain lebih cepat juga cukup menyenangkan secara
pemandangan. Di kiri kanan jalan, pepohonan rindang menjadi teman perjalanan.
Mobil melaju stabil, dan waktu terasa berjalan cepat.
Pukul 06.55 WIB, saya tiba di gerbang BPSDM. Jam tangan saya
menunjukkan tepat sejam lebih lima menit sejak berangkat dari rumah. Tidak ada
drama, tidak ada keterlambatan, tidak ada hujan yang menyela. Hanya perjalanan
yang tenang, dengan iringan mendung dan semangat pagi.
Sesampainya di parkiran, di Basement saya duduk sejenak di atas kursi
teman yang tersedia di area smoking area. Menikmati hembusan angin pagi
terakhir sebelum hari benar-benar dimulai. Di sekitar saya, beberapa pegawai
lain juga baru tiba, dengan wajah penuh semangat atau sedikit kantuk yang belum
benar-benar pergi. Kami semua berkumpul di tempat yang sama, dengan cerita
perjalanan masing-masing yang tak pernah sama.
Pagi itu saya belajar satu hal kecil namun penting: kadang,
perjalanan yang paling berkesan bukanlah yang penuh tantangan, tapi yang
mengalir lancar dan memberi ruang untuk merenung di tengah rutinitas.
Mendung tidak selalu berarti murung. Ia bisa menjadi selimut lembut yang
membuat perjalanan terasa nyaman, tenang, dan penuh rasa syukur.
Komentar
Posting Komentar