Ngobrol Serius Tapi Santai Bareng 40 Calon Pemimpin: Dinamika Kelompok yang (Kadang) Dinamis Banget

 

Ngobrol Serius Tapi Santai Bareng 40 Calon Pemimpin: Dinamika Kelompok yang (Kadang) Dinamis Banget


Oleh: Drs. Budy Hermawan

Sore itu, sebelum saya memulai materi tentang dynamics of the group—yang terdengar keren padahal intinya soal "kenapa kita bisa ribut terus sama rekan kerja"—saya buka dulu dengan sedikit data serius.

“Bapak-Ibu, hasil survei Bank Dunia terbaru menyebutkan bahwa tiga kompetensi utama yang akan menentukan efektivitas seorang ASN di masa depan adalah: inovasi, kreativitas, dan jaringan kerja yang kuat. Nah, pertanyaannya, gimana caranya bisa kreatif dan inovatif kalau kita gak bisa kerja sama? Atau bahkan... malah males ngeliat temen satu tim sendiri?”

Muka-muka serius mulai muncul. Beberapa peserta mengangguk-angguk, mungkin sambil mengingat rekan kerja yang kalau diajak koordinasi jawabnya cuma: “Terserah atuh.”

Saya lanjutkan,

“Jadi sebelum kita bahas soal inovasi atau lompatan teknologi, kita bahas dulu akar dari semuanya: kemampuan kita bekerja dalam tim. Karena se-visioner apa pun idenya, kalau timnya ‘gosong’ duluan, ya semua jadi bubur.”

Suasana sore langsung cair lagi. Tawa mulai terdengar.
Saya tahu, saya masuk ke jalur yang pas.

Dinamika yang Tak Pernah Statis

Materi hari itu adalah tentang Dinamika Kelompok bagi 40 peserta Pelatihan Kepemimpinan Pengawas Angkatan 2 Tahun 2025. Mereka datang dari tujuh kabupaten/kota di Jawa Barat. Misi saya: membantu mereka tidak hanya mengerti teori, tapi juga bisa ngaca—bahwa membangun tim itu bukan soal siapa paling jago, tapi siapa yang bisa bareng-bareng bikin tim itu tetap jalan, walau tanjakan terjal dan bensin mepet.

Saya mulai dengan mengenalkan empat tahap klasik dalam dinamika kelompok:
Forming, Storming, Norming, Performing.
Sederhana di slide, ruwetnya bisa seperti episode sinetron Ramadhan.

Forming: Tahap “Senyum Manis Tapi Bohong”

“Ini tahap di mana semua masih pasang wajah ramah, penuh harapan. Tapi di dalam kepala sudah mulai ada spreadsheet penilaian diam-diam: siapa yang kayaknya bakal jadi beban, siapa yang cocok diajak begadang nyusun laporan.”

Peserta tertawa.
Saya yakin, sebagian sedang membatin, “Aduh, ini banget kejadian di kantor kemarin.”

Storming: Ketika Semua Topeng Jatuh

“Mulai muncul konflik. Ada yang merasa idenya paling benar, ada yang mulai curiga temannya nggak kerja, ada juga yang diam-diam udah ngumpulin pendukung di grup sebelah.”

Saya sampaikan bahwa konflik itu normal. Yang jadi masalah adalah kalau pemimpin malah ikut bikin bensin ketegangan.

Saya tanya ke peserta:

“Siapa yang pernah ribut gara-gara kerja kelompok gak adil?”

Sebagian tunjuk tangan.
Sebagian lagi menatap kosong ke arah masa lalu.

Norming: Mulai Ngerti Tapi Masih Sering Lupa

Saya bilang,

“Ini tahap berdamai. Bikin aturan main, bagi tugas lebih adil, dan mulai ngerti kelebihan masing-masing. Tapi ya gitu... kadang suka kambuh storming-nya kalau ada deadline mepet.”

Peserta mulai saling melirik dan tertawa kecil. Mereka tahu, ini bukan fiksi.

Performing: Tim Sudah Matang, Tapi Tetap Butuh Vitamin

“Nah ini impian semua pimpinan: tim yang bisa kerja, saling support, dan gak perlu dikomando tiap 5 menit. Tapi inget, tim kayak gini gak muncul dari langit. Harus dibangun, dirawat, dan dipelihara kayak bonsai.”

Saya sematkan pesan penting:

“Kalau tim kalian udah perform, jangan langsung tenang-tenang. Bisa jadi mereka bosan atau overwork. Pemimpin yang peka tahu kapan timnya butuh tantangan baru, atau sekadar butuh kopi dan lawakan receh.”

Simulasi: Teori Bertemu Kenyataan

Setelah pemaparan, saya ajak peserta praktik simulasi kelompok. Saya bagi mereka jadi beberapa tim dan kasih tugas ‘sederhana’ yang sejatinya jebakan psikologis.

Lucunya, semua tahapan dinamika kelompok langsung muncul:

ü  Kelompok A langsung diskusi seru... tapi ternyata dua orang diam-diam bikin grup tandingan di pojok.

ü  Kelompok B sibuk menentukan ketua, tapi lupa mengerjakan tugas.

ü  Kelompok C kerja sangat cepat dan efisien... karena ternyata hanya satu orang yang kerja, yang lain sibuk membuat “dukungan moral”.

Saya mendekat dan bertanya ke salah satu tim,

“Gimana rasanya kerja bareng orang yang baru dikenal?”

Salah satu peserta menjawab,

“Rasanya kayak pertama kali naik motor kopling, Pak. Ngegas iya, tapi mogok juga iya.”

Saya ngakak.

“Itu artinya kalian lagi storming. Nikmati aja. Yang penting jangan sampai mesinnya kebakar.”

Di akhir sesi, saya kembali ke data awal.
Saya bilang,

“Bapak-Ibu, inovasi dan kreativitas itu bukan muncul dari orang yang kerja sendirian di sudut meja. Itu lahir dari dialog, kolaborasi, bahkan debat yang sehat.”

Saya lanjutkan,

“Kalau ASN mau relevan di masa depan, kita harus jago dua hal: berpikir out of the box, dan bekerja sama dalam box yang sama—tanpa saling jegal.”

Saya tutup dengan catatan:

“Dinamika kelompok adalah cermin. Kadang bikin kita sadar bahwa yang bikin rusuh bukan orang lain… tapi ego sendiri.”

Sebelum benar-benar selesai, saya beri analogi sederhana yang (semoga) membekas:

“Tim itu kayak soto Bandung. Ada daging, lobak, kuah bening, dan emping. Kalau cuma kuah doang, hambar. Kalau cuma daging, ya seret. Tapi kalau semua elemen diramu pas—maknyus!”

Saya lempar pantun penutup:

Ke Sumedang beli tahu,
Diseduh teh panas sambil ngopi.
Bekerja dalam tim itu butuh waktu,
Tapi hasilnya bisa jadi prestasi tinggi.

Peserta bertepuk tangan. Beberapa minta slide, beberapa minta foto. Saya sih cukup puas, karena materi yang bisa dibilang "serius" ternyata bisa dibungkus santai tanpa kehilangan makna.

Dan ya...
Sore itu diiringi hujan ringan saya pulang dengan langkah ringan. Bukan karena udah kelar ngisi, tapi karena saya tahu: 40 ASN dari berbagai penjuru Jawa Barat kini sedikit lebih siap menghadapi realitas kerja yang dinamis banget.

 

Komentar