Sasapedahan Tengah dilautan Bobotoh Persib

 Sasapedahan Tengah dilautan Bobotoh Persib

Pagi ini, Minggu 25 Mei 2025, matahari belum sepenuhnya beranjak dari peraduannya ketika aku bersiap untuk bersepeda santai. Rute hari ini sudah terbayang jelas: Antapani – Arcamanik – Sukamiskin – Cicaheum – Gedung Sate – Pusdai – Jalan Supratman – Cicadas – dan balik lagi ke Antapani. Rute langganan, tapi tetap menarik. Sekitar 18,4 kilometer dengan target waktu 1,5 jam. Nggak buru-buru, yang penting enjoy. Tujuan utamanya bukan finish, tapi ngumpulin bahagia di setiap kayuhan.

Aku mengayuh pelan dari rumah di Antapani. Udara pagi Bandung masih segar—walau sudah mulai dicampur aroma khas motor matic yang dipaksa jalan pelan. Melewati Arcamanik, suasana masih tenang. Di jalan Sukamiskin, mata sempat curi pandang ke arah Lapas yang melegenda itu. Tempat para koruptor sempat “liburan panjang”—eh maksudnya “direhabilitasi moral”, katanya.

Pas masuk Cicaheum, mulai terasa suasana beda. Dari kejauhan, terdengar suara klakson panjang-pendek yang bukan dari angkot ngetem. Lampu hazard menyala kiri-kanan, suara terompet bersahut-sahutan, dan... yang paling khas: nyanyian "He-e-e-e, Persib Bandung juaraaa...!!!" dilantunkan beramai-ramai. Waduh. Aku mulai curiga ini bukan arisan RT.

Betul saja. Baru masuk ke jalan AH Nasution, aku terselip di antara konvoi bobotoh yang bergerak menuju pusat kota. Serius. Aku bersepeda, tapi di tengah ribuan motor dan mobil yang semuanya beratribut biru. Helm biru, bendera biru, bahkan ada yang ngecat rambutnya biru. Kayak Smurf pindah kampung.

Konvoi ini adalah perayaan kemenangan Persib Bandung yang baru saja mengunci gelar juara Liga 1 untuk keempat kalinya. Ini kali kedua berturut-turut setelah musim lalu juga angkat piala. Di jalan, semua orang terlihat bahagia. Bahkan polisi yang biasa pasang muka ketat hari ini senyum-senyum—mungkin karena juga bobotoh.

Aku awalnya berniat minggir, tapi konvoi ini kayak arus Sungai Citarum pas hujan gede—nggak ada celah keluar. Mau nggak mau, aku jadi bagian dari rombongan. Sialnya aku pakai jersey warna merah dan putih , jersey khas identitas APWI ( maklum aku WI,,hehe ). Bukan karena fans Persib, tapi karena semua jersey bersih ada di keranjang cucian. Tapi itu cukup bikin aku "nyamar" dengan sempurna.

Salah satu bobotoh di atas motor bebek nyamperin dan ngajak tos. “Heh, kang, saudaraku! Naon euy, pake sepeda juga demi Maung Bandung, keren atuh!” katanya sambil ngasih botol air mineral. Aku angguk-angguk sambil setengah gugup. Dalam hati mikir: “Ayeuna abdi bobotoh dadakan, mang.”

Perjalanan menuju Jalan Suci arah Gedung Sate yang jadi titik kumpul utama. Jalanan penuh sesak, tapi tidak chaos. Bobotoh ternyata bisa rapi juga kalau lagi senang. Ada yang bawa sound system di mobil bak terbuka, muter lagu-lagu Persib seperti "Sagala Bisa Demi Persib" sampai remix “Halo-halo Bandung” versi dangdut koplo.

Yang menarik, ada satu mobil yang dihias kayak replika Stadion GBLA, lengkap dengan boneka Bojan di atas kap. Di depannya, spanduk bertuliskan: “Empat Gelar, Hatur Nuhun, Bojan!” Aku nyengir. Bojan Hodak, pelatih asal Kroasia yang kini dielu-elukan lebih dari walikota.

Di Pusdai, aku sempat turun dari sepeda sebentar untuk beli teh botol di warung. Ibu warung tersenyum lebar. “Hatur nuhun, cep, ayeuna mah dagangan laris. Arék unggal minggu Persib juara wé lah!”

Setelah istirahat sebentar, aku lanjut lagi lewat Jalan Supratman. Di sini, suasana tidak berbeda dengan jalan suci , penuh sesak dengan konvoi bobotoh .  suasana euforia masih terasa. Beberapa bocah kecil lari-larian sambil bawa bendera Persib yang lebih gede dari badan mereka.


Salah satu anak kecil menyapaku, “Om, sepedaan juga demi Persib, ya?”

Aku jawab jujur, “Sakalian olah raga, dek. Tapi ayeuna mah karasa siga bobotoh beneran.”

Dia tertawa, lalu memberi stiker bertuliskan “Satu Hati, Satu Persib”. Aku pasang stiker itu di frame sepedaku. Nggak tahu kenapa, tapi tiba-tiba ada rasa bangga.

Lanjut ke Cicadas, jalanan mulai agak sempit dan padat. Aku selip-selip seperti pembalap MotoGP yang ikut kategori "kelas sepeda polygon”. Kayuhan mulai terasa berat, tapi semangat tetap ringan. Di pinggir jalan, beberapa warung nasi kuning mulai dibanjiri pelanggan. Para bobotoh lapar setelah menyalurkan energi juang.

Terakhir, aku kembali ke Antapani. Rasa lelah mulai terasa, tapi tertutup oleh rasa puas. 18,4 kilometer yang terasa seperti tur nostalgia, padahal nggak ada lagu 80-an diputar. Waktu tempuh 1,5 jam, tapi kenangannya mungkin menempel lebih lama.

Di rumah, sambil leyeh-leyeh, aku buka media sosial. Timeline penuh dengan tagar: #PersibJuara, #MaungNgamuk, #4KaliJuara, bahkan ada yang menulis: “Bandung bukan hanya kota kembang, tapi kota juara.” Ada foto-foto lucu: bobotoh naik becak sambil kibarkan bendera, emak-emak bawa rice cooker ke tengah konvoi (katanya buat syukuran), dan tentu saja selfie bareng patung di depan Gedung Sate.

Aku tertawa sendiri. Sebuah Minggu pagi yang niatnya cuma cari keringat, eh malah dapat bonus: semangat, kebersamaan, dan kisah unik yang bisa diceritakan ke anak cucu nanti.

 

Hari ini, Minggu 25 Mei 2025, aku bukan hanya gowes 18,4 kilometer. Aku ikut menyusuri kisah kemenangan, ikut merasakan semangat ribuan orang yang bersatu karena satu hal: cinta pada klub sepak bola. Dan siapa sangka, sepeda yang biasanya jadi alat olahraga, hari itu menjelma jadi "kendaraan emosi" yang membawaku ke tengah arus kebanggaan warga Bandung.

Jadi, kalau ada yang bertanya, “Kamu bobotoh?”

Aku akan jawab: “Teu acan resmi, tapi haté mah geus nyangsang di Maung.”


BRAVO PERSIB

PERSIB NU AINK ##


Bandung, 25 Mei 2025

 

Komentar