Mesin Parkir Canggih, Nasibnya Tragis
Di suatu malam yang cerah di Bandung, saya memarkirkan HRV Hitam ; tunggangan saya sehari-hari di jalan Burangrang Kota Bandung, tepatnya di depan Ngopdul Café, tepat di depan sebuah mesin parkir berwarna merah menyala dengan layar kecil dan tombol-tombol yang sudah tidak menyala serta tampak kusam. Aku melirik mesin itu sebentar, lalu beralih ke juru parkir yang sudah berdiri siap dengan rompi oranye.
“mesinnya masih aktif pak ?” tanya ku kepada seorang jukir yang terlihat
tampak sudah agak tua. Ia tersenyum sambil manjawab kecil hampir tak
terdengar,,tidak pak,,,
Lalu bagaimana cara bayarnya tanyaku,,,bisa langsung aja ke saya pak
sahutnya tegas…
Ok jawab-ku,,nanti yh setelah selesai ngopi disini jawab ku sambil
berlalu menuju ruang Ngopdul Bersama istri dan anak-anakku.. mangga pak sahut
nya…
Itulah potret nasib mesin parkir elektronik di Kota
Bandung—canggih di awal, namun kini banyak yang jadi besi tua tak terurus.
Dari 445 unit yang tersebar di 221 titik, ternyata menurut data https://www.detik.com/jabar/berita/d-6986432/alasan-dishub-bandung-soal-belum-optimalnya-penggunaan-mesin-parkir
yang masih aktif hanya 263,
sementara 182 lainnya sudah mati suri. Tidak heran, banyak warga
menyebutnya “nisan smart city”.
Mimpi Canggih yang Kini Layu
Pengadaan mesin ini dimulai tahun 2016, saat Bandung masih di bawah
kepemimpinan Wali Kota Ridwan Kamil. Gagasannya terdengar modern dan
penuh harapan: parkir berbasis elektronik untuk mendukung konsep smart city—lebih
transparan, efisien, dan minim kebocoran.
Pemerintah Kota Bandung kala itu menggandeng merek asal Swedia, Cale,
untuk mesin-mesin canggih itu. Biayanya? Tak main-main. Sekitar Rp125 juta
per unit, sehingga jika dikalikan seluruh mesin, total anggarannya mencapai
Rp80 miliar rupiah. Duit APBD, tentu saja.
Sayangnya, harapan tinggal harapan. Seiring waktu, satu per satu mesin
mulai tak berfungsi. Alasannya: suku cadang sulit didapat karena mesin
impor, dan pihak penyedia sudah tak lagi memproduksi model tersebut. Solusinya?
Kanibalisasi. Mesin yang rusak dibongkar untuk menyelamatkan mesin lain.
“Kayak zombie aja, hidup dari mesin lain,” kelakar seorang warga saat
melewati mesin parkir rusak di Jalan Asia Afrika.
Menurut Yogi Mamesa, Kepala UPTD BLUD Parkir Dishub Kota Bandung
saat ini, masalah terbesar adalah soal onderdil. Mesin Cale Swedia itu ibarat
mobil antik—gagah tapi susah dirawat.
Smart City, Tapi Tetap Butuh Jukir?
Yang lebih ironis, mesin ini sebenarnya tidak pernah benar-benar
“mandiri”. Sejak awal, keberadaan mesin tetap bergantung pada juru parkir
manusia. Idealnya, pengguna tinggal tap kartu e-money di mesin, lalu
parkir. Tapi kenyataannya? Mayoritas warga masih lebih nyaman membayar
langsung ke jukir.
Dishub sempat membekali jukir dengan e-money agar bisa membantu
masyarakat. Tapi lagi-lagi, ini menegaskan bahwa teknologi hanya tempelan.
Bukan solusi.
“Kalau masih harus dibantu orang juga, buat apa mesin mahal-mahal?”
tanya seorang pengamat transportasi dari Unpar. Pertanyaan yang sulit dijawab,
kecuali dengan jujur.
Zonasi Asal-asalan dan Minim Sosialisasi
Selain mesin dan SDM, masalah lain adalah zonasi. Banyak titik
pemasangan yang tidak memperhitungkan mobilitas dan kebutuhan sebenarnya. Di
kawasan pinggiran, mesin mangkrak karena volume kendaraan rendah. Di pusat
kota, mesin sering kewalahan atau tidak sinkron dengan realita lapangan.
Belum lagi soal literasi digital warga. Banyak yang belum
terbiasa dengan e-money, apalagi prosedur menekan tombol dan mencetak karcis.
Alhasil, jukir manual tetap jadi pilihan utama.
Catatan Kritis untuk Masa Depan
Seandainya proyek ini dirancang lebih sederhana—misalnya menggunakan
aplikasi QRIS, atau teknologi buatan lokal yang mudah dirawat—mungkin cerita
ini tak berakhir seperti sekarang. Tapi Bandung seperti ingin terlalu cepat
meloncat, memakai teknologi mahal tanpa menyiapkan landasan sosial dan
infrastruktur yang cukup. Saya masih ingat betul, di tahun 2016, Ketika pa
kadishub saat itu ; sahabat saya sesama ASN akan membuat program mesin parkir ini,,Kade
Kang,,,sing asak sosialisasi na,,masyarakat pasti akan sulit merubah budaya parkir,,,
bukan hanya pengguna parkir,,tapi juga
para jukirnya…
Kini, mesin parkir itu berdiri seperti monumen kegagalan kebijakan
publik: megah, tapi tak berfungsi. Seolah berbisik: “Aku dulu bagian dari
impian, kini aku hanya pajangan.”
Dengan kata lain, Bandung memang ingin jadi kota pintar, tapi
seringkali lupa bahwa menjadi pintar bukan soal beli alat mahal. Melainkan soal
perencanaan matang, pengelolaan berkelanjutan, dan keberpihakan pada warga.
Moral ceritanya?
Smart city bukan soal mesin canggih. Tapi bagaimana sebuah kota mengelola
perubahan dengan bijak, merangkul manusia dan teknologi secara adil. Karena
kalau tidak, kita cuma punya kota penuh mesin mati—dan warganya tetap parkir
dengan cara lama.
Komentar
Posting Komentar