Pagi Pancasila dan Budy Hermawan: Sebuah Renungan Seorang Widyaiswara

Pagi Pancasila dan Budy Hermawan: Sebuah Renungan Seorang Widyaiswara

Pagi itu, 2 Juni 2025, udara Bandung cukup bersahabat—tidak terlalu dingin, tidak terlalu cerah. Budy Hermawan, seorang Widyaiswara senior di BPSDM Provinsi Jawa Barat, duduk rapi di ruang kerjanya di lingkungan BPSDM Jawa Barat. Secangkir kopi hitam khas Cimenyan mengepul pelan di atas meja. Hari ini bukan hari biasa. Ini Hari Lahir Pancasila yang ke-80.

Pukul 08.05, setelah melaksanakan apel pagi ; giat wajib yg dilaksanakan setiap hari senin, Budy pun sudah siap di depan laptopnya tuk melanjutkan dan mengikuti rangkaian Upacara Hari Lahir Pancasila ke 80 Tingkat Provinsi Jawa Barat . Seragam dikenakan lengkap, walau mengikuti upacara secara daring. Link YouTube live streaming dari Gedung Sate sudah terbuka. Di layar, tampak Wakil Gubernur Jawa Barat ; H. Erwan Setiawan, S.E. dengan pakaian khas sunda berdiri tegap sebagai inspektur upacara, dengan latar belakang Gedung Sate yang gagah, simbol pemerintahan dan sejarah perjuangan rakyat Sunda.

Budy mengangguk pelan saat mendengar pidato Wakil Gubernur. “Pancasila bukan sekadar dasar negara, tapi jiwa bangsa. Dalam kondisi bangsa yang penuh tantangan, nilai-nilai Pancasila harus terus kita hidupkan, bukan sekadar dihafal.”

Di titik itu, Budy merasa ada getaran kecil dalam hati. Mungkin karena ia melihat bagaimana nilai-nilai luhur Pancasila akhir-akhir ini mulai kehilangan maknanya—terutama di kalangan pemimpin dan pejabat publik.

Mengapa Upacara Ini Penting?

Bagi sebagian orang, mengikuti upacara Hari Lahir Pancasila secara daring mungkin tampak formalitas belaka. Tapi tidak bagi Budy Hermawan. Ia menyadari bahwa simbol-simbol itu penting—upacara, bendera, lagu kebangsaan, semua itu adalah pengingat kolektif tentang siapa kita dan ke mana arah bangsa ini.

“Kalau tidak ada yang menjaga simbol, lambat laun yang substansial juga akan hilang,” gumamnya dalam hati.

Upacara pagi itu menjadi ruang refleksi: bagaimana nilai-nilai dalam Pancasila—Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial—masih relevan, bahkan justru semakin penting di tengah krisis integritas yang melanda sebagian aparatur negara.

 

Pemimpin Tanpa Pancasila: Sebuah Luka Bangsa

Sebagai widyaiswara, Budy kerap membimbing para pejabat eselon di berbagai pelatihan. Ia menyadari bahwa banyak dari mereka cerdas, ambisius, dan punya jejaring. Namun, belakangan ini ia juga sering kecewa. Terlalu banyak kasus korupsi yang menyeret pejabat publik—bahkan yang pernah mengikuti pelatihan nilai-nilai kebangsaan.

“Pendidikan tanpa kesadaran hanya menghasilkan gelar, bukan karakter,” pikirnya sambil menyeruput kopi.

Ia teringat obrolan dengan seorang mantan peserta diklat, yang terang-terangan berkata, “Pak, nilai-nilai ideal itu bagus di kelas. Tapi di lapangan, semua berubah. Kalau kita gak ikut arus, kita bisa ditinggal.”

Budy terdiam kala itu. Namun pagi ini, saat menyaksikan upacara Pancasila, ia tahu bahwa justru karena arus makin keruh, maka harus ada yang tetap menjadi jangkar. Dan itu dimulai dari dirinya sendiri.

 


Pancasila sebagai Kompas Kepemimpinan

Pancasila bukan sekadar dokumen sejarah, tapi kompas kepemimpinan. Bagi Budy, seorang pemimpin Pancasila adalah mereka yang:

  1. Berani Jujur: Karena percaya bahwa kebenaran bukan hanya soal hukum, tapi nilai moral.
  2. Berpihak pada Rakyat: Tidak sibuk menjaga citra, tapi menjaga keadilan dan kesejahteraan.
  3. Merawat Persatuan: Tidak memecah-belah dengan narasi sektarian atau kepentingan politik sempit.
  4. Menghargai Musyawarah: Tidak otoriter, tapi membuka ruang diskusi dan partisipasi.
  5. Berkeadilan Sosial: Tidak hanya mengurus yang kuat dan kaya, tapi juga memberi ruang bagi yang kecil dan lemah.

Dalam konteks ini, mengikuti upacara Hari Lahir Pancasila bukan soal “ritual tahunan”, tapi penguatan kembali komitmen terhadap nilai dasar berbangsa—terutama bagi ASN dan pejabat publik.

 

Harapan Seorang Budy Hermawan

Usai upacara, Budy menuliskan beberapa catatan reflektif yang akan ia gunakan dalam sesi pelatihan minggu depan. Di salah satu bagiannya, ia menulis:

“Pemimpin tanpa nilai adalah kendaraan tanpa rem. Kencang, tapi berbahaya. Di tengah derasnya arus pragmatisme dan korupsi, tugas kita bukan hanya menyuarakan Pancasila, tapi menghidupinya. Dimulai dari hal-hal sederhana: jujur dalam laporan, adil dalam keputusan, bijak dalam wewenang.”

Ia tersenyum kecil. Di usianya yang tak lagi muda, Budy tahu ia tidak bisa mengubah semuanya. Tapi ia percaya, jika setiap orang mau memulai dari diri sendiri, maka perlahan negeri ini akan kembali ke jalurnya.

Pagi itu, setelah mematikan laptop, Budy keluar sebentar ke taman, menarik napas dalam, dan menatap langit  Cimahi yang biru.

“Selamat ulang tahun, Pancasila. Jangan lelah mengingatkan kami.”


Renungan Nilai2 Pancasila


Bandung, 2 Juni 2025

 

 

Komentar