Pijat Malam Hari Setelah Seharian di Kebun
Hari ini badan rasanya seperti habis ikut lomba angkat karung berisi batu. Padahal cuma seharian di kebun Mekar Manik, tapi memang aktivitas hari ini cukup padat: bersihin kebun, kasih pupuk NPK 16-16-16 ke beberapa pohon alpukat, durian dan kopi yang mulai nampak lelah, dan yang paling menyenangkan, metik kopi yang mulai merah ranum di bagian barat kebun.
Saya datang ke kebun sekitar jam delapan pagi, ditemani angin gunung
yang sejuk dan suara burung-burung kecil yang seperti sedang rapat pagi. Mang
Elan, penggarap setia di sana, sudah lebih dulu datang dan mulai memotong
rumput liar yang tumbuh cepat karena hujan minggu kemarin. Kami kerja cukup
kompak hari ini. Saya fokus di pemupukan dan panen, sementara Mang Elan lebih
banyak mengurus semak dan jalur aliran air. Sekitar jam satu siang, kami
istirahat, minum air mineral serta gorengan berupa bala2 dan gehu yang sengaja
di bawa dari arcamanik , sambil duduk di batu besar dekat pohon kopi tua yang
katanya ditanam sejak zaman kakek buyutnya Mang Elan.
Pas sekitar jam 13.30 wib saya meluncur pulang ke antapani dan tiba
dirumah sekitar 25 menit dalam perjalanan seperti biasa menggunakan PCX hitam
saya. Tiba dirumah terasa badan saya
sudah kasih kode keras: pinggang pegal, bahu nyeri, dan betis seperti
ditarik-tarik. Saya langsung kepikiran satu nama: Mang Dede, tukang
pijat langganan yang tahu betul titik-titik lelah saya, bahkan mungkin lebih
hafal daripada saya sendiri.
Setelah salat ashar, saya kirim pesan singkat ke Mang Dede. “Mang, bisa
ke rumah malam ini? Badan saya rontok habis dari kebun.”
Nggak sampai lima menit, dibalas, “Siap, Pak Budy. Abdi engke jam
dalapan pas datang. Bawa minyak sereh jeung balsem.”
Tepat jam 20.05 WIB, bel pintu berbunyi. Saya buka pintu dan melihat
Mang Dede sudah berdiri sambil bawa tas kecil berisi alat tempur: minyak,
balsem, kain, dan handuk kecil.
“Wah, mangga atuh, Mang Dede. Badan mah sudah kaya karung goni,” saya
bercanda sambil menyilakan masuk.
“Hehehe, naha kitu atuh Pak Budy? Nya meureun kitu, keur metik kopi
jeung beberes kebon geura,” jawabnya sambil membuka sepatunya.
Saya pun rebahan di kasur tipis yang biasa saya gelar di ruang kamar tidur kalau mau dipijat. Lampu sengaja saya redupkan, biar suasana lebih nyaman. Setelah menyapa, Mang Dede langsung mulai dengan pemanasan, mengurut ringan di bagian punggung bawah.
“Loba nu metik kopi ayeuna, Mang,” kata saya membuka obrolan.
“Muhun, Pak. Malah ayeuna mah kopi keur mahal. Nu di Garut jeung Tasik
ge loba nu panen. Di Pasar Cibeureum harga bisa nepi ka Rp130 ribu per kilo, nu
grade alus,” jawab Mang Dede sambil mulai menekan titik di sepanjang tulang
belikat saya.
“Heueuh, ku sabab éta ogé ayeuna saya metik saeutik-saeutik, bisi harga
naek deui. Sayang lamun diduruk hungkul,” saya balas sambil sedikit meringis
karena tekanan pijat mulai dalam.
Mang Dede tertawa kecil. “Pak Budy mah teu bisa cicing, saban minggu aya
wae proyek di kebon. Tapi alus, da kopi Sunda ayeuna keur loba nu ngaku-ngaku
ti luar ge padahal mah asalna ti dieu.”
Saya hanya mengangguk sambil menikmati sentuhan tangan Mang Dede yang
seolah tahu bagian mana yang harus diprioritaskan. Ketika masuk ke area betis
dan kaki, saya hampir tertidur. Tapi percakapan tetap mengalir.
“Mang Dede teh masih rutin mijat di Pangalengan?” saya bertanya.
“Kadang, Pak. Tapi ayeuna mah leuwih loba panggilan di kota. Nu keur
usaha kopi mah loba nu stress, heueuh,” katanya sambil tertawa pelan.
“Sok mang, punten bagian bahu kencengin saeutik. Beuki teuas beuki
reueus atuh,” saya menggoda.
“Leres Pak, tapi ulah nepi ka teu bisa bobogohan deui isukan,” jawabnya
cepat, khas gaya humor Mang Dede yang suka nyeleneh tapi tetap sopan.
Waktu berjalan cepat. Sekitar pukul 21.25, pijatan mulai masuk ke fase
pendinginan. Gerakannya mulai melambat, tekanan lebih ringan, dan saya merasa
seperti sedang diayun oleh angin pegunungan. Badan yang semula seperti papan
triplek kaku, kini lebih lentur dan hangat.
“Beres, Pak. Alhamdulillah. Cobi angkat leungeun sakedik, cek ngetes
naha geus leungit pegalna,” kata Mang Dede sambil menata kembali perlengkapan
pijatnya.
Saya coba duduk perlahan, mengangkat kedua tangan, memutar leher. “Wah,
mantap, Mang. Jangji teu lebay, ieu mah saperti mesin reset keur awak.”
“Hehe, nya bisi besok hayang balik deui ka kebon, awakna geus disiapkeun
deui,” jawabnya.wah besok mah teu bisa atuh,,khan jadwal na kuli di Pemprov
Jabar,,saur abdi,,,hehee
Setelah selesai semua, saya kasih uang jasa dan sedikit tambahan untuk
beli kopi. Dia terima dengan senyum hangat seperti biasa.
“Haturnuhun pisan, Pak Budy. Ulah poho nginum cai haneut samemeh sare.
Lamun perlu dikerok isukan, tinggal wa wae,” pesannya sebelum pamit.
Saya mengantar Mang Dede ke pintu, lalu kembali ke kamar. Malam ini udara Bandung terasa lebih bersahabat, mungkin karena badan ini sudah tidak protes lagi. Setelah itu sambil menyeruput teh panas buatan sang istri tercinta saya lanjut membuka laptop dan menulis cerita tentang ini
Bandung, 9 Juni 2025
Komentar
Posting Komentar