REFORMASI ASN: ANTARA NIAT
MULIA DAN REALITA YANG BERLIKU
Bayangkan birokrasi kita seperti perjalanan jauh. Lima tahun lalu, pemerintah menekan gas penuh: memangkas eselon, menyulap jabatan struktural jadi fungsional, dan memperkenalkan sistem kerja baru yang katanya lebih "agile", adaptif, dan kolaboratif. Tapi, tiga tahun berjalan sejak sistem baru ini diluncurkan, mungkin sudah waktunya kita parkir sebentar dan tanya: “Masih di jalur yang benar, atau kita justru muter-muter di bundaran tanpa sadar?”
Di atas kertas, semuanya
terdengar keren. Struktur ramping, birokrasi lincah, dan pelayanan publik makin
cepat. Regulasi pun sudah siap—dari PermenPANRB soal jabatan fungsional sampai
sistem kerja baru.
Tapi di lapangan, ASN
justru dibuat bingung. Banyak yang dulu pejabat struktural, kini jadi
fungsional, tapi tugasnya masih sama: mengkoordinasi, mengelola, memimpin tim
kerja. Bedanya? Kini tanpa jabatan, tanpa otoritas, tanpa pelatihan, dan sering
kali tanpa kejelasan siapa bos mereka. Mereka jadi seperti "pemain utama
tanpa nomor punggung".
Struktur boleh ramping,
tapi beban malah makin berat. ASN kini dituntut menguasai kerja teknis,
sekaligus mengatur tim, dan berkolaborasi lintas unit. Padahal, dalam teori job
redesign, perubahan peran itu butuh pelatihan dan kejelasan tujuan. Tanpa itu,
ya jadi lelah, bingung, bahkan kehilangan arah.
Ditambah lagi, budaya
kerja di banyak instansi masih seperti dulu: hierarkis, instruktif, dan minim
kolaborasi sejati. Sistem kerja boleh baru, tapi cara kerja masih jadul. Tim
kerja yang dibentuk kadang cuma ganti baju dari "seksi" atau "bagian",
tanpa perubahan esensial.
Tim Kerja atau Tim Bingung?
Penunjukan ketua tim
sering asal tunjuk: siapa yang dekat pimpinan, siapa yang bersedia. Tidak ada
standar kompetensi, tidak ada pelatihan kepemimpinan. Jadinya, banyak ASN
teknis yang tiba-tiba disuruh mimpin tim lintas fungsi tanpa bekal. Ibarat
suruh jadi pilot, tapi baru belajar nyetir sepeda.
SKP juga masih
individualistik. Kerja tim tidak selalu dihargai, jadi banyak yang akhirnya
"main aman": kerjakan tugas pribadi, tak usah repot urusan tim. Maka
lahirlah ruang kerja “abu-abu”—ASN diminta kolaboratif, tapi penilaiannya tetap
personal.
Pimpinan unit kerja juga
tak kalah mumet. Di satu sisi harus loyal ke atasan, di sisi lain harus adil ke
tim. Tapi struktur tak beri otoritas yang jelas, sistem tak beri perlindungan
moral. Banyak pimpinan mengalami dilema: tahu apa yang benar, tapi tak berdaya
melakukannya.
Teori konflik peran dan
moral distress menjelaskan ini: ketika nilai etika pribadi bertabrakan dengan
tuntutan atasan, stres muncul. Akhirnya, sebagian pemimpin jadi akomodatif,
sebagian jadi oportunis, sebagian memilih diam—bukan karena lemah, tapi karena
terlalu sering tak didengar.
Reformasi Itu Soal
Manusia, Bukan Sekadar Struktur
Apa yang bisa kita lakukan?
2) Bangun kepemimpinan yang
autentik. ASN butuh pembinaan moral dan psikologis, bukan cuma target.
3) Ubah sistem kerja jadi
benar-benar kolaboratif. Revisi SKP agar kerja tim dihargai.
4) Ciptakan budaya organisasi
yang jujur dan terbuka. ASN perlu ruang aman untuk bersuara.
Karena pada akhirnya, reformasi bukan soal memangkas kotak di bagan organisasi. Ia adalah soal memberi ruang tumbuh, menghargai kontribusi, dan memastikan ASN bekerja dengan arah yang jelas dan hati yang tegak. Jika itu tercapai, maka seberapa jauh pun kita pernah tersesat, kompas kita akan tetap bisa dikalibrasi ulang.
Komentar
Posting Komentar