REFLEKSI DIRGAHAYU RI KE 80
Peringatan HUT RI ke-80 ini seakan mengajak kita untuk kembali menengok perjalanan panjang bangsa. Setiap generasi punya peran yang berbeda. Generasi 1945 berjuang dengan bambu runcing, generasi 1960-an berjuang menegakkan identitas, generasi 1998 berjuang melawan otoritarianisme, dan generasi hari ini berjuang melawan korupsi, kesenjangan, serta ketertinggalan inovasi. Perjuangan tidak lagi dalam bentuk perang fisik, melainkan perang pemikiran, perang nilai, dan perang melawan diri sendiri agar tidak tergoda pada praktik busuk. Itulah hakikat perjuangan yang sering kali lebih berat dari sekadar mengangkat senjata.
Kilas balik yang kita rasakan hari
ini penuh warna. Di satu sisi ada rasa bangga luar biasa, sebab Indonesia
berhasil bertahan, tumbuh, dan bahkan semakin diperhitungkan di dunia
internasional. Kita punya potensi besar: demografi muda, sumber daya alam melimpah,
budaya yang kaya, dan geostrategis yang sangat penting. Namun di sisi lain, ada
luka batin kolektif yang belum sembuh: korupsi masih menjerat hampir di semua
lini kekuasaan. Ketika rakyat menyaksikan pejabat eksekutif yang ditangkap,
legislator yang diborgol, hakim yang terjerat suap, hingga direksi BUMN yang
korup, rasa kecewa itu begitu mendalam. Seakan negeri ini terus diuji: mampukah
kita benar-benar berdaulat atas integritas kita sendiri?
Namun, bangsa yang besar tidak diukur
dari ada tidaknya masalah. Bangsa besar justru terlihat dari cara menghadapi
masalah itu. HUT RI ke-80 ini harus menjadi momentum untuk mengakui kelemahan
tanpa menutupinya, sekaligus merumuskan jalan keluar yang realistis. Mengakui
bahwa kita masih bermasalah bukanlah aib, melainkan bentuk kedewasaan bangsa.
Dari pengakuan itulah lahir tekad baru: bahwa masa depan Indonesia tidak boleh
terus disandera oleh korupsi.
Asta Cita yang dicanangkan Oleh Presiden Prabowo Subianto harus terwujud. Visi kemandirian ekonomi, kualitas SDM unggul, pemerintahan yang bersih, hingga peran aktif di dunia internasional harus diterjemahkan lebih konkret. Tidak boleh berhenti sebagai slogan. Pendidikan antikorupsi harus masuk ke ruang kelas sejak dini. Bukan sekadar teori, melainkan pembiasaan. Anak-anak harus dibiasakan dengan kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab sejak kecil. Mereka harus mengerti bahwa mencontek dalam ujian sama jahatnya dengan mencuri uang negara dalam skala kecil. Ketika kesadaran ini tertanam sejak awal, generasi masa depan akan lebih kuat menghadapi godaan.
Selain pendidikan, strategi menuju
Indonesia maju juga harus berani menyentuh aspek sistem. Reformasi birokrasi
bukan hanya tentang digitalisasi, melainkan juga soal integritas aparaturnya.
Teknologi tanpa moral hanya akan melahirkan modus baru. Karena itu, pembangunan
sistem pengawasan yang ketat harus dibarengi dengan keteladanan dari para
pemimpin. Rakyat tidak akan percaya pada slogan integritas jika melihat
pemimpinnya justru terjerat kasus suap. Pemimpin adalah teladan, bukan sekadar
jabatan.
Kita juga harus belajar dari bangsa
lain yang mampu melompat jauh. Negara kecil seperti Singapura bisa menjadi
raksasa ekonomi Asia karena komitmen pada integritas dan efisiensi. Korea
Selatan bangkit dari puing perang menjadi negara teknologi karena kerja keras
dan disiplin nasional. Indonesia, dengan semua kelebihan yang dimiliki,
sebenarnya bisa melampaui itu semua bila mampu membereskan satu penyakit
kronis: korupsi. Itulah musuh besar yang harus dilawan bersama, bukan hanya
oleh aparat hukum, tapi juga oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Refleksi ini membawa kita pada satu kesimpulan sederhana: 80 tahun merdeka belum cukup bila kemerdekaan itu masih sering dirampas oleh perilaku busuk segelintir pejabat. Kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat bisa merasakan manfaat pembangunan tanpa harus berhadapan dengan pungli, suap, atau monopoli. Kemerdekaan sejati adalah ketika pajak yang dibayar rakyat benar-benar kembali dalam bentuk layanan publik berkualitas. Kemerdekaan sejati adalah ketika hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, meskipun yang melanggar adalah orang dekat kekuasaan.
Generasi muda memegang kunci dari
cita-cita itu. Mereka adalah bonus demografi yang akan menentukan arah bangsa
dalam 20–30 tahun ke depan. Jika mereka terjebak dalam budaya pragmatisme dan
permisif terhadap korupsi, maka masa depan Indonesia akan gelap. Namun jika
mereka dibimbing dengan integritas, kritis, inovatif, dan berani berkata tidak
pada korupsi, maka masa depan Indonesia akan bersinar. Perjuangan melawan
korupsi tidak boleh hanya menjadi wacana elit, melainkan menjadi gerakan sosial
yang hidup di tengah masyarakat.
Maka, peringatan HUT RI ke-80 ini
sejatinya adalah momen untuk bercermin dan berjanji. Bercermin pada masa lalu
yang penuh pelajaran, dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Kita tidak boleh terus terjebak dalam lingkaran korupsi yang merusak cita-cita
bangsa. Strategi menuju Indonesia maju harus berani menempatkan integritas
sebagai pondasi utama. Sebab tanpa integritas, semua visi dan rencana besar
hanya akan menjadi pepesan kosong.
Sejarah mencatat, bangsa Indonesia selalu punya kekuatan bangkit di saat kritis. Dari penjajahan berabad-abad, kita mampu meraih kemerdekaan. Dari krisis moneter, kita mampu bertahan. Dari pandemi global, kita mampu bangkit. Kini ujian terbesarnya adalah melawan korupsi dan memastikan Asta Cita bukan hanya tulisan indah, tetapi kenyataan. Jika kita mampu melewati ujian ini, maka Indonesia benar-benar akan menjadi bangsa yang maju, unggul, dan bermartabat.
Bandung, 17 Agustus 2025
Catatan Refleksi Kemerdekaan
Komentar
Posting Komentar