Doa orangtua untuk anaknya
adalah salah satu doa yang paling didengar Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka semestinya orangtua senantiasa mengalirkan doa kebaikan bagi
anak-anaknya. Orangtua juga mesti meneguhkan kesabaran jika menjumpai
penyimpangan pada anak-anaknya. Bukan malah mengutuk atau mendoakan
kejelekan bagi mereka.
Doa
orangtua untuk anaknya adalah salah satu doa yang paling didengar Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Maka semestinya orangtua senantiasa mengalirkan
doa kebaikan bagi anak-anaknya. Orangtua juga mesti meneguhkan kesabaran
jika menjumpai penyimpangan pada anak-anaknya. Bukan malah mengutuk
atau mendoakan kejelekan bagi mereka.
Sesuatu
yang sudah lazim untuk diketahui, orangtua harus membimbing
anak-anaknya. Mereka butuh diarahkan, diajari, ditegur dan diluruskan
bila mereka salah atau lupa. Semua itu tak lain untuk kebaikan masa
depan si anak; masa depan di dunia dan masa depan di akhirat.
Kadang
kala yang terjadi, orangtua sudah mengerahkan segala upaya untuk
mengajari dan membimbing, namun si anak tetap membandel dan ‘kepala batu’. Entah apa lagi cara yang harus ditempuh, seakan-akan semua jalan telah buntu.
Memang,
mencetak seorang anak menjadi anak shalih yang selalu menyenangkan hati
bukanlah semata hasil kerja keras orangtua dan pendidik. Semua usaha
yang ditempuh hanyalah merupakan sebab-sebab yang dilakukan untuk
mencapai tujuan itu. Adapun yang membuat hati si anak terbuka untuk
menerima pengarahan serta bimbingan orangtua dan orang-orang yang
mendidiknya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Sesungguhnya
engkau takkan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang engkau
cintai, akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia
kehendaki, dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk.” (Al-Qashash: 56)
Dalam
ayat-Nya ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau –lebih-lebih lagi
selain beliau– tidak akan mampu memberikan hidayah kepada seseorang,
walaupun dia orang yang paling dicintai. Tak seorang pun mampu
memberikan hidayah taufik dan menancapkan iman dalam hati seseorang. Ini
semata-mata ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah yang
memberi hidayah pada siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui,
siapa yang pantas mendapatkan hidayah dari-Nya hingga nanti Dia berikan
hidayah, dan siapa yang tidak layak mendapatkannya hingga Dia biarkan
orang itu dalam kesesatannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 620)
Cobalah
renungkan, bagaimana upaya Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam dalam
mengembalikan umatnya pada tauhid. Selama 950 tahun beliau mengajak
mereka dengan berbagai cara– untuk meninggalkan penyembahan berhala dan
hanya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Namun anak beliau
sendiri tidak mau menyambut seruan mulia sang ayah, sampai saat-saat
akhir kehidupan umat yang durhaka itu. Air bah yang meluap
menenggelamkan semua yang ada. Nabi Nuh ‘alaihissalam memanggil anaknya
yang enggan turut naik ke bahtera:
وَنَادَى نُوْحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَابُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلاَ تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِيْنَ
“Dan
Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh, ‘Wahai anakku!
Naiklah bahtera ini bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang
kafir’.” (Hud: 42)
Namun
apalah daya bila Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki, si anak
ini tidak mendapatkan petunjuk. Tetap dengan kesombongannya dia menolak
ajakan ayahnya, hingga berakhir dengan kebinasaan, ditelan oleh
gelombang air bah yang datang:
قَالَ
سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لاَ عَاصِمَ
الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا
الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِيْنَ
“Dia
berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan menghindarkanku dari
air bah. Nuh berkata, ‘Hari ini tidak ada lagi yang bisa melindungi dari
adzab Allah kecuali Dzat Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang pun
menghalangi mereka berdua, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang
yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)
Menyaksikan
anaknya turut tenggelam, timbul rasa iba sang ayah, hingga Nabi Nuh
‘alaihissalam pun berdoa kepada Rabbnya. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala
memperingatkan Nabi Nuh ‘alaihissalam dan menyatakan bahwa anaknya
bukanlah orang yang beriman sehingga termasuk orang-orang yang
ditenggelamkan:
وَنَادَى
نُوْحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ
الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ. قَالَ يَا نُوْحُ إِنَّهُ
لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِ مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ
الْجَاهِلِيْنَ
“Dan
Nuh pun menyeru Rabbnya, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji yang benar, dan
Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Wahai Nuh,
sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang diselamatkan),
sesungguhnya amalannya bukanlah amalan yang shalih. Maka janganlah
engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya
Aku peringatkan engkau agar jangan termasuk orang-orang yang jahil.” (Hud: 45-46)
Demikianlah
keadaannya. Seorang nabi pun tidak dapat menyelamatkan anaknya dari
kekafiran bila si anak tidak dibukakan hatinya untuk menerima keimanan.
Di
sisi lain, sangatlah mudah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
memberikan petunjuk pada hamba yang Dia kehendaki, walaupun hamba itu
dikepung oleh kaum yang berbuat syirik. Allah Subhanahu wa Ta’ala
kisahkan tentang kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam ketika Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan taufik kepadanya untuk bertauhid:
وَكَذَلِكَ
نُرِي إِبْرَاهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَلِيَكُوْنَ
مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ. فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا
قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لاَ أُحِبُّ اْلآفِلِيْنَ.
فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ
قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ
الضَّالِّيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي
هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيْءٌ مِمَّا
تُشْرِكُوْنَ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Komentar
Posting Komentar