Perpres
No. 54 tahun 2010 menegaskan pemisahan antara PA/KPA dengan PPK berupa
pemberian kriteria (persyaratan) dan kewenangan yang berbeda, namun
dalam Permendagri No. 21 tahun 2011 keduanya dapat dirangkap dan
dijadikan satu. Dari sini timbul pertanyaan apa dampak hukum atas PA/KPA
yang merangkap sebagai PPK dengan dasar hukum Permendagri No. 21 tahun
2011 tersebut.
Dalam
konsiderans Permendagri No. 21 tahun 2011 disebutkan beberapa alasan
yang menjadi pertimbangan dalam penyusunannya, salah satunya adalah : penegasan terhadap kedudukan pejabat pembuat komitmen. Kemudian dalam pasal 10 A, disebutkan:
Pasal 10A
Dalam
rangka pengadaan barang/jasa, Pengguna Anggaran bertindak sebagai
Pejabat Pembuat Komitmen sesuai peraturan perundang-undangan di bidang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Kemudian dalam Pasal 11, disebutkan:
Pasal 11
(1) Pejabat
pengguna anggaran/pengguna barang dalam melaksanakan tugas-tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat melimpahkan sebagian
kewenangannya kepada kepala unit kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang.
-sampai dengan-
(4) Kuasa
pengguna anggaran/kuasa pengguna barang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada pengguna
anggaran/pengguna barang.
(5) Dalam
pengadaan barang/jasa, Kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), sekaligus bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen.
Dari
uraian pasal-pasal dalam Permendagri No. 21 tahun 2011 tersebut dapat
disimpulkan bahwa dalam pengadaan barang/jasa Permendagri menegaskan
bahwa PA/KPA dapat bertindak sekaligus sebagai PPK. Tidak ada dasar
hukum yang disebutkan sehingga ada pengaturan tersebut, jadi yang
membuat aturan adalah Permendagri tersebut.
Perpres
No. 54 tahun 2010 mengatur bahwa dalam pengadaan barang/jasa, antara
PA/PPK dengan PPK dipisahkan (PA/KPA menetapkan PPK), sehingga ada
pemberian kewenangan dari PA/KPA kepada PPK khusus dalam hal pengadaan
barang/jasa. Dengan adanya pemberian kewenangan kepada PPK, jelas
kedudukannya bahwa PPK bertanggungjawab kepada PA/KPA. Kenapa
pengaturannya seperti itu? Sebagaimana disebutkan dalam konsiderans,
bahwa penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah harus efisiensi dan efektif, sehingga diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan,
transparansi, akuntabilitas serta prinsip persaingan/kompetisi yang
sehat dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dibiayai
APBN/APBD, dengan demikian diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan
berkualitas serta dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik,
keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat. Itulah sebabnya Perpres mendefinisikan
PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan
barang/jasa dan untuk menjadi PPK diberikan persyaratan yang cukup
tinggi sebagaimana disebutkan dalam pasal 12 ayat (2). Titik berat dalam
Perpres No. 54 tahun 2010 adalah PPK haruslah seorang yang profesional
dan tidak berpihak (independen) sehingga dapat menjamin terjadinya
interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait (stakeholders)
secara adil, transparan, profesional, dan akuntabel.
Karena
Perpres No. 54 tahun 2010 mengamanatkan adanya pemisahan antara PA/KPA
dengan PPK sedangkan Permendagri No. 21 tahun 2011 memperbolehkan maka
terjadi pertentangan/konflik antara norma hukum (antinomi) ada
pertentangan hukum, bagaimana meninjau keadaan ini dalam ilmu hukum?
jawabannya dikembalikan kepada tata peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Dalam Pasal 5 Undang Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan :
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Kemudian dalam Pasal 8, disebutkan:
Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Penjelasan Pasal 8 ayat (1)
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
Dengan
meninjau Undang Undang No. 12 Tahun 2011 kita dapat melihat bahwa
Peraturan Menteri juga bagian dari Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku (Pasal 8 ayat 1), namun demikian sebagaimana yang disebutkan
dalam pasal 5, pembentukan peraturan menteri harus melihat pada
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; serta disusun
dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan
(penjelasan Pasal 8 ayat 1).
Dari sini dapat dibuat kesimpulan, yaitu :
1. Pengaturan
PA/KPA dapat bertindak sebagai PPK dalam Permendagri No. 21 Tahun 2011
tidak sesuai secara hierarki dan materi muatan dengan Perpres No. 54
tahun 2010 yang lebih tinggi hierarkinya dibandingkan dengan Permendagri
berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Ini sesuai dengan asas hukum “Lex Superior Derogat Legi Inferiori”
dimana terhadap 2 (dua) peraturan yang berada dalam urutan yang berbeda
dan mengatur hal yang sama, maka peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dalam hal ini Permendagri secara hierarki lebih rendah dari Perpres.
2. Ruang
lingkup Permendagri No. 21 Tahun 2011 adalah urusan tertentu dalam
Kementrian Dalam Negeri, seharusnya pengaturan tersebut dibaca khusus
diberlakukan bagi Kementrian Dalam Negeri, namun demikian kekhususan
tersebut seharusnya bersifat mengatur lebih jauh dan tidak membuat
aturan yang menyimpangi dan bertentangan dengan peraturan diatasnya
secara hierarki. Asas preferensi hukum “Lex Specialis Derogat Legi
Generali” memang mengatur penggunaan peraturan yang lebih khusus, namun
asas tersebut tidak dapat diterapkan dalam hal ini karena kriterianya
adalah bilamana 2 (dua) peraturan tersebut dalam urutan yang sama
(sejajar) dalam hierarki perundang-undangan dan mengatur hal yang sama
Lantas
bagaimana jalan keluar mengatasi keadaan yang terjadi di daerah saat
ini? kalau dihadapkan pada terbatasnya aparatur, maka PA tidak perlu
membuat KPA, personil yang tadinya akan ditempatkan sebagai KPA dapat
dijadikan sebagai PPK dengan kewenangan yang dibutuhkan oleh PA. Contoh :
Bupati dapat membentuk 1 ULP terlebih dahulu untuk melaksanakan
Pengadaan Barang/Jasa bagi semua SKPD di Kabupaten, dengan demikian
tidak perlu membuat banyak panitia pengadaan bagi masing-masing SKPD.
Dengan adanya satu badan ULP, maka aparatur yang bersertifikat dapat
diangkat oleh PA sebagai PPK dalam pelaksanaan pengadaan, lalu dapat
dipertimbangkan apakah KPA masih diperlukan atau tidak.
Komentar
Posting Komentar