Kontrak Dibatalkan, Kontrak Batal Demi Hukum, Penghentian Kontrak Dan Pemutusan Kontrak

Dalam sebulan terakhir ini, saya banyak menerima pertanyaan mengenai masalah Kontrak. Pertanyaan itu muncul dengan latar belakang masalah yang beragam, dan setelah saya pelajari referensi dari Prof. Dr. Y Sogar Simamora, M. Hum., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga saat mengikuti Pelatihan Saksi Ahli (sekarang disebut Pelatihan Pemberi Keterangan Ahli) yang diselenggarakan oleh LKPP tanggal 21-25 Februari 2011 dan berdiskusi dengan Prof. Tan Kamaro, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Tulisan ini membahas aspek hubungan Perdata dalam Kontrak antara PPK dan Penyedia dengan menggunakan asumsi tidak ada pelanggaran Pidana atau keputusan Tata Usaha Negara yang menyertainya.
Kontrak antara PPK dan Penyedia dapat digambarkan dalam peta pikiran (mind map) yang terlampir dalam tulisan ini. Permasalahan dalam hubungan Kontrak dapat digambarkan dalam matriks berikut :


Kontrak Dibatalkan/ Batal Demi Hukum
Penghentian Kontrak
Pemutusan Kontrak
Penyebab
Tidak terpenuhinya syarat sah nya Kontrak, sehingga :
  • Kontrak dapat dibatalkan; atau
  • Kontrak batal demi hukum.
  • Kontrak selesai
  • Kahar
  • Pengguna tidak melakukan pembayaran
Penyedia tidak dapat menyediakan barang/jasa yang diatur dalam Kontrak
Akibat bagi Penyedia
Dalam hal kontrak dibatalkan atau batal demi hukum, maka:
  • Penyedia harus mengembalikan kondisi seperti semula saat belum dilaksanakannya Kontrak.
  • Penyedia tidak boleh memperoleh keuntungan finansial dari Kontrak
  • Penyedia berhak mendapatkan pembayaran atas pekerjaan yang telah dilakukan
  • Penyedia berhak menghentikan pekerjaan
  • Penyedia berhak mendapatkan ganti rugi finansial
  • Penyedia dinyatakan wanprestasi
  • Penyedia harus mengusahakan dengan cara apapun sampai diperolehnya barang/jasa yang diatur dalam Kontrak
Akibat bagi Pengguna
Dalam hal kontrak dibatalkan atau batal demi hukum
  • Jika barang/jasa akan dimanfaatkan oleh Pengguna, maka Penggunahanya boleh membayar sebatas biaya yang dikeluarkan oleh Penyedia tanpa perlu memberikan keuntungan.
  • Jika barang/jasa tidak dimanfaatkan oleh Pengguna, maka barang/jasa dikembalikan
  • Pembeli harus melakukan pembayaran atas barang/jasa yang diterimanya
  • Pembeli harus memberikan ganti rugi finansial atas keterlambatan pembayaran
Pembeli tidak perlu melakukan pembayaran jika barang/jasa yang diatur dalam Kontrak tidak diterima 100%,.

Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk memahami matriks tersebut di atas, pembahasan akan saya mulai dari syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 BW yang langsung diimplementasikan dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yaitu:
  1. Syarat Subyektif, yang terdiri dari: a. Sepakat melakukan perikatan
    Sepakat merupakan pernyataan kehendak yang disetujui oleh Para Pihak.Pernyataan pihak yang menawarkan disebut tawaran, dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dinyatakan dalam Dokumen Pengadaan.Sementara pernyataan pihak yang menerima tawaran disebut akseptasi, dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dinyatakan dalam Dokumen Penawaran.
    b. Cakap membuat perikatan
    Untuk memenuhi syarat sah nya perjanjian, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 (dan perubahannya) menetapkan persyaratan PPK selaku pembeli pada pasal 12 dan Penyedia selaku penjual pada pasal 19. Tidak terpenuhinya ketentuan pasal 12 dan pasal 19 mengakibatkan Para Pihak yang menandatangani Kontrak tidak dianggap cakap untuk melakukan perikatan. Salah satu penyebab tidak terpenuhinya pasal 19 apabila Penyedia sedang menjalani sanksi Daftar Hitam namun tetap memaksakan diri mengikuti proses pemilihan berikutnya.
  2. Syarat Obyektif, yang terdiri dari:
  • Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu adalah pokok yang diperjanjikan. Dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah syarat adanya suatu hal tertentu sudah pasti dipenuhi sejak tahap Rencana Umum Pengadaan.
  • Suatu sebab yang halal Sebab yang halal (kausa yang legal) mengatur mengapa Kontrak tersebut dibuat. Sebuah perjanjian dapat dinyatakan tidak memenuhi kausa yang legal apabila perjanjian itu memuat:
    • Kausa yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan;
    • Kausa yang bertentangan dengan kesusilaan;
    • Kausa yang bertentangan dengan ketertiban umum.
Dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dapat dikatakan tidak ada pelanggaran kausa kesusilaan dan ketertiban umum, sehingga kausa peraturan perundang-undangan lah yang harus menjadi fokus perhatian.Peraturan perundang-undangan dalam arti luas adalah termasuk Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 (dan perubahannya).
Akibat Tidak Terpenuhinya Syarat Sahnya Perjanjian
Tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, akan mengakibatkan:
1. Perjanjian Dapat Dibatalkan
Perjanjian dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi persyaratan subyektif sebagaimana diuraikan di atas. Proses membatalkan sebuah perjanjian harus diselesaikan melalui mekanisme sengketa yang sudah diatur sebelumnya, yaitu melalui Abitrase atau Pengadilan. Jika Para Pihak tidak membawa pelanggaran syarat subyektif ini dalam sengketa Kontrak, maka perjanjian tetap berlaku sebagaimana adanya.
Dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kemungkinan terjadinya perjanjian yang dapat dibatalkan adalah pada pemenuhan persyaratan PPK dan Penyedia dalam membuat perikatan.
2. Perjanjian Batal Demi Hukum
Perjanjian dinyatakan batal demi hukum apabila tidak memenuhi persyaratan obyektif sebagaimana diuraikan di atas.Perjanjian yang dinyatakan batal demi hukum artinya adalah perjanjian itu dianggap tidak pernah ada atau tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kemungkinan terjadinya perjanjian batal demi hukum apabila proses pengadaan (tahap perencanaan, tahap pemilihan dan tahap pelaksanaan kontrak) melanggar peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 (dan perubahannya).
Konsekwensi Kontrak Dibatalkan dan Kontrak Batal Demi Hukum
Secara umum, jika Kontrak Dibatalkan atau Kontrak Batal Demi Hukum, maka keadaan harus dikembalikan kepada kondisi semula seperti saat belum dilaksanakannya Kontrak.Tanggung jawab untuk mengembalikan ke dalam kondisi semula ada pada Pihak yang melakukan kesalahan.Pihak yang melakukan kesalahan tidak boleh mendapatkan keuntungan dari Kontrak dan Piihak yang tidak melakukan kesalahan tidak boleh dirugikan akibat Kontrak tersebut.
Jika dikaitkan dengan pelaksanaan anggaran belanja negara, masalah krusial yang muncul adalah apakah Kontrak Dibatalkan dan Kontrak Batal Demi Hukum bisa digunakan sebagai dasar pembayaran?Jawaban normatifnya adalah TIDAK.Oleh karena itu, PPK dan/atau Penyedia yang melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan Kontrak Dibatalkan atau Kontrak Batal Demi Hukum tidak bisa melakukansejumlah pembayaran yang telah diatur dalam Kontrak tersebut.
Kondisi-kondisi yang mungkin terjadi akibat Kontrak Dibatalkan atau Kontrak Batal Demi Hukum dalam konteks PengadaanBarang/Jasa Pemerintah diantaranya adalah:
  1. Pembeli tidak menerima/memanfaatkan barang/jasa Jika kesalahan Penyedia mengakibatkan Kontrak Dibatalkan atau Kontrak Batal Demi Hukum dan PPK selaku pembeli tidak bersedia menerima/memanfaatkan barang/jasa dimaksud, maka PPK harus mengembalikan seluruh barang/jasa yang telah diterima atau menolak pengiriman barang/jasa berikutnya. Dalam kondisi ini Penyedia harus menanggung ongkos untuk menarik kembali barang/jasa yang sudah dikirimkan, termasuk kemungkinan membongkar bangunan dan mengembalikan seperti kondisi semula.
  2. Pembeli sudah menerima dan memanfaatkan barang/jasa Jika kesalahan Penyedia mengakibatkan Kontrak Dibatalkan atau Kontrak Batal Demi Hukum dan PPK selaku pembeli sudah menerima dan memanfaatkan barang/jasa dimaksud, maka pada prinsipnya PPK harus melakukan pembayaran atas barang/jasa yang sudah/akan diterimanya. Azas manfaat dan pencapaian output tentu menjadi dasar pertimbangan utama PPK dalam mengambil keputusan ini.
    Yang harus disadari oleh Penyedia adalah bahwa dia tidak berhak menerima pembayaran yang sudah disepakati sebelumnya dan dia tidak berhak memperoleh keuntungan finansial dari barang/jasa yang sudah/akan diterima dan dimanfaatkan oleh PPK.Oleh karena itu, dalam kondisi pilihan ini, PPK hanya bisa membayarkan sebatas biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penyedia tanpa memberikan keuntungan apapun kepada Penyedia.
    Salah satu larangan dalam Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 (dan perubahannya) adalah melakukan pemecahan paket untuk menghindari pelelangan. Jika pemecahan paket dilakukan untuk menghindari pelelangan, lalu pemilihan menggunakan metode pengadaan langsung, dapat dikatakan bahwa Kontrak yang dibuat batal demi hukum, sehingga Penyedia tidak berhak atas keuntungan dari Kontrak tersebut atau harus mengembalikan keuntungan yang telah diterimanya. Menghitung besarnya keuntungan Penyedia yang tidak sah secara sederhana dapat digunakan pendekatan besarnya prosentase keuntungan yang diberikan saat penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Penghentian Kontrak oleh Pengguna/PPK
Dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 (dan perubahannya) diatur bahwa PPK melakukan penghentian kontrak pada saat pekerjaan selesai atau keadaan kahar.Penghentian kontrak karena pekerjaan selesai dan kahar menuntut dipenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak.Kepada Penyedia harus dibayarkan sejumlah yang disepakati dalam Kontrak atau senilai pekerjaan yang telah dilaksanakan pada saat Kahar terjadi.
Penghentian Kontrak oleh Penyedia
Apabila Penyedia sudah memenuhi seluruh kewajibannya yang diatur dalam Kontrak sampai dengan suatu waktu tertentu dan sudah mengajukan permintaan pembayaran sesuai ketentuan yang berlaku, namun tidak dilakukan pembayaran tanpa alasan yang sah, maka Penyedia bisa menghentikan pekerjaan dan menuntut ganti rugi atas keterlambatan pembayaran.Kalimat sampai dengan suatu waktu tertentu bisa diartikan akhir masa pelaksanaan maupun bagian dari masa pelaksanaan dimana Penyedia sudah memiliki hak pembayaran.
Penyedia bisa mengajukan gugatan perdata kepada PPK dan pihak-pihak lain yang mengakibatkan tidak dilakukannya pembayaran.Gugatan penyedia meliputi pembayaran atas pekerjaan yang telah dilakukan dan kerugian finansial atas keterlambatan pembayaran. Jika proses perdata dilalui, baik melalui jalur Abritase atau Pengadilan, akan terjadi mediasi yang mengharuskan PPK (dan pihak-pihak lain) untuk:
  • mengupayakan penyediaan anggaran senilai barang/jasa yang menjadi milik negara; dan
  • secara tanggung renteng membayar ganti rugi kerugian finansial Penyedia.
Pemutusan Kontrak sepihak oleh PPK
Dalam hubungan perdata, Pengguna hanya dapat dituntut untuk melakukan pembayaran jika barang/jasa yang diatur dalam Kontrak dapat dipenuhi oleh Penyedia.Oleh karena itu, jika Penyedia gagal menyediakan barang/jasa, Pengguna tidak dapat dituntut untuk melakukan pembayaran.Kegagalan Penyedia termasuk keadaan dimana Penyedia hanya mampu menyelesaikan sebagian dari barang/jasa yang diperjanjikan.
Dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.Pemutusan Kontrak sepihak akibat kesalahan Penyedia diatur dalam pasal 93 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 (dan perubahannya).Sebagai akibat dari pemutusan sepihak oleh PPK, kepada Penyedia dikenakan Sanksi sebagaimana diatur dalam pasal 93 ayat (2). Yang perlu menjadi diskusi berikutnya adalah apakah rumusan sanksi tersebut sudah cukup menggantikan kerugian perdata Negara akibat tidak diperolehnya barang/jasa yang telah direncanakan ?Perlu tulisan terpisah untuk membahas masalah ini.
Masalah besar yang dihadapi akibat pemutusan kontrak karena kesalahan Penyediadan pengenaan sanksi berdasarkan pasal 93 ayat (2) adalah: Penyedia tidak melanjutkan pekerjaan dan dibebaskan dari tanggung jawab, pembayaran yang sudah dilakukan dengan cara termijn tidak dapat ditarik kembali, dan sisa anggaran tidak akan mencukupi untuk menyelesaikan pekerjaan. Penyelesaian pekerjaan dilakukan tahun berikutnya dan dibutuhkan anggaran yang nilainya lebih besar dari sisa pembayaran tahun sebelumnya.
Pemutusan Kontrak sepihak berpotensi merugikan Negara baik secara finansial maupun non finansial. Oleh karena itu, PPK sebagai wakil Negara dalam hubungan perdata dengan Penyedia selayaknya diberikan kewenangan seluas-luasnya untuk menghindari terjadinya pemutusan Kontrak.Namun di sisi lain PPK tidak bisa menggunakan kewenangan-kewenangan menghindari pemutusan Kontrak karena PPKadalah aparat Negara yang harus tunduk pada ketentuan administrasi keuangan, khususnya batas akhir tahun anggaran. Dilema PPK terjadi saat orang berbahagia menjelang “pergantian kalender masehi”.

Diagram Kontrak
disadur dari tulisan ; Gus kun

Komentar

  1. Bagaimana perhitungan PPN-nya pak? kalau kami kontak toko 12 bulan (1 tahun). sudah berjalan 3 tahun lebih. namun pada tahun ini kami tidak melanjutkan kontraknya. pada tahun ini kami baru menggunakan 2 bulan. berapa PPN yang harus kami bayar? (pemilik toko mengklaim sudak menyetorkan PPN ke kantor pajak selama 12 bulan)

    BalasHapus
  2. Terimakasih sudah bagi ilmunya. Saya ada pertanyaan. Bagaimana kalau pembatalan draft kontrak untuk sewa tempat. Draft kontrak yang diajukan oleh penyewa sudah saya tandatangani. Tapi karena tidak ada kabar dan tindak lanjut dari penyewa, maka saya berniat untuk membatalkannya. Apa kah saya sudah terikat dengan kontrak walaupun itu masih berbentuk draft? Terimakasih sebelumnya...

    BalasHapus

Posting Komentar