Abstraksi
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan
profesionalisme, Pemerintah Daerah perlu melakukan penataan ulang terhadap
birokrasi yang selama ini dijalankan. Penataan ulang terhadap birokrasi menjadi
hal yang sangat mendesak dilakukan manakala praktek atau bentuk birokrasi yang
selama ini dijalankan cenderung membuat sebagian besar masyarakat alergi
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan pengadaan Barang yang
jujur dan Kredibel, kiranya Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah perlu lebih
meningkatkan upaya yang sinergis serta berkelanjutan dalam upaya mewujudkan
Pemerintahan Daerah yang amanah sesuai dengan etika dan prinsip-prinsip Pengadaan
Barang/Jasa pemerintah.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah sangat rawan terhadap
penyimpangan.Untuk itu, perlu dilakukan audit pengadaan barang/jasa (APBJ).
Terdapat potensi penyimpangan yang hendaknya
dikenali oleh para pelaku pengadaan ( Pengguna Anggaran, Kuasa pengguna Anggaran serta
Pejabat pengadaan serta ULP ) maupun para auditor, mulai dari proses perencanaan
sampai dengan pemanfaatan hasil pengadaan.
Dengan mengenali “aturan main”
tersebut, para pelaku pengadaan diharapkan lebih berhati-hati agar tidak
terjebak pada praktik menyimpang yang dapat
merugikan diri sendiri maupun bangsa dan negara. Manajemen dapat menerapkan sistem pengendalian .
A. Pendahuluan
Pelaksanaan Otonomi Daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang 32
Tahun 2004
dan 33 Tahun 2004 diharapkan mampu memacu tiap pemerintah
daerah kabupaten/kota guna melakukan percepatan kesejahteraan masyarakat serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintah daerah. Percepatan
kesejahteraan masyarakat memiliki dua tujuan utama, yakni dalam rangka
melibatkan masyarakat dalam pembangunan dan meningkatkan daya saing daerah.
Efisiensi dan efektivitas pemerintahan daerah berkenaan kepada bagaimana
kelembagaan didaerah mampu melakukan fungsi-fungsi penyelenggaraan dengan responsif
sesuai dinamika di masyarakat secara transfaran. Peningkatan pelayanan kepada
masyarakat, upaya menarik insvestor ke daerah serta kejelasan pembagian antara
kewenangan pusat dan daerah merupakan hal-hakl nyata yang coba dicapai dari
pelaksanaan otonomi daerah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat sangat enggan berhubungan
dengan birokrasi pemerintah. Kurangnya transfaransi baik dari sisi waktu,
persyaratan, biaya maupun prosedur ditambah dengan masih kentalnya prilaku
koruftif merupakan kondisi riil yang terjadi dan dihadapi oleh setiap
masyarakat Indonesia saat ini. Berdasarkan kajian International Finance
Corporation (IFC) sebuah lembaga bentukan World Bank yang bergerak disektor
swasta menunjukan Indonesia pada tingkatan Asia Tenggara masih berada pada
deretan negara yang membutuhkan waktu yang lama dalam melaksanakan kegiatan
usaha. Dalam rangka memperbaiki kondisi tersebut, pemerintah pwerlu melakukan
penataan maupun perubahan terhadap sistem birokrasi yang ada. Penataan maupun
perubahan setidaknya mencakup aspek organisasi pemerintahan, sistem
administrasi serta pola pikir aparatur pelaksananya.
Layanan publik sebagai salah satu muara yang dituju dari birokrasi akan
sangat terpengaruh dari belum optimalnya susbsistem tersbut. Layan Publik berdasarkan
Kepmenpan 63 Tahun 2003 seharusnya merupakan pemberian layanan prima kepada
masyarakat sebagai bentuk kewajiban aparatur pemerintah kepada masyarakat
dengan berlandaskan pada azas transparansi, akuntabilitas, kondisional,
partisipasif, kesamaan hak serta keseimbangan hak dan kewajiban. Dikeluarkannya
Intruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
dan Intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang paket kebijakan perbaikan
iklim investasi secara langsung maupun tidak langsung bertujuan untuk mencapai
layanan publik yang prima. Pelayan Publik merupakan suatu hal yang sangat
terkait erat dengan birokrasi. Osborne dan Plastrik menyatakan bahwa terdapat
lima hal yang sangat berpengaruh terhadap kinerja pelayanan publik, yaitu misi,
akuntabilitas, konsekkuensi, kekuasaan dan budaya. Kelima subsistem tersebut
akan saling mempengaruhi dalam membentuk prilaku publik.
Misi akan sangat menentukan kemampuan dari suatu sistem pelayanan publik
dalam mmerespon dinamika yang terjadi dimasyarakat secara tepat dan
efisien. Maraknya Korupsi kolusi dan
Nepotisme (KKN) semakin memperburuk citra pemerintah dan birokrasi dimata
masyarakat. Tidak jelasnya misi pelayanan publik sering dipergunakan sebagai alasan
utama untuk selalu bersandar pada prosedur dan peraturan. Hal ini acapkali
menafikan perubahan yang terjadi dalam lingkungan maupun perubahan alternatif
bentuk pelayanan yang sekiranya dapat memudahkan pengguna
Minimnya drive dan insentif dari pimpinan daerah untuk bersikap dan
bertindak secara efisien dan resposif merupakan hal lain penyebab kegagalan
penyelenggaraan layanan publik. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari sistem
anggaran tahunan yang justru memberikan insentif untuk spending, sedangkan
penghematan dianggap sebagai hal negatif yang menjadi indikator kegagalan (
Dwiyanto et all, 2006 :1-9)
Dalam KepMenPAN Nomor 63 Tahun 2003 dinyatakan bahwa hakekat pelayan publik
adalah memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban apartur pemerintah sebagai abdi
masyarakat. Dalam pelayanan publik, asas yang dikedepankan melingkupi ;
- Transfaransi, bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses
oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah
dimengerti ;
- Akuntabilitas, dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan ;
- Kondisional, sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi
dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan
efektivitas ;
- Partisipasif , mendorong peran serta masyarakat serta
swasta dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi,
kebutuhan dan harapan masyarakat ;
- Kesamaan hak, tidak diskriminatif dalam arti tidak
membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi ;
- Keseimbangan hak dan kewajiban, pemberi dan penerima
pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Berdasarkan amanat Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
sebagaimana
telah di revisi dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah, maka seluruh
proses pengadaan barang./jasa pemerintah harus memenuhi prosedur yang diatur
dalam peraturan presiden tersebut. Pengadaan barang dan jasa
pemerintah merupakan kegiatan yang sangat rawan terhadap penyimpangan . Untuk
Meningkatkan efektivitas dan pelaksanaan kegiatan pengadaan perlu
dilakukan pengawasan / audit
pengadaan barang/ jasa (APBJ). Sebagaimana termuat
dalam penjelasan Pasal 4 ayat 4 Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara. Audit dengan tujuan tertentu merupakan audit
ketaatan terhadap ketentuan Peraturan
Presiden No. 54 Tahun 2010. Adapun audit investigatif dilakukan apabila
ditemukan penyimpangan yang berindikasi Tindak Pidana Korupsi (TPK) atau adanya
pengaduan (whistle blower) dari
masyarakat. Ruang lingkup APBJ adalah
seluruh kegiatan pengadaan barang/jasa sesuai dengan pasal 2 Perpres No.70 Tahun
2012 yaitu pengadaan yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan
pada APBN/APBD; yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari pinjaman/hibah luar
negeri (PHLN); dan pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan
BI/BHMN/BUMN/ BUMD yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada
APBN/APBD.
Sasaran
audit Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
khususnya di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat , dengan aspek- aspek yang diaudit antara lain:
1. Perencanaan;
2. Keuangan;
3. Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan;
4. Kewajaran harga;
5. Ketepatan kuantitas;
6. Ketepatan kualitas;
7. Ketepatan waktu pelaksanaan kegiatan;
8. Pemanfaatan hasil pelaksanaan kegiatan.
Auditor maupun para pelaku
pengadaan harus memahami berbagai penyimpangan yang sering terjadi dalam pengadaan barang/jasa. Dengan pemahaman tersebut, auditor diharapkan
dalam mengaudit dapat terfokus untuk meyakinkan bahwa penyimpangan tersebut
tidak terjadi dengan didukung bukti-bukti yang relevan, kompeten, cukup, dan
material.
Adapun bagi para pelaku
pengadaan diharapkan tidak melakukan penyimpangan dimaksud, karena sebenarnya
modus penyimpangan tersebut sudah diketahui oleh auditor maupun penegak hukum
yang dapat mengarah pada risiko KKN.
B. Bentuk KKN dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Dalam Perpres No. 70 tahun
2012 terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa penghentian/pemutusan ikatan
kontrak dapat dilaksanakan apabila ternyata dalam proses pengadaan barang dan
jasa terbukti terdapat KKN, kontrak dapat
Dibatalkan. Dalam peraturan
pengadaan barang jasa yang dikeluarkan
oleh IBRD dan ADB terdapat ketentuan yang menyatakan
bahwa apabila diketahui atau diduga terjadi praktek KKN, kedua lembaga tersebut
tidak akan membayar kontrak
yang telah ada.
Pengertian korupsi dari
segi kaidah hukum yang bersifat normatif dan berdasarkan ketentuan UU No. 31
tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi (pasal 2 ayat 1)
adalah:setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian negara.
Yang merugikan negara atau perekonomian negara terkandung pengertian
keuangan atau kekayaan milik pemerintah,
atau swasta, maupun masyarakat, baik
secara keseluruhan maupun sebagian, sebagai unsur utama yang tidak terpisahkan dari pengertian
negara.
Tindakan korupsi dapat
digolongkan sebagai tingkah laku atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian
negara atau perekonomian negara.Centre of International Crime Prevention
(CICP) dari UN Office for Drug Control and Crime Prevention (UN-ODCCP),
telah mempublikasikan 10 bentuk korupsi (The 10 Corruption Acts) yang berbeda-beda dan dapat diaplikasikansecara praktis pada pengadaan
barang/ jasa sektor publik sebagai berikut:
a. Pemberian suap
pemberian
dalam bentuk uang,barang, fasilitas, dan janji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang berakibat menguntungkan
diri sendiri atau pihak
lain berhubungan dengan jabatan
yang dipegangnya pada saat
itu.
b. Penggelapan
(embezzlement):
perbuatan
mengambil tanpa hak oleh
seseorang yang telah diberi kewenangan
oleh pejabat public maupun swasta untuk mengawasi dan
bertanggung jawab penuh terhadap
barang milik negara.
c.
Pemalsuan (fraud
):
suatu tindakan atau perilaku untuk mengelabui orang lain atau organisasi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
d. Pemerasan
(extortion):
memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang atau barang atau bentuk lain sebagai ganti dari seorang pejabat public untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Perbuatan tersebut dapat diikuti
dengan ancaman fisik atau kekerasan.
e.
Penyalahgunaan jabatan atau wewenang (abuse of discretion):
mempergunakan kewenangan yang dimiliki untuk
bertindak memihak atau pilih kasih kepada kelompok atau perseorangan pada sisi
lain bertindak diskriminatif terhadap mereka.
f. Pertentangan
kepentingan/memiliki usaha sendiri (internal trading):
melakukan
transaksi public dengan
menggunakan perusahaan milik pribadi atau keluarga dengan cara menggunakan
kesempatan dan jabatan yang dimilikinya
untuk memenangkan kontrak pengadaan barang/ jasa pemerintah.
g.
Pilih kasih (favoritism):
memberikan
pelayanan yang berbeda berdasarkan alasan hubungan keluarga, afiliasi partai
politik, suku, agama dan golongan dengan mengesampingkan alasan objektif
seperti kemampuan, kualitas, harga rendah dan profesionalitas kerja.
h.
Menerima komisi (commission):
pejabat
publik menerima sesuatu yang bernilai dalam bentuk uang, saham, fasilitas,
barang dan lain-lain, sebagai syarat untuk
memperoleh pekerjaan atau hubungan bisnis dengan pemerintah.
i.
Nepotisme (nepotism):
mendahulukan
sanak keluarga, kawan dekat, anggota partai politik yang sepaham dalam
penunjukan atau pengangkatan staf panitia pelelangan atau pemilihan pemenang
lelang.
j.
Kontribusi atau sumbangan ilegal (illegal contribution):
partai
politik atau pemerintah yang sedang berkuasa pada saat itu menerima sejumlah
dana sebagai suatu kontribusi dari hasil yang dibebankan pada kontrak- kontrak
pengadaan barang/jasa pemerintah.
C.
Potensi Penyimpangan Pengadaan Barang dan Jasa
Potensi penyimpangan
dalam pengadaan barang/jasa berdasarkan
proses pengadaan barang/jasa dari perencanaan sampai pemanfaatan diuraikan di
bawah ini.
1) Perencanaan
pengadaaan
a. Penggelembungan
anggaran (gejala penggelembungan terlihat dari unit price yang tidak realistis,
rencana biasanya disusun berlebihan
serta jauh dari kebutuhan sebenarnya baik dari aspek biaya, volume, kualitas,
bahan dan sebagainya);
b. Adanya
intervensi dari anggota DPRD kepada Kepala Dinas dalam menentukan anggaran
maupun rekanan yang akan menang saat pelaksanaan pekerjaan ;
c. Rencana
pengadaan yang diarahkan (spesifikasi teknis dan kriterianya memperbesar
peluang yang mengarah pada merk tertentu atau pengusaha tertentu);
d. Tidak
mengumumkan secara terbuka rencana pengadaan barang/jasa pada awal pelaksanaan
anggaran;
e. Pemaketan
pekerjaan yang direkayasa (pekerjaan hanya mampu dilaksanakan oleh kelompok
tertentu saja, pemaketan pekerjaan kepada beberapa penyedia barang/jasa yang berasal dari kelompok tertentu dalam
rangka tender arisan atau bagi-bagi keuntungan);
f. Memecah
pengadaan barang/ jasa menjadi beberapa paket untuk menghindari pelelangan;
g. Memecah
paket pekerjaan yang menurut sifatnya seharusnya merupakan satu kesatuan
konstruksi;
h. Menyatukan
atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa daerah yang menurut
sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di daerah
masing-masing;
i. Menggabungkan
beberapa paket pekerjaan yang sifat pekerjaan dan besaran nilainya seharusnya
dapat dilakukan usaha kecil tetapi menjadi satu paket pekerjaan yang hanya
dapat dilaksanakan oleh usaha non kecil (menengah dan besar);
j. Rencana
pembelian yang tidak sesuai kebutuhan;
k. Penentuan
jadwal waktu yang tidak realistis;
l. Pemilihan
metode penunjukan langsung untuk kontrak yang seharusnya pelelangan umum;
m. Pemilihan
metode peninjauan dengan sistem nilai (merit point) untuk peninjauan yang
seharusnya sistem gugur (untuk memenangkan produk/merk
atau penyedia barang/jasa tertentu);
n. Pengalokasian
anggaran kegiatan yang direncanakan dilakukan dengan cara swakelola, dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara kontraktual kepada penyedia barang/jasa, atau sebaliknya;
o. Jadwal
waktu untuk melakukan pendaftaran
dan pengambilan dokumen pengadaan dilakukan dalam kurun waktu yang berbeda;
p. Biaya
untuk mendukung pelaksanaan pengadaan tidak tersedia.
2) Pembentukan Pokja ULP/ pejabat pengadaan
a.
Pokja ULP/pejabat pengadaan tidak memiliki sertifikat keahlian pengadaan
barang/jasa;
b.
Pokja ULP/pejabat pengadaan yang tertutup dan tidak transparan, tidak
melayani atau menilai secara adil kepada para peserta lelang (ketidak terbukaan dan ketidak adilan
ULP);
c.
Pokja ULP/pejabat pengadaan tidak memiliki integritas (ULP tidak jujur
dan tidak profesional, tidak transparan dan tidak akuntabel);
d.
Pokja ULP/pejabat pengadaan yang memihak (ULP memberi keistimewaan kepada
kelompok tertentu);
e.
Pokja ULP/pejabat pengadaan tidak independen, bekerja di bawah tekanan
PA/KPA, PPK, atau penyedia barang/jasa atau mungkin karena kepentingan diri
sendiri, sehingga cenderung menghambat
akses informasi dari pihak-pihak yang dinggap dapat menghalangi
langkah-langkahnya (ULP dikendalikan oleh pihak tertentu);
f.
Pokja ULP/pejabat pengadaan dirangkap oleh:
o
Pejabat Pembuat Komitmen, dan/ atau -
Bendahara, dan/atau
o
Pejabat yang bertugas melakukan verifikasi
surat permintaan pembayaran (SPP), dan/atau
o
Pejabat yang bertugas menerbitkan surat
perintah membayar (SPM), dan/atau
o
Aparat pengawasan fungsional, kecuali untuk
pengadaan barang/jasa yang dibutuhkan instansi pengawasan fungsional tersebut,
dan/atau
3)
Penyusunan dan Penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)
a. HPS
tidak ada;
b. Pengadaan
dilakukan sebelum anggaran ditetapkan/tidak ada anggaran, sehingga tidak
disusun HPS dan spesifikasi teknis dibuat oleh rekanan pelaksana;
c. HPS
tidak disusun dan ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen;
d. Spesifikasi
teknis dan harga barang/jasa dalam HPS mengarah pada merk/produk tertentu,
dengan alasan spekulasi teknis yang dibuat
adalah yang terbaik sehingga sulit untuk disubstitusi (hanya satu
produsen yang bisa memenuhi spekulasi
teknis saat memasukkan penawaran) dan membuat ukuran yang tidak biasa
(misalnya panjang x lebar dalam spekulasi teknis hanya satu produsen yang bisa
memenuhi syarat);
e. Gambaran
nilai estimasi yang ditutup-tutupi atau sulit diperoleh, meskipun nilai total
HPS tidak bersifat rahasia, namun hanya mitra kerja tertentu yang mudah
memperoleh akses dokumen;
f. Penggelembungan
(mark-up) dalam HPS;
g. Nilai
kontrak tinggi karena nilai yang ditawarkan oleh calon pemenang mendekati HPS,
harga dasar tidak standar dan HPS disusun atas masukan calon pemenang;
h. Harga
dasar yang tidak standar dalam menyusun HPS;
i.
Penentuan estimasi harga tidak sesuai
aturan;
j. Sumber/referensi
harga penyusunan HPS yang fiktif;
k. Penambahan
item-item biaya yang tidak diperkenankan.
4) Penyusunan dan pengesahan dokumen pemilihan penyedia barang/jasa
a. Dokumen
pemilihan tidak disahkan ULP;
b. Persyaratan
teknis mengada ada atau berlebihan, dibandingkan kebutuhan dalam rangka
pelaksanaan pekerjaan;
c. Kriteria
kelulusan peninjauan tidak ada atau tidak jelas;
d. Spesifikasi
teknis mengarah pada produk atau kelompok tertentu;
e. Adanya
penambahan kriteria peninjauan yang tidak perlu;
f. Dokumen
lelang tidak standar;
g. Dokumen
lelang tidak lengkap.
5) Pengumuman
pelelangan/seleksi/pengadaan
a.
Tidak mengumumkan
pelelangan/seleksi/pengadaan;
b.
Diumumkan, tetapi bukan di website K/L/D/I,
portal pengadaan nasional, dan papan pengumuman resmi;
c.
Melakukan pengumuman lelang yang tidak
transparan, hanya diketahui oleh rekanan tertentu dan pengumuman hanya satu kali dimuat di surat kabar
lokal yang terbitnya tidak teratur dan
tidak informatif (ketika masih menggunakan surat kabar);
d.
Dalam teks pengumuman tercantum bahwa
persyaratan pendaftaran dan pengambilan dokumen harus membawa dokumen asli,
yang mana ULP memihak ke salah satu
peserta lelang dengan memberikan bocoran RKS, rincian HPSdan membuat
syarat-syarat yang mengakibatkan peserta lain tidak bisa memasukkan penawaran;
e.
Dokumen peserta yang tidak memenuhi syarat
namun diluluskan pokja ULP;
f.
Dokumen administrasi bersifat “aspal”, yaitu
dokumen peserta yang dipalsukan agar lulus prakualifikasi;
g.
Dokumen kualifikasi tidak didukung data otentik;
h.
Peninjauan yang dilakukan pokja ULP tidak
sesuai dengan kriteria;
i.
Menggunakan metode pelelangan umum
prakualifikasi yang seharusnya pelelangan umum pascakualifikasi sehingga
mengurangi kompetisi;
j.
Kriteria dalam melakukan peninjauan dokumen
prakualifikasi tidak ada atau
tidak jelas;
k. Melakukan
prakualifikasi massal untuk mendapatkan daftar penyedia barang/jasa yang
berlaku untuk pengadaan dalam kurun waktu tertentu
6) Pendaftaran dan pengambilan dokumen pemilihan
penyedia barang/jasa
a. Dokumen
lelang yang diserahkan tidak sama (inkonsisten), guna mengalahkan peserta lain
di luar kelompok kolusi, kepada mereka diberikan konsep dokumen, meskipun
sebenarnya tersedia dokumen final setelah melalui proses penyempurnaan;
b. Waktu
pendistribusian dokumen terbatas;
c. Penyebarluasan
dokumen yang cacat;
d. Lokasi
pengambilan dokumen sulit dicari;
e. Menyatakan
bahwa pendaftaran dan pengambilan dokumen tidak boleh diwakilkan;
f. Menyatakan
bahwa pendaftaran dan pengambilan dokumen harus dilengkapi atau membawa dokumen
asli.
7)
Penjelasan (aanwijzing)
a.
Penjelasan (pre-bid meeting) terbatas pada kelompok tertentu,
b.
Pembatasan informasi dan deskripsi
oleh pokja ULP agar kelompok tertentu saja yang memperoleh
c.
informasi lengkap;
d.
Tidak adanya partisipasi masyarakat;
e.
Penjelasan kontroversial, penawar yang
berhasil adalah mereka yang menyelaraskan segala sesuatunya dengan penjelasan
pokja ULP;
f.
Tidak dibuat dokumentasi rapat penjelasan;
g.
Tidak disebarluaskan kepada seluruh peserta;
h.
Perubahan penting atas dokumen pemilihan
penyedia tidak dituangkan dalam adendum dokumen pemilihan
penyedia;
i.
Pada saat aanwijzing dilakukan melalui cara
yang tidak fair, misalnya dengan membuat aturan yang menguntungkan beberapa peserta lelang melalui voting terbuka, padahal
terdapat rekanan yang mempunyai banyak CV/”bendera” sehingga bisa menang saat
peninjauan penawaran baik
secara administrasi maupun
secara teknis.
8) Pemasukan dan pembukaan dokumen penawaran
a.
Adanya relokasi tempat penyerahan dokumen
penawaran;
b.
Batas akhir pemasukan dokumen penawaran
diundurkan atau dimajukan tanpa adanya addendum dokumen pemilihan penyedia;
c.
Penyimpanan dokumen penawaran tidak
dilakukan pada kotak atau tempat yang aman/terkunci;
d.
Dengan pemasukan dokumen lelang melalui LPSE
(Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara
Elektronik) ternyata ada indikasi tidak fair saat pelaksanaannya, peserta
lelang yang akan mendaftar kesulitan mengakses
sampai jangka waktu pengumuman berakhir sehingga tidak dapat mendaftar, yang
bisa mendaftar hanya rekanan tertentu sehingga saat pembukaan penawaran hanya
ada beberapa peserta yang masuk;
e.
Penerimaan
dokumen penawaran yang terlambat, meskipun panitia dilarang menerima
dokumen yang terlambat, namun karena ada upaya KKN hal ini sering terjadi;
f.
Peserta lelang diberi informasi nilai
penawaran yang terendah saat penutupan pemasukan dokumen penawaran sehingga
peserta lelang tersebut dapat mengajukan nilai penawaran
yang terendah saat menjelang penutupan pemasukan dokumen penawaran.
g.
Adanya penyerahan dokumen fiktif, dalam
rangka menjatuhkan lawan usaha, mitra kerja bertindak ilegal dengan memasukkan
dokumen palsu atas nama penawar lain;
h. Ketidaklengkapan
dokumen penawaran;
i. Pembukaan
dokumen penawaran dilakukan pada hari libur;
j. Pembukaan
dokumen penawaran ditunda tanpa alasan yang jelas.
9)
Peninjauan penawaran
a.
Kriteria peninjauan yang cacat, kriteria
disusun dengan maksud untuk memenangkan calon yang berani menyuap dengan jumlah
cukup besar, dari awal telah dicantumkan hal-hal khusus yang sulit dipenuhi
oleh mitra kerja lainnya dalam rangka justifikasi kelompok tertentu;
b.
Pemilihan tempat peninjauan yang
tersembunyi;
c.
Peserta lelang terpola (dibandingkan lelang
sebelumnya) atau peserta lelang menurun secara
mencolok;
Pengaturan lelang seperti
ini banyak dijumpai dalam tender arisan, sehingga beban peninjauan panitia
sedikit dan mereka hanya melakukan peninjauan syarat minimum tertentu.
Indikator lebih rinci pada tender arisan antara lain:
i.
Format penawaran yang seragam di antara para
penawar;
ii.
Harga penawaran diatur: harga yang hampir
sama dengan interval yang sama, perbedaan harga yang sangat ekstrim dan harga
penawaran yang sangat rendah (tidak wajar);
iii.
Kepemilikan yang sama di antara para
penawar.
iv.
Penggantian dokumen penawaran untuk
memenangkan mitra kerja tertentu dengan cara menyisipkan revisi dokumen dalam
dokumen awal;
v.
Surat penawaran palsu.
10) Pengumuman pemenang
a.
Tidak ada pengumuman pemenang;
b.
Pengumuman pemenang tidak diberitahukan
kepada seluruh peserta lelang;
c.
Pengumuman sangat terbatas kepada publik;
d.
Pengumuman tidak mengindahkan aspek publik
atau dilakukan tersembunyi;
e.
Tanggal pengumuman ditunda-tunda;
f.
Pengumuman tidak sesuai kaidah atau tidak
ada masukan dari masyarakat.
11) Sanggahan peserta lelang
a.
Surat sanggahan tidak ditanggapi;
b.
Jawaban sanggahan ditunda tunda;
c.
Tidak seluruh sanggahan di tanggapi;
d.
Substansi sanggahan tidak ditanggapi;
e.
Sanggahan pro forma untuk menghindari
tuduhan proses lelang diatur.
12) Penunjukkan pemenang lelang
a.
Surat penunjukan tidak lengkap;
b.
Surat penunjukan sengaja ditunda-tunda
pengeluarannya;
c.
Surat penunjukan dikeluarkan terburu-buru;
d.
Surat penunjukan tidak sah;
e.
Tanggal surat penunjukan dibuat lebih belakangan
dibanding tanggal kontrak.
13) Penandatanganan kontrak
a.
Adanya kejanggalan dalam kontrak;
b.
Penandatanganan kontrak yang kolusif;
c.
Penundaan penandatanganan kontrak secara sengaja;
d.
Penandatanganan kontrak secara tertutup;
e.
Penandatanganan kontrak yang tidak sah;
f.
Tidak dilengkapi surat jaminan pelaksanaan
(untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang nilainya lebih
besar dari Rp100 juta);
g.
Tanggal surat jaminan pelaksanaan lebih
belakangan dibanding tanggal kontrak.
14) Pelaksanaan kontrak/penyerahan barang/jasa
a.
Kuantitas/volume pekerjaan/barang yang diserahkan tidak sesuai dengan kontrak;
b.
Kualitas pekerjaan yang diserahkan tidak sama dengan ketentuan dalam
spesifikasi teknis/kontrak;
c.
Kualitas pekerjaan yang diserahkan lebih
rendah dari ketentuan dalam spesifikasi teknis/kontrak;
d.
Keterlambatan penyerahan barang/jasa;
e.
Perintah perubahan volume/CCO (Contract
Change Order) dalam rangka KKN, biasanya pekerjaan tambah-kurang yang pada
akhirnya akan menaikkan nilai kontrak pekerjaan yang cenderung ke arah maksimum
pagu anggaran;
f.
Kriteria penerimaan barang yang bias;
g.
Jaminan pasca jual yang palsu;
h.
Data lapangan yang dipalsukan;
i.
Denda keterlambatan tidak
j.
dikenakan ke penyedia barang dan jasa
sehingga merugikan keuangan negara atas denda yang tidak dipungut oleh PPK;
k.
Panitia Pemeriksa Barang tidak melakukan
pemeriksaan dan menghitung pelaksanaan pekerjaan.
l.
BA hasil pemeriksaan dinyatakan 100%
berdasarkan pada permintaan yang dibuat pimpinan satuan kerja, bukan
berdasarkan perhitungan dan pemeriksaan lapangan sehingga bahan yang dipasang
tidak sesuai spesifikasi teknis.
15) Penyesuaian/eskalasi harga kontrak
a.
Pekerjaan tambah/kurang sengaja tidak dapat
diantisipasi sejak awal dalam
perencanaan;
b.
Penentuan harga kurs valuta asing untuk
komponen barang impor sengaja
diambangkan;
c.
Dalam kontrak harga satuan (unit price),
pekerjaan bervolume kecil harga satuannya sengaja direndahkan, sebaliknya
pekerjaan bervolume besar harga satuannya sengaja ditinggikan.
d.
Kontrak dinyatakan sebagai kontrak
multiyears seharusnya diuji apakah layak menjadi kontrak multiyears atau dapat
dijadikan kontrak tahunan, kalau secara pengujian layak menjadi kontrak tahunan
lebih baik dibuat kontrak tahunan sehingga negara
diuntungkan tidak perlu membayar penyesuaian/eskalasi harga atas kontrak multiyears.
16) Pembayaran dan pelaporan
a.
Pembayaran yang tidak sesuai dengan kemajuan fisik;
b.
Barang/jasa fiktif tetapi dibayarkan,
terjadi bila satu penyedia barang/jasa
memperoleh beberapa kontrak
pekerjaan sejenis, sehingga dapat mengajukan tagihan atas suatu pekerjaan
melalui beberapa kontrak sekaligus;
c.
Duplikasi pembayaran, terjadi apabila
terdapat satu faktur yang sama namun ditagihkan dan dibayar dua kali;
d.
Tagihan palsu, biasanya terjadi pada
kontrak-kontrak yang berkelanjutan,
faktur ditagihkan untuk barang/jasa yang tidak diserahkan;
e.
Pembayaran fiktif;
f.
Berita Acara penerimaan barang hanya
formalitas saja untuk melengkapi dokumen pembayaran yang merupakan syarat
sahnya pencairan dana;
g.
Kekurangan pemungutan dan penyetoran
pajak/PNBP;
h.
Pelaporan yang tidak dilaksanakan;
i.
Pelaporan yang tidak sesuai keadaan;
j.
Pelaporan yang tidak lengkap;
k.
Pelaporan yang tidak sesuai peraturan;
l.
Tidak dibuat berita acara pembayaran.
17) Potensi penyimpangan dalam pemanfaatan
a.
Kuantitas barang/jasa yang diterima tidak
sesuai kebutuhan;
b.
Kualitas barang/jasa yang diterima tidak
sesuai kebutuhan;
c.
Penyerahan barang/jasa di lokasi yang tidak
tepat;
d.
Barang/jasa yang belum/tidak dapat
dimanfaatkan.
18) Potensi penyimpangan Pengadaan barang/jasa dengan
swakelola
a.
Eksistensi LSM
Kelompok
masyarakat yang diwakili oleh LSM perlu diwaspadai, karena kenyataan di
lapangan menunjukkan banyak bermunculan LSM papan nama dan LSM plat merah
begitu ada proyek yang berkaitan dengan aktivitas mereka.
b.
Penyaluran dana tidak seimbang dengan prestasi
pekerjaan, di sisi lain yang mengawasi kemajuan pekerjaan di lapangan adalah
LSM pelaksana itu sendiri;
c.
Tidak ada jadwal pelaksanaan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelaporan;
e.
Proposal tidak dibuat dengan cermat sehingga
pelaksanaan pekerjaan menyimpang dari proposal yang ada;
f.
Pelaksana swakelola tidak
membuat laporan harian, laporan mingguan dan laporan bulanan sebagai
bentuk pertanggungjawaban;
g.
Laporan kegiatan tidak dibuat oleh pelaksana swakelola sehingga tidak jelas
pelaporan berapa biaya
h.
personil dan non personil;
i.
Laporan bulanan dibuat oleh pemborong
seharusnya dilakukan oleh pelaksana swakelola.
Penutup
Dengan mengenal potensi
penyimpangan di atas, para pelaku pengadaan diharapkan semakin berhati-hati
untuk tidak melakukan pelanggaran yang dapat mengarah pada praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN). Di sisi lain, auditor juga harus meyakini bahwa
potensi penyimpangan tersebut tidak terjadi dengan menggunakan berbagai teknik
audit yang sesuai.
Dengan mengenal berbagai
penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa, diharapkan kita dapat
mencegahnya, yang pada akhirnya pengadaan dilakukan secara benar , jujur dan kredibel demi kesejahteraan bangsa
ini.
Daftar
Pustaka
Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan.2007. Pedoman Audit Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, S-506/K/D1/2007.
Jakarta.
Peraturan Presiden No. 70 tahun 2012 tentang Revisi kedua Perpres 54
Tahun 2010 ttg Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pusdiklatwas Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan. 2004. Audit Pengadaan Barang dan Jasa.
Surachmin dan Suhandi
Cahaya. 2011. Strategi dan Teknik Korupsi: Mengetahui untuk Mencegah. Jakarta:
Sinar Grafika.
Sutedi, Adrian. 2008. Aspek
Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya.
"BIMTEK AUDIT ATAS PENGADAAN BARANG DAN JASA BAGI TENAGA PEMERIKSA DAN APARATUR PENGAWASAN"
BalasHapusJADWAL BIMTEK JAKARTA :
Senin – Selasa, 19 – 20 Oktober 2015
Senin – Selasa, 2 – 3 November 2015
Senin – Selasa, 16 – 17 November 2015
Senin – Selasa, 14 – 15 Desember 2015
Senin – Selasa, 28 – 29 Desember 2015
JADWAL BIMTEK BANDUNG :
Senin – Selasa, 26 – 27 Oktober 2015
Senin – Selasa, 9 – 10 November 2015
Senin – Selasa, 23 – 24 November 2015
Senin – Selasa, 7 – 8 Desember 2015
Senin – Selasa, 21 – 22 Desember 2015
PERMINTAAN SURAT HUBUNGI:
Telp 021-4306001, 4305959 HP. 0812.9840.1480 / 0812.1853.1904 (PIN BB: 516A0D34) Website : www.lek2pn.org | www.lek2pndiklat.com
http://www.lek2pndiklat.com/bimtek-audit-atas-pengadaan-barang-dan-jasa-bagi-tenaga-pemeriksa-dan-aparatur-pengawasan/
Halo, nama saya Mia Aris.S. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah scammed oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800.000.000 (800 JUTA ) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%. Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah i diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena aku berjanji padanya bahwa aku akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman dalam bentuk apapun, silahkan hubungi dia melalui emailnya: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com
BalasHapusAnda juga dapat menghubungi saya di email saya ladymia383@gmail.com.
Sekarang, semua yang saya lakukan adalah mencoba untuk bertemu dengan pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening bulanan.