Minta Maaf menjelang Ramadhan
MEMINTA MAAF SEBELUM RAMADHAN
=======================
Sahabat Muslim...
Ramadhan semakin dekat, setelah habis sya’ban maka tibalah Ramadhan.
Bulan ampunan dan bulan penuh berkah. Banyak pula pernak-pernik,
rupa-rupa, dan macam-macam tradisi yang menyertainya.
Salah satunya adalah meminta maaf sebelum memasuki bulan Ramadhan.
Lalu bagaimana kedudukan hukumnya?
Jawab saya, Wallohu ‘alam. Karena saya bukanlah seorang mufti yang
berkewanangan mengeluarkan fatwa atau hukum ketetapan. Hanya saja saya
Insya Alloh coba meninjau dari segi dalil-dalilnya dan history
(sejarah), mengapa bisa ada taradisi itu bisa ada, mendarah daging,
bahkan menjadi sebuah keharusan.
Mengapa saya sebut meminta maaf sebelum Ramadhan itu tradisi?
Karena memang itu bukan sunnah yang ada dalam ajaran Islam. Dan hal itu
hanya sebuah kebiasaan di suatu daerah yang terjaga secara turun
menurun (mungkin begitulah definisi tradisi). Dan akan dibahas lebih
lanjut pada pembahasan kali ini.
Baiklah mari kita mulai meninjau tradisi meminta maaf sebelum Ramadhan.
Menurut hemat saya, sesuatu itu tidak mungkin ada jika tanpa sebab.
Atau kata lain ada akibat karena ada sebabnya. Begitu pun juga dengan
tradisi yang sedang kita perbincangkan ini, pasti ada sebab dan
musababnya.
Lalu apa sebabnya? Di mana, kapan dan siapa yang memulainya? Ada yang tahu?
Begini sahabat muslim, begitu penasarannya saya dengan sejarah ini,
maka saya pun berusaha mencari infonya. Yang pertama-tama tentunya
menanyakan dalil dan keterangan kepada teman-teman saya yang menjalankan
tradisi ini. Hampir di setiap kesempatan saya tanyakan, offline ataupun
online. Namun, sayang saya belum juga mendapatkan jawaban yang
memuaskan. Alias tidak ada dalil yang qoth’i yang beliau-beliau jelaskan
terkait dengan mestinya meminta maaf sebelum memasuki Ramadhan. Dan
jawaban standarnya mentok pada kata, “kan meminta maaf ga ada salahnya!”
Saya pun tidak mau mendebat lagi. Akhirnya saya pun coba bertanya Mbah
yang sangat pakar dalam menjawab pertanyaan. Istilahnya sekali bertanya
ribuan jawaban beliau hadirkan. Ya, siapa lagi kalau bukan Mbah Google.
Hehehehe!
Saya pun mulai memasukan beberapa keyword (kata
kunci) untuk menemukan jawaban yang diinginkan. Well done… Masya Alloh!
(artinya apa ya?). Saya mendapatkan beberapa jawaban yang masuk nominasi
untuk saya kaji dan teliti lagi. Jawaban yang saya cari, berasal dari
sebuah forum yang sedang membahas masalah ini (sayang saat itu saya lupa
tidak mencopy URLnya). Jawaban yang saya cari berasal dari seorang
penanya
Berikut kutipan pertanyaan seputar sebelum Ramadhan tentang bermaafan.
"Saya mau tanya bagaimana derajat hadits di bawah ini, yang biasanya dijadikan dalil untuk berma'afan sebelum Ramadhan.
Ketika Rasullullah sedang berhotbah pada suatu Sholat Jum'at (dalam
bulan Sya'ban), beliau mengatakan Aamiin sampai tiga kali, dan para
sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Aamiin, terkejut dan
spontan mereka ikut mengatakan Aamiin.
Tapi para sahabat bingung,
kenapa Rasullullah berkata Aamiin sampai tiga kali. Ketika selesai
sholat jum'at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau
menjelaskan: "ketika aku sedang berhotbah, datanglah Malaikat Jibril
dan berbisik, hai Rasullullah aamiin-kan do'a ku ini," jawab
Rasullullah.
Do'a Malaikat Jibril itu adalah sbb: "Ya Allah
tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan
Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada).
Tidak berma'afan terlebih dahulu antara suami istri.
Tidak berma'afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
Maka Rasullahpun mengatakan Aamiin sebanyak 3 kali.
Alhamdulillah akhirnya dapat juga jawaban yang kuat untuk dijadikan
dalil. Dan akhirnya saya mendapatkan juga sisi historis dari tradisi di
kehidupan kita ini. Ternyata dari sinilah tradisi ini dimulai.
Oh ya, mengapa saya sebut dalilnya kuat? Karena melampirkan sebuah dalil
yang berasal dari sebuah hadits. Tapi jangan cepat puas dan manut
begitu saja. Nah, sekarang tugas kita adalah meninjau bagaimana
kedudukan hadits tersebut dan bagaimana sarah lengkapnya.
Baiklah, yuk kita mulai meninjau hadits di atas!
Dari info yang ada dalam forum tersebut, hadits di atas bisa kita
temukan dalam kitab Sifat Shaum Nabi yang disusun oleh Syekh Salim Bin
Ied Al-Hilaly dan Syekh Ali Hasan Bin Abudul Hamid. Dan setelah ditinjau
dan diperhatikan ternyata terdapat sesuatu yang agak membingungkan. Apa
itu? Redaksi hadits yang ditulis oleh penanya di atas jauh berbeda
dengan maksud maksud yang terkandung di dalam hadits tersebut.
Agar lebih jelasnya, mari kita lihat hadits lain yang semisal dengan
redaksi hadits yang ditulis di atas. Hadits berikut datangnya melalui
jalan Abu Hurairah :
(bahwasanya) Rasulullah SAW pernah naik
mimbar kemudian berkata : Aamiin, Aamiin, Aamiin" Ditanyakan kepadanya :
"Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Aamiin, Aamiin,
Aamiin?" Beliau bersabda. "Artinya : Sesungguhnya Jibril 'Alaihis salam
datang kepadaku, dia berkata : "Barangsiapa yang mendapati bulan
Ramadhan tapi tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan
Allah jauhkan dia, katakan "Aamiin", maka akupun mengucapkan Aamiin...."
Hadit di atas bisa kita temukan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah 3/ 192,
Musnad Ahmad 2/246 dan 245, serta dalam kitab Imam Bayhaqi 2/204. Adapun
asalnya hadits tersebut dalah kitab Shohih muslim 4/1978.
Atau
jika sahabat muslim ingin melihat hadits yang senada, namun diriwatkan
oleh sahabat lain. Sahabat muslim bisa melihatnya dalam Fadhailu Syahri
Ramadhan hal.25-34 karya Ibnu Syahin.
Dan ketika cari-cari lagi
hadits yang semisal ternya ada yang lebih panjang dan lebih rinci.
Dalil tersebut didapatkan dari buku Birrul Walidain oleh Ustadz Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, hal. 44-45 terbitan Darul Qalam
"Artinya
: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke atas mimbar kemudian
berkata, "Aamiin, aamiin, aamiin". Para sahabat bertanya. "Kenapa engkau
berkata 'Aamiin, aamiin, aamiin, Ya Rasulullah?" Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, "Telah datang malaikat Jibril dan ia berkata
: 'Hai Muhammad celaka seseorang yang jika disebut nama engkau namun
dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah aamiin!' maka kukatakan,
'Aamiin', kemudian Jibril berkata lagi, 'Celaka seseorang yang masuk
bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya
oleh Allah dan katakanlah Aamiin!', maka aku berkata : 'Aamiin'.
Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi. 'Celaka
seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari
keduanya masih hidup tetapi justru tidak memasukkan dia ke surga dan
katakanlah aamiin!' maka kukatakan, 'Aamiin".
Nah sahabat
muslim, sekarang sudah menyaksikan langsungkan hadits versi lengkapnya.
Hadits tersebut menyatakan bahwa Celaka bagi seorang yang keluar dari
bulan Ramadhan, namun orang tersebut tidak Alloh ampuni dosa-dosanya.
Ya, memang benarkan kalau orang yang tidak Alloh ampuni dosanya maka
akan celaka dan tercebur ke neraka. Bukahkah begitu?
Intinya
maksud ucapan Malaikat Jibril, menekankan agar umat Islam
bersungguh-sungguh dalam menalankan ibadah Ramadhan dan memohon ampun
sebanyak-banyaknya. Suapaya dosa-dosanya diampuni oleh Alloh Swt. Karena
pintu ampunan pada bulan Ramadhan Alloh bukakan seluas-luasnya. Berikut
dalilnya,
"Siapa puasa Ramadhan karena iman dan mengharap
pahala Allah, niscaya ia diampuni dosanya yang telah lalu. "(Hadits
Muttafaq 'Alaih).
Maka celaka dan merugilah orang-orang yang
keluar dari bulan Ramadhan sementara dosa-dosanya yang telah lalu masih
menumpuk dan tidak diampuni. Padahal ia telah melewati masa yang sungguh
mulia dan bisa menjadi sarana untuk memohon ampun.
Nah,
begitulah maksud hadits yang diajukan oleh penanya tadi. Dan hadits
tersebut tidak ada hubungannya dengan meminta maaf sebelum Ramadhan
kepada orang-orang disekitar. Akan tetapi, maksudnya menekankan agar
kita memohon ampunan kepada Alloh dengan sungguh-sungguh.
Alhamdulillah, pertanyaan yang mengawang-ngawang sejak lama, akhirnya terselesaikan juga.
Lalu pertanyaan berlanjut. Bagaimana hukumnya bagi orang-orang yang
konsisten dan istiqomah dengan tradisi ini? Sementara tidak ada dalil
yang memerintahakannya. Dan di sisi lain bukankah meminta maaf itu baik
dan bagus?
Sekali lagi, saya tegaskan saya bukanlah seorang
mufti yang berhak mengeluarkan fatwa atau menghukumi realita yang sedang
kita hadapi. Namun, saya berusaha meninjau, dengan mengambil nash-nash
yang ada dalam Al-Quran dan Hadits-hadits yang shohih.
Baiklah,
setelah selesai kita membahas history dari tradisi meminta maaf sebelum
Ramadhan (yang ternyata salah menafsirkan redaksi). Maka pembahasan
kita agak sedikit bergeser ke hal intinya kata MINTA MAAF?
Sebab kata ini yang menjadi kunci apa yang kita bahas sekarang ini. Kan
katanya bagus meminta maaf itu. Ya, saya sepakat memang bagus. Tapi yang
kita bahas bukan bagus atau tidak bagusnya. Yang akan kita tinjau
adalah bagaimana hal tersebut dalam Islam.
Setelah saya coba
kembali ubek-ubek Al-Quran dan kitab-kitab hadits, saya agaknya sulit
menemukan kata meminta maaf. Sebab dalil-dalil Al-Quran dan hadits yang
saya temukan kebanyakan merupakan anjuran untuk memaafkan. Contoh
dalil-dali di bawah ini :
Jadilah engkau pema”af dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma”ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang
yang bodoh.(QS. Al-A”raf: 199).
Dan
Dan hendaklah
mereka mema”afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa
Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(QS. An-Nuur: 22)
Lalu,
Dan balasan suatu kejahatan
adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa mema”afkan dan berbuat
baik maka pahalanya atas Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai
orang-orang yang zalim.(QS. Asy-Syura: 40). Apa yang kita simpulakan
dari beberapa keterangan Al-Quran di atas? Tentunya kita bisa mengambil
kesimpulkan bahwa kita sebagai muslim, mestilah lebih dahulu kita
memaafkan orang yang berbuat salah kepada kita walau pun orang tersebut
belum meminta maaf. Itulah ciri dari akhlak mulia seorang muslim, yang
selalu ikhlas dan memaafkan kesalahan orang lain.
Atau jika kita lihat hadits :
Dari Anas bin Malik ra berkata bahwa Raslullah SAW bersabda, "Janganlah
kalian saling memutuskan hubungan, jangan saling membelakangi, jangan
saling bermusuhan, jangan saling hasud. Jadilah hamba-hamba Allah yang
bersaudara. Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa
dengan saudaranya di atas tiga hari. (HR Muttafaq ''alaihi)
Ini
adalah hadits shohih riwayat Imam Bukhari dan Muridnya Imam Muslim yang
sudah tidak diragukan lagi keshohihannya Haram bagi kita bermusuhan
atau sekedar diem-dieman atau lebih kerennya lagi perang dingin (eh,
atau adu diem ya? Enggak taulah pilih saja, hhe) dengan saudara kita.
Lalu dalam sarah kitab subulus salam yang menjelaskan hadits tersebut,
ketika sahabat bertanya sipakah yang lebih mulia dari kedua orang yang
sedang bermushan? Jawab Rasul, Dialang yang mengucapkan salam terlebih
dahulu. Artinya dialah yang lebih dahulu bisa memaafkan dan
mengikhlaskan hatinya.
Bagaimana sahabat muslim, sudah cukup
jelaskan anjuran yang ada dalam Islam? Yang mana kita harus saling
memaafkan dan lebih mulia memaafkan segala kesalahan orang lain. Dan itu
tidak terbatas atau dibatasi oleh keadaan dan waktu. Artinya kapan pun
di mana pun, kalau bisa harus setiap saat. Begitulah Akhlaq yang Islam
ajarkan.
Dan kalau mau meminta maaf itu syah-syah saja karena tidak ada larangannya.
Masalahnya bagaimana jika meminta maaf itu selalu saja dikhususkan dan
kaitkan-kaitkan dengan ibadah yang sudah mahdhoh (sudah ada ketetapan
syarat dan rukunnya).
Naah, yang seperti itu yang tidak boleh.
Kenapa? Karena ada Qoidah Ushul menyatakan Bahwa tidak boleh
mengkhususkan yang Umum. Maksudnya sesuatu yang sifatnya umum
kebolehannya kemudian kita khususkan dan mestikan. Atau ditambah
embel-embel pahala ini dan itu, atau yang lebih dahsyat dari itu. Itu
yang tidak boleh.
Sebagai contoh kasus meminta maaf sebelum
Ramadhan. Artinya itukan dikhususkan dan sangkut pautkan dengan
Ramadhan. Seolah satu paket atau syarat saat memasuki Ramadhan. Padalah
meminta maaf sifatnya umum dalam kebolehannya. Yang boleh dilakukan
kapan saja.
Dan satu lagi, hal itu menambah-nambah dalam ibadah
Mahdoh. Karena Shaum Ramdhan merupakan Ibadah yang mahdoh yang sudah
diatur syarat dan rukunnya. Seperti syarat masuknya ramadhon adalah
terbitnya hilal (tanggal satu). Sebagaimana hadits nabi :
“Shaumlah kamu, karena melihat hilal (tanggal 1), dan Berbukalah (lebaran) kamu karena melihat hilal (tanggal 1) .” HR. Muslim.
Jadi itulah sarat dan ritual sebelum memasuki Ramdhan (dimana tidak
mesti semua orang di suatu negri melihat hilal, akan tetapi cukup ada
salah seorang saja).
Maka bathilah jika memasukan meminta maaf
sebelum ramdhan sebagai keharusan, atau kebiasan yang membuat diri kita
merasa berdosa (atau kurang afdhol) jika tidak meminta maaf.
Lalu apa kesimpulan saya, tentang meminta maaf sebelum ramdhan?
Pertama :
Saya memandang boleh-boleh saja jika meminta maafnya itu tidak disangkutpautkan dengan Ramdhan.
Kenapa saya berkesimpulan begitu? Karena tidak ada dalil yang melarang nya.
Sebagaimana qoidah Ushul,
“Al-Aslu fil Ahya-i Al-ibahah, hatta yakuuna dalilu litahrimiha,”
Artinya asal dalam urusan dunia itu adalah boleh, sehingga ada dalil
yang melarangnya.
Maaf memaafkan salah satu hablum minnanas
(urusan sesama manusia) artinya urusan kedunian. Dan saya tidak
mendapatkan dalil yang melarang untuk meminta maaf.
Kedua :
Namun jika meminta maafnya itu dikhususkan dan disangkut pautkan dengan
ramadhan itulah yang tidak boleh. Seperti yang saya sebutkan
dalil-dalilnya pada penjelasan di atas. Salah satunya adalah Qoidah
ushul yang menyatakan “Tidak boleh mekhususkan sesuatu yang Umam menjadi
khusus.” Atau menambah-nambah dalam hal syarat dan rukun Ibadah.
Catatan :
Marilah kita selalu memaafkan orang-orang yang berbuat salah kepada
kita, meski pun orang tersebut tidak meminta maaf. Sebab seorang pemaaf
itu berhati mulia.
Alhamdulillah sahabat muslim semua.
Begitulah apa yang bisa saya paparkan. Mohon dimaafkan jika ada yang
tidak berkenan. Dan mohon diingatkan jika ada hal-hal yang tidak sejalan
dengan ketetapan Al-Quran dan sunnah. Karena saya masih butuh banyak
belajar dan ilmu itu luas.
( di sadur dari Kang Dodi )
Komentar
Posting Komentar