Cerita Pengalaman Mengajar 30 ASN Kota Cimahi – Pelatihan PBJ Level 1, Hotel Tebu Bandung
Pagi itu, Kamis yang sejuk di Kota Bandung, saya sudah tiba di Hotel Tebu jauh sebelum waktu pembelajaran dimulai. Jadwal resmi tercantum pukul 08.00 WIB, tapi saya tahu, berdasarkan pengalaman, peserta dari luar kota biasanya butuh sedikit waktu ekstra untuk berkumpul lengkap.
Dan benar
saja, hingga 08.35 WIB baru kami bisa memulai. Keterlambatan 35 menit
ini bukan tanpa alasan. Sebagian peserta mengaku terjebak macet di sekitar
Pasupati, ada yang mencari tempat parkir, ada yang keliru masuk ke hotel
sebelah, bahkan ada yang menunggu rekan satu mobil karena “sudah janji
berangkat bareng” padahal info dari penyelenggara, seluruh peserta telah
difasilitasi kamar untuk menginap, namun dengan berbagai macam alasan, sebagian
peserta pulang pergi saat pelatihan PBJ ini. Saya hanya tersenyum, mengingatkan
bahwa dalam dunia PBJ pun, keterlambatan bisa punya multiplier effect
terhadap jadwal pelaksanaan kontrak.
Saya sempat
bercanda,
“Wah, ini
seperti reuni kecil. Bedanya, sekarang saya kasih soal 200, bukan 20.”
Peserta langsung tertawa, meski beberapa wajah mulai tampak waspada.
Sesi Pertama – Manajemen Kontrak PBJ
Saya membuka materi Modul 4 Mengelola Kontrak PBJ dengan
menjelaskan definisi kontrak: “perjanjian tertulis antara PPK dengan
penyedia barang/jasa”. Lalu saya masuk ke topik para pihak dalam kontrak,
kewenangan PPK, dan Tim Pengelola Kontrak yang terdiri dari tim
teknis dan tim pendukung.
ü Pak Agus: “Pak, kalau tim
pendukung itu harus dari unit kerja yang sama dengan PPK, atau boleh lintas
bidang?”
ü Saya: “Boleh lintas bidang,
asal sesuai kebutuhan pekerjaan dan kompetensinya mendukung. Jangan sampai tim
pendukungnya hanya ‘pendukung moral’ tanpa paham administrasi kontrak.”
Lalu saya jelaskan jenis-jenis kontrak: lumsum,
harga satuan, gabungan, kontrak payung, biaya plus imbalan, dan waktu
penugasan. Saya sertakan contoh nyata, misalnya pengadaan ATK tahunan sebagai
kontrak payung, atau kontrak gabungan untuk pembangunan jembatan.
Saya tekankan pula aspek pengendalian kontrak:
biaya, mutu, waktu, kuantitas, dan fungsionalitas. Beberapa peserta mengangguk,
ada juga yang sibuk mencatat sambil sesekali memotret slide.
Istirahat yang Meleset
Jadwal
istirahat pukul 10.15–10.30 WIB, tapi ternyata, saat bel tanda masuk
berbunyi, hanya setengah peserta yang sudah kembali. Sebagian masih sibuk di
meja kopi, sebagian di luar ruangan sambil berfoto. Sesi kedua baru bisa
dimulai pukul 10.45 WIB.
Saya sengaja
membuka kembali dengan sedikit “sentilan” ringan:
“Dalam
kontrak, setiap keterlambatan ada konsekuensinya. Untung ini bukan proyek
konstruksi, kalau tidak, saya sudah keluarkan Surat Peringatan.”
Suasana
langsung cair, dan peserta masuk ke mode fokus.
Sesi Kedua – Manajemen Swakelola dan Rantai Pasok
Saya lanjutkan
dengan manajemen swakelola, menjelaskan perbedaan tipe swakelola (Tipe
I–IV) dan kapan metode ini lebih tepat dibanding menggunakan penyedia. Saya
tekankan prinsip akuntabilitas dan risiko yang harus dikendalikan.
Kemudian saya
masuk ke Modul 6 – Manajemen Rantai Pasok. Saya jelaskan konsep PLAN–SOURCE–MAKE–DELIVER
dalam konteks PBJ. Misalnya:
a)
PLAN: menyusun rencana pengadaan yang realistis dan sesuai kebutuhan.
b)
SOURCE: memilih penyedia dengan proses yang transparan.
c)
MAKE: pelaksanaan pekerjaan atau produksi, termasuk melalui swakelola.
d)
DELIVER: serah terima barang/jasa tepat waktu dan sesuai spesifikasi.
Dialog:
ü Bu Rina: “Pak, kalau dalam
rantai pasok barang dari luar negeri tersendat karena bea cukai, masuknya
kendala di tahap mana?”
ü Saya: “Itu kendala di tahap
DELIVER, tapi dampaknya bisa ke MAKE dan bahkan PLAN kalau
keterlambatan memengaruhi jadwal proyek.”
Pukul 12.00 WIB peserta istirahat, sholat, dan makan siang. Sesi siang saya buka dengan Try Out 200 soal berbasis Quizizz. Peserta mengerjakan secara mandiri dulu, kemudian kita bahas bersama.
Beberapa soal
memicu tawa, misalnya ketika ada pertanyaan jebakan tentang perbedaan kontrak
harga satuan dan lumsum.
ü Pak Iwan: “Pak, saya pilih
jawaban C karena mirip di soal sebelumnya.”
ü Saya: “Pak Iwan, dalam PBJ
itu tidak ada istilah ‘mirip’, yang ada sesuai atau tidak sesuai dokumen
kontrak.”
Banyak
pertanyaan kritis muncul, terutama tentang penyesuaian harga kontrak tahun
jamak, jaminan pelaksanaan, dan evaluasi kinerja penyedia.
Saya jawab satu per satu sambil memberi contoh kasus di lapangan.
Beberapa peserta, seperti Bu Lilis dan Pak Jajang, mengaku kesulitan menghafal isi modul yang cukup tebal.
ü Bu Lilis: “Pak, ini modul tebal
sekali, rasanya seperti membaca undang-undang.”
ü Saya: “Betul, tapi ingat,
tujuan kita bukan menghafal kata demi kata. Kita harus paham konsepnya, baru
nanti hafalan akan mengikuti. Sama seperti kita mengingat jalan ke rumah—tidak
harus hafal semua papan reklame, tapi tahu rutenya.”
Menjelang sore, kami menutup sesi dengan refleksi singkat. Saya tekankan bahwa kontrak PBJ, swakelola, dan rantai pasok bukan sekadar teori, tapi harus diterapkan secara efektif, transparan, dan akuntabel. Saya juga mengingatkan bahwa manajemen waktu penting—termasuk soal hadir tepat waktu di pelatihan.
Beberapa peserta menghampiri saya untuk berterima
kasih, ada yang minta softcopy materi, ada juga yang sudah membicarakan
peluang ikut pelatihan level berikutnya.
Saya pulang
dengan rasa puas, bukan hanya karena materi tersampaikan, tapi juga karena
interaksi yang hidup dan penuh humor hari itu.
Catatan kecil Perjalanan seorang WI
Bandung, 15 Agustus 2025
Komentar
Posting Komentar