Cerita Pengalaman Mengajar Peserta Latsar CPNS Jawa Barat Angkatan VIII
Pagi ini sabtu, 30 agustus 2025, tepat jam 10.00 WIB, layar Zoom mulai penuh dengan wajah-wajah semangat sembilan peserta Pelatihan Dasar CPNS Jawa Barat Angkatan VIII. Saya sebagai widyaiswara membuka kelas dengan salam hangat, memastikan semua peserta sudah hadir. Dari daftar kehadiran, saya melihat nama-nama serta menyapa satu persatu antara lain ; brilian fikry haikkal berasal dari instansi: uptd perikanan air payau dan laut wilayah Selatan, jabatan : penata kelola kelautan dan perikanan Raden Muhammad Kunta Lamona Wiriasaputra dari Bappeda, Laurahoney Azzahra Pertiwi dari DKPP, RR Ardianti Rachma Wardhani dari UPTD Balai Kesehatan Hewan, Annisaa Yumna Aulia juga dari Bappeda, Muhammad Iqmal Rifansyah dari Dinas Bina Marga, Puti Maharani dari BPTPH Cianjur, Adela Dwi Antika dari Dinas Sosial, Hifzullisan Sohih dari Balai Benih Padi, dan satu lagi wajah yang tampak paling muda, tersenyum penuh antusias. Jumlah sembilan orang ini memang terasa pas, tidak terlalu banyak, sehingga diskusi bisa lebih cair.
Saya membuka pembelajaran dengan menegaskan bahwa agenda hari ini adalah coaching penyusunan rancangan aktualisasi, sebuah langkah awal yang akan menentukan kualitas karya mereka nanti. “Adik-adik, hari ini kita akan melangkah bersama. Saya ingin semua aktif, jangan hanya diam. Karena Latsar bukan sekadar ujian formalitas, tapi proses nyata bagaimana kita sebagai ASN bisa berkontribusi pada instansi masing-masing,” kata saya. Sebelum saya melanjutkan materi tentang coaching, saya mencoba menjelaskan tentang keterkaitan antara agenda 1 , 2 dan 3 dengan agenda 4. Dimana peserta tentunya akan melakukan habituasi dan aktualisasi seluruh agenda dalam waktu 1 bulan kedepan.
Peserta
terlihat mengangguk, beberapa tersenyum. Aya bahkan sudah menyalakan mic lebih
dulu, “Siap, Pak, semoga bisa langsung praktik.” Saya membalas dengan gurauan,
“Nah itu, semangat seperti ini yang bikin Zoom tidak terasa kaku. Tapi jangan
keburu lulus dulu ya, baru mulai soalnya.” Semua tertawa kecil.
Sesi pertama,
saya minta mereka menuliskan tiga isu strategis yang ada di instansi
masing-masing. “Silakan, pikirkan dengan cepat. Isu ini bukan sekadar masalah
kecil, tapi sesuatu yang berdampak luas dan perlu solusi. Ingat, aktualisasi
harus relevan dengan tugas kalian.”
Kunta, dari
Bappeda, angkat bicara lebih dulu. “Pak, di bidang saya, sering muncul isu
keterlambatan koordinasi antar-perangkat daerah dalam perencanaan
infrastruktur.” Saya mengapresiasi, “Bagus, Kunta. Itu contoh isu yang
strategis, bukan sekadar masalah teknis.”
Laura
menyusul, “Kalau di DKPP, saya melihat isu tentang masih rendahnya pemahaman
masyarakat terkait diversifikasi pangan lokal.” Saya tersenyum, “Wah, itu
menarik sekali. Pangan lokal kalau tidak dikelola, kita bisa terlalu tergantung
pada beras.”
Rara dari
Balai Kesehatan Hewan menyampaikan, “Pak, saya menghadapi isu keterbatasan
layanan kesehatan hewan di wilayah tertentu.” Aya menambahkan isu hampir serupa
dengan Kunta, tentang ketidaksinkronan data perencanaan wilayah.
Iqmal dari
Dinas Bina Marga mengangkat isu klasik tapi nyata, “Banyak jalan kabupaten yang
cepat rusak karena tonase kendaraan berat.” Saya menimpali, “Nah, itu isu nyata
sekali. Jangan sampai jalan dibangun pagi, sore sudah berlubang.” Mereka
tertawa, setuju.
Puti dari BPTPH Cianjur membawa isu pertanian, “Masih rendahnya pemahaman petani tentang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan ramah lingkungan.” Adela dari Dinas Sosial menyampaikan isu tentang “kurangnya kesiapan keluarga binaan dalam kemandirian sosial.” Sedangkan Hifzullisan dari Balai Benih menutup dengan isu “rendahnya kualitas benih yang dihasilkan petani binaan.”
Sesi pun jadi
hidup. Saya lalu mengajak mereka masuk ke pisau analisis USG (Urgency,
Seriousness, Growth). Saya jelaskan, “USG ini bukan alat kesehatan, meskipun
sama-sama bisa mendeteksi masalah. Bedanya, USG kita ini menilai masalah dari
segi urgensi, keseriusan, dan potensi berkembangnya. Jadi kalian harus kasih
skor.”
Saya minta
Kunta memulai. “Pak, kalau isu keterlambatan koordinasi, urgensinya saya kasih
4, seriousness 3, growth 4.” Saya koreksi, “Bagus, tapi jangan lupa lihat dari
perspektif instansi, bukan hanya pribadi. Kalau perlu diskusi dengan atasan
juga.”
Laura
menambahkan dengan semangat, “Kalau isu pangan lokal, menurut saya urgency 4,
seriousness 4, growth 5.” Saya tersenyum, “Wah, kalau nilainya tinggi semua,
berarti masalah ini memang harus jadi prioritas.”
Proses
memberi skor USG ini berlangsung interaktif. Saya sengaja menyelipkan humor
ringan agar tidak kaku. “Jangan kasih nilai semua 5 ya, nanti instansi kalian
langsung pusing, masa semua masalah diprioritaskan.” Mereka pun tertawa.
Setelah itu,
saya membawa mereka masuk ke analisis Fishbone atau tulang ikan. Saya
menampilkan gambar sederhana di slide, lalu berkata, “Ikan ini bukan untuk
dimakan, tapi untuk diteliti. Kita akan lihat faktor penyebab masalah, apakah
dari manusia, metode, material, atau lingkungan.”
Rara coba dulu, “Kalau layanan kesehatan hewan terbatas, faktor penyebabnya salah satunya kurangnya tenaga medis.” Aya menambahkan, “Juga bisa dari kurangnya sosialisasi kepada masyarakat.” Saya jawab, “Betul, semakin banyak cabang tulang, semakin jelas sumber masalah.”
Sesi terakhir
adalah menyusun kegiatan dan tahapan kegiatan. Saya arahkan, “Sekarang
setelah kalian tahu isu, tahu prioritas, dan tahu penyebab, saatnya bikin aksi
nyata. Buat satu kegiatan aktualisasi, lalu rinci tahapannya.”
Puti
menyampaikan rencana kegiatan sosialisasi pengendalian organisme pengganggu
ramah lingkungan, dengan tahapan mulai dari identifikasi petani sasaran,
penyusunan materi, hingga monitoring. Adela menyusun kegiatan pemberdayaan
keluarga binaan dengan tahapan pelatihan keterampilan, pendampingan, dan
evaluasi.
Saya menutup
pembelajaran tepat pukul 12.00 WIB. Sebelum berpisah, saya memberi refleksi,
“Hari ini kalian sudah belajar merumuskan isu, menajamkannya dengan USG,
menganalisis penyebab dengan fishbone, lalu membuat kegiatan. Ingat, ini bukan
sekadar latihan, tapi bekal untuk proyek aktualisasi kalian.”
Peserta
tersenyum puas. Kunta berkata, “Terima kasih Pak, jadi lebih jelas alurnya.”
Laura menambahkan, “Ternyata menyenangkan kalau didiskusikan bersama.” Saya pun
menjawab, “ASN itu bukan bekerja sendiri-sendiri, tapi berkolaborasi. Jadi
teruskan semangat ini.”
Kelas pun
berakhir, meninggalkan kesan hangat, ringan, tapi tetap penuh substansi. Saya
merasa sembilan peserta ini punya potensi besar. Dengan bimbingan dan komitmen,
karya aktualisasi mereka pasti bisa jadi solusi nyata di instansi
masing-masing.
Komentar
Posting Komentar