Cerita Pengalaman ToT Kepamongprajaan Bagi Camat

 Cerita Pengalaman ToT Kepamongprajaan Bagi Camat – Bagian 1


Senin pagi, 25 Agustus 2025, udara di Antapani Bandung terasa cukup segar meski lalu lintas sudah mulai ramai. Jam menunjukkan pukul 07.30 ketika saya menyiapkan barang bawaan: sebuah koper berisi pakaian formal, map dengan dokumen penting, serta laptop untuk keperluan presentasi. Istri sempat mengingatkan, “Jangan lupa bawa tolak angin cair ya, nanti di Jakarta kegiatannya padat.” Saya hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu menutup koper dan melangkah keluar rumah.

Tepat pukul 08.00, saya berangkat dari Antapani menggunakan mobil yang sudah saya siapkan sehari sebelumnya. Perjalanan pagi itu ditemani semangat sekaligus rasa penasaran: bagaimana suasana ToT Kepamongprajaan bagi Camat ini? Di pikiran saya, tentu akan banyak bertemu rekan-rekan camat dari seluruh Indonesia, widyaiswara, pejabat struktural, dan tentu saja para narasumber dari Kemendagri.

Sekitar pukul 09.00, saya singgah sebentar di Padalarang. Di sana saya menjemput sahabat lama saya, Firman Firdaus, seorang fungsional perencana Bappeda Provinsi Jawa Barat yang juga menjadi peserta. Begitu masuk mobil, Firman langsung berkata sambil tertawa, “Alhamdulillah ikut juga, Bud. Jadi nggak sendirian ke Jakarta. Minimal ada teman ngobrol kalau macet.” Saya tertawa kecil menjawab, “Iya, Fir. Siap-siap saja, Cipularang kadang suka bikin drama, apalagi kalau ada truk mogok.”

Kami pun melaju ke tol Cipularang. Perjalanan lancar meski ada sedikit kepadatan di beberapa titik. Dari balik jendela, pemandangan hijau perbukitan tampak menenangkan. Sesekali kami bercakap ringan tentang materi pelatihan yang akan diikuti. Firman sempat bertanya, “Katanya ada micro teaching juga ya, Bud?” Saya mengangguk, “Betul, kita nanti diuji bagaimana menyampaikan materi. Materi saya rencananya tentang pemanfaatan SPBE untuk pemerintah daerah.” Firman mengangguk serius, lalu menimpali, “Mantap. Itu relevan banget, apalagi camat sekarang harus melek digital.”

Sekitar pukul 11.45, setelah kurang lebih 3,5 jam perjalanan, kami akhirnya memasuki Jakarta. Lalu lintas khas ibukota menyambut: padat, penuh klakson, dan sedikit membuat lelah. Namun begitu tiba di BW Hotel Kemayoran sekitar pukul 12.00, rasa lelah berganti dengan semangat baru. Di lobi hotel yang megah, kami disambut petugas registrasi yang ramah. Saya segera mengisi form pendaftaran, menyerahkan surat tugas, lalu menerima kunci kamar dengan nomor 2711.


Begitu masuk kamar, rasa nyaman langsung terasa. Saya menaruh koper, lalu duduk sebentar sambil menarik napas panjang. “Wah, lega juga ya akhirnya sampai,” kata saya pada Firman yang kamarnya tak jauh dari saya. Firman hanya menjawab, “Iya Bud, sebentar lagi pembukaan. Kita istirahat bentar aja biar segar.”

Jam menunjukkan pukul 13.45 ketika saya sudah bersiap dengan setelan kemeja putih dan dasi hitam. Pukul 14.00 acara pembukaan dimulai di ballroom hotel. Ruangan besar itu dipenuhi peserta dari berbagai daerah, 30 orang peserta dengan seragam dan gaya khas masing-masing. Di depan, terpasang backdrop bertuliskan: “Training of Trainers (ToT) Kepamongprajaan bagi Camat – Kemendagri & KAS Jerman 2025”.

Acara dibuka dengan penuh khidmat oleh Kepala Pusat Pelatihan Kepemimpinan Manajemen BPSDM Kemendagri, Bapak Dr. Budi Santosa. Suaranya lantang, menyampaikan pesan penting tentang peran camat di era digital. “Camat bukan hanya pejabat administratif,” ujarnya, “tetapi juga pemimpin di garda terdepan dalam pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, camat harus memiliki keterampilan mengajar dan melatih, agar pengetahuan bisa ditularkan ke jajaran di bawahnya.”

Saya mencatat beberapa poin penting. Di sebelah saya, seorang peserta asal Lombok Tengah, Lalu Balya, berbisik, “Wah, berat juga ya tanggung jawab kita. Jadi camat sekaligus trainer.” Saya menjawab pelan, “Betul, tapi ini tantangan yang menarik. Kita bisa jadi multiplier agent di daerah.”

Setelah sambutan, sesi dilanjutkan dengan pemberian ceramah awal mengenai ketatalaksanaan dan administrasi pemerintahan. Narasumber menjelaskan pentingnya tata kelola yang efektif di tingkat kecamatan. Peserta tampak serius mendengarkan, sesekali ada yang mengajukan pertanyaan.

Firman yang duduk agak depan, sempat mengangkat tangan dan bertanya, “Pak, bagaimana camat bisa menyeimbangkan fungsi administratif dengan kebutuhan inovasi di wilayahnya?” Narasumber menjawab dengan tenang, “Kuncinya adalah kolaborasi. Camat tidak bisa bekerja sendiri. Libatkan perangkat desa, kelurahan, bahkan komunitas masyarakat. Administrasi itu fondasi, inovasi adalah jembatannya.”

Saya melihat Firman tersenyum puas. Rupanya jawaban itu sesuai dengan pikirannya. Diskusi semakin hidup ketika peserta lain menambahkan pengalaman masing-masing.


Setelah sesi pertama, dilanjutkan dengan materi kybernologi, yaitu penerapan teknologi informasi dalam pemerintahan kecamatan. Ini menarik, karena banyak camat yang masih terbiasa dengan sistem manual. Narasumber menyampaikan, “Transformasi digital itu bukan pilihan, tapi keharusan. Camat harus bisa memimpin perubahan, minimal mengarahkan staf untuk menggunakan SPBE.”

Di sela-sela ceramah, saya sempat berbincang dengan peserta dari Jambi, Rizalul Fikri. Ia berkata, “Di daerah saya, internet saja kadang mati hidup. Tantangan besar kalau mau pakai SPBE.” Saya menjawab, “Sama, di beberapa wilayah Jawa Barat juga begitu. Tapi mungkin kita bisa mulai dengan yang sederhana, misalnya aplikasi berbasis offline tapi sinkronisasi berkala.” Ia mengangguk-angguk, lalu berkata, “Nah itu ide bagus. Nanti saya coba sampaikan di kantor.”

Waktu terus berjalan, hingga sore menjelang. Sesi hari pertama selesai sekitar pukul 18.00. Badan terasa lelah, tapi hati puas karena banyak wawasan baru. Setelah makan malam, saya kembali ke kamar 2711, menyiapkan catatan untuk hari kedua.

Malam itu sebelum tidur, saya sempat menuliskan refleksi singkat di buku kecil: “Hari pertama berjalan lancar. Pembukaan penuh motivasi, materi awal membuka cakrawala. Besok pasti lebih padat. Semoga energi tetap terjaga.”

 

Cerita Pengalaman ToT Kepamongprajaan Bagi Camat – Bagian 2


Hari kedua, Selasa 26 Agustus 2025, saya terbangun lebih awal. Jam masih menunjukkan pukul 04.30 ketika alarm berdering. Seperti rencana, setelah sholat shubuh dan senejam menonton televisi melihat perkembangan situasi kota Jakarta yg saat2 ini sedang terjadi demo dari masyarakat,  saya mengenakan sepatu olahraga dan turun ke area jogging track yang mengelilingi kompleks hotel. BW Hotel Kemayoran ini unik, sebagian areanya juga berfungsi sebagai apartemen. Banyak penghuni yang sudah terbiasa berolahraga pagi. Saya berlari pelan selama satu jam, dari pukul 06.00 hingga 07.00. Udara pagi Jakarta yang biasanya panas ternyata masih sejuk di sekitar kawasan itu.

Sesekali saya bertemu peserta lain yang juga ikut jogging. Lalu, peserta TOT dari NTB menyalip saya sambil bercanda, “Kang , kalau lari gitu terus, nanti waktu micro teaching kamu ngos-ngosan loh.” Saya tertawa sambil menjawab, “Santai aja, ini pemanasan biar otak segar.” Setelah selesai, kami kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap mengikuti jadwal pelatihan.

Pukul 08.00, materi pertama hari itu dimulai: Pemahaman Kebijakan dan Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah bagi Camat. Narasumbernya adalah Bapak Lutfi Firmansyah dari Ditjen Bina Pembangunan Daerah. Beliau membuka dengan pertanyaan yang membuat kami langsung fokus, “Camat di sini, siapa yang sudah pernah menyusun RPJMD di wilayahnya?”

Beberapa peserta mengangkat tangan. Saya tidak ikut mengangkat, karena posisi saya sebagai widyaiswara lebih sering mendampingi. Namun, peserta dari Semarang, Didik Dwihartono, dengan antusias berbicara, “Kami di Mijen, Kota Semarang, sering terlibat dalam sinkronisasi RPJMD dengan musrenbang kecamatan. Tantangannya, kadang aspirasi warga tidak sejalan dengan kebijakan kota.”

Pak Lutfi menanggapi dengan bijak, “Itulah peran camat sebagai jembatan komunikasi. Camat harus bisa menjelaskan pada warga bahwa prioritas pembangunan tidak bisa semua diakomodasi sekaligus. Tetapi juga harus pandai melobi pemerintah kota agar aspirasi warga tidak hilang.”

Diskusi berjalan hangat. Saya mencatat beberapa poin penting: bahwa camat bukan hanya administrator, tetapi mediator kepentingan.

Menjelang siang, giliran materi tentang Fasilitasi Pembinaan dan Pengawasan Desa oleh Kecamatan. Narasumbernya Dr. Prabawa Eka Soesanta. Ia menjelaskan dengan gaya interaktif, bahkan mengajak kami membuat simulasi sederhana. “Anggap saya ini kepala desa, dan Anda semua camat yang harus melakukan pembinaan. Bagaimana cara menyampaikan teguran kalau saya melanggar aturan penggunaan dana desa?” katanya sambil tersenyum.

Seorang peserta dari Situbondo, Subiryo, maju ke depan. Dengan suara tegas ia berkata, “Pak Kades, sesuai aturan, penggunaan dana desa harus melalui mekanisme musyawarah. Kalau tidak, bisa jadi temuan BPK.” Sang narasumber langsung mengangkat jempol, “Nah, ini contoh yang bagus. Tegas tapi komunikatif.”

Di sela diskusi, saya sempat berbicara dengan peserta dari Jambi, Efrin, camat Danau Sipin. Ia berbisik, “Masalah di daerah saya kadang bukan hanya administrasi, tapi juga konflik sosial. Kalau kades merasa ditegur, bisa jadi hubungan jadi renggang.” Saya mengangguk, “Betul. Itu seni kepemimpinan. Camat harus bisa menegur tanpa membuat lawan merasa dipermalukan.”

Sore hari, materi berikutnya tentang Pembina Teknis Pemerintahan Desa. Narasumbernya Mohammad Noval. Beliau menekankan fungsi camat sebagai frontline supervisor. Katanya, “Camat itu ibarat kapten tim. Kalau kepala desa pemain, camat harus memastikan semua main sesuai aturan.” Saya menuliskan kalimat itu besar-besar di buku catatan, karena relevan sekali dengan kondisi lapangan.

Hari kedua berakhir cukup larut, bahkan ada sesi malam hingga pukul 22.00. Meski lelah, saya merasa puas karena ilmu yang didapat sangat aplikatif.

Hari ketiga, Rabu 27 Agustus 2025, dimulai dengan rutinitas jogging pagi. Kali ini saya berlari bersama peserta lain, termasuk Jaenal Arifin dari Banjar dan Nandang Nugraha dari Ciamis. Kami sempat berbincang ringan sambil lari. Jaenal berkata, “Kalau di Banjar, warga paling semangat kalau ada kegiatan olahraga. Camat sampai sering diminta jadi sponsor futsal.” Saya tertawa, “Kalau di Bandung, camat bisa jadi wasit sekalian.” Semua tertawa, suasana jadi cair.

Pukul 08.00, materi hari ketiga dimulai dengan tema Manajemen Penyelenggaraan Pembangunan dan Pengelolaan Dinamika Politik Lokal di Wilayah Kecamatan. Narasumbernya adalah Dr. Baharuddin Thahir dari IPDN. Beliau membuka dengan kalimat yang menohok, “Camat itu seringkali berada di tengah pusaran politik lokal. Bagaimana Anda menyikapinya?”

Pertanyaan itu langsung membuat ruangan riuh. Seorang peserta, Aman Suryaman dari Jatim, berpendapat, “Kalau camat terlalu dekat dengan politik lokal, bisa dituding tidak netral. Tapi kalau terlalu jauh, bisa kehilangan dukungan.”

Pak Baharuddin menanggapi, “Itulah dilema. Solusinya bukan menjauh, tapi menjaga jarak yang profesional. Bangun komunikasi tanpa harus menjadi bagian dari intrik politik.”

Dialog semakin menarik ketika Rizalul Fikri dari Jambi ikut menambahkan, “Kadang camat juga diminta memfasilitasi pertemuan antara ormas dengan kepala daerah. Itu juga rawan kalau tidak hati-hati.” Narasumber tersenyum, “Betul sekali. Maka camat harus punya kemampuan manajemen konflik.”

Siang harinya, materi dilanjutkan dengan Desain Pembelajaran dan Teknik Presentasi. Narasumbernya Dyah Prihatiningrum, seorang widyaiswara senior dari BPSDM Kemendagri. Beliau mengajarkan bagaimana membuat Rencana Pembelajaran (RP) yang sistematis. Saya merasa materi ini sangat dekat dengan dunia saya sebagai widyaiswara.

Dyah berkata, “Trainer itu bukan hanya pintar bicara, tapi juga pintar mendesain. Ingat, desain yang buruk akan membuat penyampaian materi tidak efektif, meskipun trainer hebat.” Saya menimpali, “Betul sekali, Bu. Kadang peserta lebih paham kalau struktur penyajian rapi.” Beliau mengangguk sambil tersenyum, “Ya, Pak Budy. Itu yang ingin saya tekankan.”

Peserta diberi tugas membuat draft Rencana Pembelajaran. Saya membuat rancangan untuk materi SPBE, menekankan pentingnya transformasi digital di kecamatan. Firman yang duduk di sebelah saya sempat melirik dan berkata, “Wah, Bud, keren juga. Bisa jadi modul resmi nanti.” Saya hanya tertawa, “Aamiin, siapa tahu.”

Hari ketiga ditutup dengan refleksi bersama. Banyak peserta merasa materi hari itu paling berat sekaligus paling berguna. Saya pribadi merasa puas, karena diskusi politik lokal dan teknik desain pembelajaran sama-sama memberi inspirasi.

Malam itu, saya kembali menulis catatan di buku kecil: “Hari kedua dan ketiga penuh tantangan. Banyak ilmu baru, banyak teman baru. Camat se-Indonesia ternyata menghadapi masalah yang mirip, hanya beda skala. Besok micro teaching, semoga lancar.”

Cerita Pengalaman ToT Kepamongprajaan Bagi Camat – Bagian 3 (Hari keempat & Penutupan)

Kamis, 28 Agustus 2025, saya terbangun dengan perasaan campur aduk: semangat, gugup, sekaligus penasaran. Hari ini adalah hari uji presentasi atau micro teaching. Sejak malam sebelumnya saya sudah menyiapkan bahan tayang tentang E-Government Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Laptop, pointer, dan catatan kecil saya cek ulang. Bahkan sebelum sarapan, saya sempat latihan berbicara di depan kaca kamar 2711.

Seperti biasa, saya jogging pagi terlebih dahulu pukul 06.00 hingga 07.00. Kali ini saya berlari bersama Kang Aman. Ia berkata sambil ngos-ngosan, “Kang Budi, nanti micro teaching pasti bikin deg-degan.” Saya tertawa kecil, “Tenang, kalau sudah terbiasa ngajar, nanti mengalir. Yang penting fokus.” Mas Aman mengangguk sambil menyeka keringat.

Pukul 08.00, seluruh peserta berkumpul di ballroom. Panitia membagi peserta ke tiga kelas. Saya mendapat giliran di kelas B, bersama beberapa peserta lainnya sepert; , Nazmiannoor dari Kalteng, dan beberapa camat lainnya. Penguji di kelas kami adalah Dr. Budi Santosa dan Bu Dr. Tutik Lestari, asesor senior dari BPSDM Kemendagri. Kehadiran mereka membuat suasana semakin serius.

Urutan presentasi diundi. Saya mendapat giliran keempat. Peserta pertama maju dengan materi tentang pembinaan desa, tampil cukup percaya diri. Peserta kedua membawakan materi tentang politik lokal, meski agak terbata-bata. Setelah peserta ketiga selesai, Lalu tibalah giliran saya.

Saya maju dengan langkah mantap, meski jantung berdetak lebih cepat. Dengan suara lantang saya membuka, “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tema saya adalah E-Government Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Mengapa SPBE penting? Karena tanpa digitalisasi, pelayanan publik akan tertinggal.” Saya menampilkan slide pertama yang berisi kerangka besar: urgensi SPBE, kondisi eksisting, tantangan, dan solusi.

Di baris depan, Dr. Budi Santosa mengangguk-angguk. Saya melanjutkan dengan gaya interaktif, “Bapak Ibu, siapa di sini yang sudah terbiasa menggunakan aplikasi e-office di kecamatannya?” Beberapa peserta mengangkat tangan, sebagian tidak. Saya menimpali, “Nah, inilah tantangan kita. Sebagai camat, kita harus jadi role model dalam penggunaan aplikasi. Kalau camat tidak mau login, bagaimana stafnya?” Ruangan pun sedikit riuh dengan tawa.

Presentasi berjalan sekitar 10 menit. Saya tutup dengan pernyataan, “SPBE bukan sekadar teknologi, tetapi budaya kerja baru. Mari kita mulai dari diri sendiri, lalu kita tularkan ke staf.”

Usai presentasi, Dr. Tutik memberi komentar, “Materinya menarik dan relevan. Penyampaiannya jelas, tapi coba perhatikan manajemen waktu. Ada bagian yang bisa dipadatkan.” Saya mengangguk sambil mencatat. Lalu Dr. Budi Santosa menambahkan, “Pak Budy ini sudah berpengalaman sebagai widyaiswara, jadi tidak canggung. Tapi ingat, ketika melatih camat atau lurah, gunakan bahasa yang lebih sederhana agar mudah dipahami.” Saya menjawab, “Baik, terima kasih Pak atas masukannya.”

Menjelang siang, kelas-kelas micro teaching selesai. Kami berkumpul kembali di ballroom untuk sesi refleksi. Banyak peserta berbagi pengalaman. Nandang Nugraha dari Ciamis berkata, “Saya baru sadar, ternyata mengajar itu butuh seni. Bukan hanya tahu materi, tapi juga bagaimana menyampaikannya.” Semua mengangguk, karena benar sekali.

Siang itu ada waktu khusus untuk revisi dan finalisasi Rencana Pembelajaran yang sudah kami buat. Saya memperbaiki draft modul SPBE, menambahkan bagian tentang tantangan infrastruktur di daerah. Firman membantu memberi masukan, “Bagian implementasi ini perlu diperjelas, Bud, biar lebih praktis.” Saya pun menambahkan contoh aplikasi sederhana yang bisa dipakai camat.

Pukul 13.15 kami ishoma, lalu bersiap untuk acara penutupan. Tepat pukul 14.30, Kepala BPSDM Kemendagri, Bapak Dr. Sugeng Hariyono, hadir untuk menutup kegiatan. Beliau memberikan pidato penuh semangat, “Saudara-saudara sekalian, ToT ini bukanlah akhir, melainkan awal. Kalian semua adalah multiplier agent. Tugas Anda adalah menyebarkan ilmu ini ke daerah masing-masing.”

Ruangan bergemuruh dengan tepuk tangan. Saya merasa bangga bisa menjadi bagian dari program ini.

Setelah penutupan, sertifikat dibagikan. Ketika menerima sertifikat, saya menatapnya dengan rasa syukur. Di hati saya berkata, “Inilah bekal untuk terus berkontribusi, bukan hanya untuk Jawa Barat, tapi juga untuk Indonesia.”

Momen foto bersama pun dilakukan. Semua peserta tersenyum, meski wajah lelah tampak jelas. Saya berdiri di samping Firman, sambil berkata pelan, “Kita pulang bawa oleh-oleh ilmu, bukan oleh-oleh belanja.” Firman menimpali.

Setelah berbincang-bincang dengan seluruh peserta, jam menunjukan pukul 15.25, kami check out dari hotel. Saya dan Firman berangkat bersama menuju Bandung lewat tol. Di perjalanan, kami banyak bercerita tentang pengalaman selama ToT. Firman berkata, “Bud, saya belajar banyak. Ternyata jadi trainer itu butuh mental baja.” Saya menjawab, “Iya Fir, tapi kita sudah melangkah satu tahap. Tinggal praktik di daerah masing-masing.”

Ketika mobil melaju melewati kilometer 70 tol Cipularang, saya terdiam sejenak, merenung. Empat hari yang padat, penuh ilmu, dialog, dan pengalaman berharga telah saya jalani. ToT ini bukan sekadar pelatihan, tapi juga ajang memperluas perspektif. Saya merasa lebih siap untuk berkontribusi, bukan hanya sebagai widyaiswara, tapi juga sebagai bagian dari komunitas pamong praja yang terus belajar.

Sesampainya di Bandung, sekitar pukul 8 malam, rasa lelah perjalanan tertutup oleh kepuasan mendalam. Saya kembali ke rumah dengan senyum lega. Istri menyambut di depan pintu, “Bagaimana ToT-nya?” Saya menjawab singkat, “Luar biasa, penuh ilmu, dan banyak sahabat baru.”

Malam itu, sebelum tidur, saya menulis catatan terakhir di buku kecil: “ToT Kepamongprajaan 25–28 Agustus 2025 di Jakarta adalah perjalanan berharga. Bukan hanya belajar materi, tetapi juga belajar tentang arti kolaborasi, kepemimpinan, dan pengabdian. Semoga ilmu ini bisa saya tularkan kepada generasi ASN berikutnya.”


Catatan kecil perjalanan mengikuti TOT Kepamongprajaan bagi Camat

 

Komentar