Narasi Protes Rakyat Indonesia – Jakarta, Bandung, Makassar, Cirebon

 

Beberapa hari terakhir, suasana Indonesia terasa panas dan bergolak. Di Jakarta, Bandung, Makassar, hingga Cirebon, rakyat turun ke jalan dengan wajah penuh amarah bercampur kecewa. Pemicunya sederhana tapi menyakitkan: kabar tentang para anggota DPR yang kembali menikmati tunjangan dan fasilitas mewah sumber berita ; https://www.kompas.tv/regional/613975/tunjangan-mewah-dpr-diprotes-keras, sementara rakyat kecil berjuang dengan harga kebutuhan yang makin mencekik. Kabar itu seperti percikan api yang jatuh ke tumpukan jerami kering—meledak menjadi kobaran protes besar-besaran.

Di Jakarta, ribuan mahasiswa dan pekerja berbondong-bondong menuju kompleks DPR. Mereka membawa spanduk, poster, dan suara lantang yang menggema di sepanjang jalan. “Rakyat lapar, DPR pesta!” teriak mereka. Polisi sudah berjaga dengan tameng dan water cannon, tapi semangat massa terlalu kuat. Bentrokan pun tak terelakkan, gas air mata menyelimuti udara, sementara jalan-jalan utama berubah menjadi arena chaos. Di tengah keributan itu, kabar tragis tersiar: seorang pengemudi ojek online muda bernama Affan Kurniawan tertabrak kendaraan taktis polisi hingga meninggal dunia. Namanya langsung jadi simbol perlawanan—anak muda pekerja keras yang gugur, seolah mewakili rakyat kecil yang tiap hari terlindas sistem.

Gelombang kemarahan tak berhenti di ibu kota. Di Bandung, massa menyerbu dan membakar gedung milik DPRD Jawa Barat, merusak pagar, menumbangkan lampu lalu lintas, bahkan menghancurkan beberapa fasilitas publik. Suasana kota yang biasanya sejuk mendadak berubah mencekam, apalagi api berkobar di malam hari, membuat langit kota penuh asap. Di Makassar, amarah rakyat juga meledak, gedung pemerintahan kota dibakar hingga menewaskan beberapa orang yang terjebak di dalamnya. Sementara di Cirebon, gedung DPRD setempat bernasib sama—jadi sasaran amarah massa yang tak lagi percaya pada wakil rakyatnya. Kota demi kota seakan terhubung oleh satu rasa: kecewa, marah, dan tak mau lagi diam.

Di sisi lain, media sosial turut menjadi medan perlawanan. Video-video protes viral, orasi mahasiswa tersebar luas, dan wajah-wajah marah rakyat kecil memenuhi linimasa. Saking derasnya arus informasi, platform TikTok sampai menonaktifkan fitur live streaming di Indonesia, khawatir aksi-aksi di jalan makin tak terkendali. Pemerintah pun kelabakan. Presiden Prabowo yang awalnya dijadwalkan pergi ke China akhirnya membatalkan kunjungan, memilih tetap di tanah air untuk menghadapi badai politik ini. Keadaan benar-benar menunjukkan bahwa protes ini bukan sekadar kericuhan biasa, melainkan letupan kemarahan rakyat yang sudah terlalu lama dipendam.

Apa yang sebenarnya dicari rakyat? Mereka tak menuntut hal yang muluk-muluk. Mereka hanya ingin keadilan yang masuk akal: wakil rakyat yang hidup wajar, bukan berfoya-foya dengan fasilitas mewah, sementara rakyat kecil harus mengencangkan ikat pinggang. Mereka ingin pemimpin yang tahu bahwa kursi kekuasaan adalah amanah, bukan kesempatan untuk menambah kekayaan pribadi. Mereka berharap polisi tidak lagi jadi alat yang melukai rakyat, tapi hadir sebagai pelindung yang humanis. Dan mereka mendambakan masa depan di mana suara rakyat benar-benar didengar, bukan dipadamkan dengan gas air mata.

Beberapa hari ini adalah cermin, betapa dalam luka yang rakyat rasakan terhadap wakilnya sendiri. Api yang membakar gedung-gedung DPRD di berbagai kota sejatinya adalah simbol, bukan sekadar bara fisik, melainkan api keadilan yang dicari. Indonesia jelas sedang berada di persimpangan jalan: apakah tetap terjebak dalam pola lama yang penuh kemewahan elit dan penderitaan rakyat, atau bangkit menuju era baru dengan kepemimpinan yang lebih jujur, adil, dan berpihak pada masyarakat.

Harapan untuk Indonesia ke Depannya

  1. Transparansi dan Akuntabilitas Parlemen
    Tunjangan anggota DPR harus transparan, wajar, dan tak melepas akal sehat. Rakyat butuh rasa keadilan, bukan sinyal elit jauh di atas mereka.
  2. Keadilan Ekonomi
    Pemerintah perlu serius bantu rakyat kecil—kenaikan upah, subsidi edukasi, akses perumahan, dan pelayanan publik yang layak.
  3. Pelayanan Polisi yang Humanis
    Aparat jangan jadi pemicu luka. Penggunaan kekerasan berlebihan harus dicegah dengan pelatihan humanis dan akuntabilitas.
  4. Dialog—Bukan Blokir atau Dalami Diskusi Sosial
    Pemerintah mesti mendengar aspirasi rakyat, bukan menutup sosial media atau menyetop demo protes.
  5. Era Baru Pemimpin yang Pnuh Integritas
    Harapannya, muncul pemimpin yang sadar bahwa kekuasaan itu amanah, bukan kesempatan untuk tambal dompet pribadi.

 


Bandung, 31 Agustus 2025

catatan kecil perjalanan NKRI

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar