Zoom, Integritas, dan Para Pejabat Tinggi
Negeri Ini
Pagi
itu, langit Bandung belum benar-benar cerah. Tapi semangat saya sudah terbit
duluan. Secangkir kopi hitam di tangan kanan, dan sepotong roti tawar sisa
sarapan di meja kerja cukup membuat perut dan pikiran hangat. Pukul 07.30 WIB,
saya sudah duduk manis di depan laptop, siap menyapa 15 wajah yang sebagian
sudah saya kenal dari layar, dan sebagian lagi belum.
Jadwal
hari ini, 31 Juli 2025 sesuai dengan Surat Tugas dari Kepala BPSDM seminggu
sebelumnya: Saya diberikan kesempatan berbagi pengalaman untuk menyampaikan
materi “Integritas Kepemimpinan” kepada peserta PKN Tingkat II Angkatan XXIII.
Bukan kelas biasa. Pesertanya bukan lagi calon-calon pemimpin, tapi sudah para
pemimpin yang menjabat di Eselon II. Ada yang dari Bawaslu Pusat, Bawaslu
Provinsi, Kepala Dinas dan Kepala Biro Provinsi dan bahkan dari Badan Tenaga
Nuklir Nasional. Serius, ini bukan kelas kaleng-kaleng.
Pukul
08.00, saya buka Zoom. Layar mulai ramai dengan wajah-wajah penuh wibawa. Ada
yang tersenyum hangat, ada yang tegang seperti hendak ujian negara, dan ada
juga yang sesekali menoleh ke kanan-kiri, entah sedang cek sinyal atau sedang
nyari kopi tambahan.
"Selamat
pagi Bapak Ibu hebat...!” saya buka dengan pantun andalan:
Bangun
tidur tak lupa sarapan,
Sarapan
pagi lontong ketupat,
Salam
hormat saya ucapkan,
Untuk
Bapak/Ibu peserta yang terhormat.
Beberapa tersenyum, beberapa tertawa kecil. Saya tahu, pantun itu bukan untuk lucu-lucuan semata, tapi untuk mencairkan suasana. Karena saya tahu betul: berbicara soal integritas, kepada orang-orang yang sudah berada di pucuk kepemimpinan, bukan perkara gampang.
Saya lanjutkan, “Bunga mekar di taman sari, disiram hujan tambah berseri. ASN unggul, jujur berbudi, tak tergoda kuasa dan materi…”
Dan di
sanalah dimulai pertemuan ini. Satu per satu peserta memperkenalkan diri. Nama,
jabatan, asal instansi, dan motto hidup. Ada yang singkat, ada yang berfilosofi
panjang seperti pidato kenegaraan. Tapi semuanya membuat saya mengangguk: ini
kelas yang akan menantang saya berpikir dan menyampaikan bukan hanya materi,
tapi hati nurani.
Setelah
perkenalan selesai, saya lemparkan pertanyaan pembuka:
“Bapak/Ibu,
siapa yang merasa dirinya sudah berintegritas?”
Hening…..
Beberapa
senyum simpul. Saya tahu, bukan karena tidak percaya diri. Tapi karena mereka
tahu, pertanyaan itu dalam. Terlalu dalam untuk dijawab buru-buru.
Saya
lanjutkan, “Jangan khawatir. Materi ini bukan untuk menjadikan
Anda lebih berintegritas. Tapi untuk menjaga, mengawal, dan merawat integritas
itu. Karena, kita tahu, yang paling susah bukan memulai, tapi mempertahankan.”
Saya
buka slide pertama, bicara tentang konsep self-mastery, tentang energi
kepemimpinan, dan positioning ASN sebagai teladan publik. Lalu, saya tarik satu
quote dari Adrian Gostick: “Seseorang yang berintegritas akan bertindak
seolah-olah dia selalu diawasi.”
Saya
lihat, beberapa peserta mengangguk pelan. Sebagian mulai mencatat. Saya tahu
saya sedang menyentuh sesuatu.
Memasuki
sesi diskusi, saya buka dengan pertanyaan:
“Menurut
Bapak/Ibu, apa tantangan paling berat dalam menjaga integritas hari ini?”
Yan
Dharmadi, SH.,MH sebagai Kepala Biro Hukum di Setda Provinsi Riau angkat tangan
duluan.
“Saya
kira, yang paling sulit adalah ketika kita menghadapi tekanan dari atasan, atau
dari pihak eksternal, untuk melonggarkan sedikit saja prinsip.”
Saya
tanggapi, “Ya Pak Yan, kadang integritas diuji bukan saat kita salah, tapi saat
kita dipaksa untuk tidak benar.”
Kemudian
Bu Yusti Herlina Bawaslu Pusat menimpali:
“Kadang
bukan hanya tekanan dari luar, tapi juga dari lingkungan sendiri. Apalagi kalau
kita jadi minoritas dalam menjaga etika. Dibilang sok suci, dibilang nggak
solider, bahkan ada yang bilang: ‘santai aja, toh semua juga begitu’.”
Saya
tersenyum, “Nah, itu yang disebut Organizational Defensive Routine, Bu. Istilah
lainnya: sama-sama tahu tapi pura-pura nggak tahu.”
Tiba-tiba
Pak Avhmad Bussamah dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir menyela, “Pak Budy,
menurut Bapak, bagaimana cara menjaga integritas saat kita tahu bahwa sistem di
atas kita pun belum tentu bersih?”
Pertanyaan
itu seperti granat. Meledak di ruang Zoom.
Saya tarik napas. “Pak Achmad, saya percaya: sistem itu bisa salah. Tapi kita jangan ikut salah. Bahkan kalau lingkungan busuk, bukan berarti kita harus ikutan bau. Tugas kita bukan mencium wangi dari sistem, tapi membawa aroma kebaikan di dalamnya.”
Saya
lanjutkan dengan ilustrasi seekor burung kecil dalam cerita Nabi Ibrahim yang
membawa setetes air untuk memadamkan api.
Cerita
ini akan dilanjutkan dengan diskusi mendalam, strategi membangun integritas,
hingga kesimpulan dan deklarasi pribadi peserta (DOE). Apakah Anda ingin saya
lanjutkan ke bagian strategi membangun integritas dan refleksi peserta
sekarang?
Bagian 2: Strategi Membangun Integritas – Dari Zoom ke Hati Nurani
“Mengapa
Integritas Sulit Dipegang Teguh?”
Saya
bilang, “Bapak/Ibu, integritas itu bukan sekadar jujur. Tapi keberanian untuk
tetap berada di jalur, meskipun semua orang melenceng.”
Saya
tunjukkan rumus klasik dari Jack Bologne: GONE Theory – Greed, Opportunity,
Need, Exposure. Lalu saya tanya:
“Dari
keempat faktor itu, mana yang paling banyak menggoda para ASN di level Eselon
II?”
Pak Feri
Mulia dari Bawaslu Kalimantan Utara menjawab tanpa ragu, “Exposure, Pak. Karena
sanksi kita ringan. Jadi banyak yang merasa: ‘Kalau ketahuan? Ya apes. Kalau
nggak? Lanjut aja.’”
Saya mengangguk sambil menimpali, “Betul, Pak. Rasa takut itu hilang karena risiko sosial dan hukum tidak sebanding dengan potensi untungnya. Makanya, integritas tidak cukup ditegakkan dari luar. Harus dimulai dari dalam.”
Kemudian
Pak Fhandy dari Kasat Pol PP Kota Ternate bicara, “Tapi Pak Budy, bagaimana
membangun integritas itu kalau kita hidup di sistem yang dari atas ke bawah
sudah berkelok-kelok? Kita sering merasa hanya jadi ‘wayang’ di antara
permainan besar.”
Saya
menghela napas, lalu menyampaikan strategi tiga pendekatan membangun
integritas: Rule-Based, Value-Based, dan Culture-Based.
1.
Rule-Based
“Kalau
kita tak bisa mengandalkan nurani, minimal kita patuh pada aturan,” ujar saya
sambil menunjuk slide berisi daftar regulasi: UU ASN, Permenpan 38/2017, dan
Kode Etik ASN.
Saya
sampaikan bahwa meskipun banyak aturan, kita sering tidak memiliki kemauan
untuk patuh.
“Karena
itu, strategi pertama adalah clear and firm rules. Aturan tegas, sanksi nyata,
dan pengawasan konsisten.”
Pak Harimukti
dari Bawaslu Pusat tertarik dan bertanya, “Apakah sanksi efektif jika budaya
saling menutupi masih kuat?”
Saya
jawab, “Tidak. Karena itu kita butuh strategi kedua...”
2.
Value-Based
Saya
bilang, “Integritas lahir dari kesadaran personal. Dari dalam diri.”
“Kalau
Anda sebagai pemimpin tidak bisa mengontrol semua anak buah, setidaknya Anda
bisa menginspirasi mereka.”
Saya
tampilkan 10 karakter orang berintegritas menurut Gostick dan Telford: dari
kejujuran, keteladanan, hingga konsistensi dalam hal kecil. Lalu saya tanya:
“Dari
10 ini, mana yang paling sulit Bapak/Ibu terapkan?”
Pak Achmad
Taufik dari Biro Adpim Jawa Barat tertawa kecil, “Yang nomor satu: tidak
berbohong pada hal kecil. Kadang kita bilang ‘sudah OTW’ padahal baru mandi...”
Seluruh
peserta tertawa. Saya pun ikut.
“Nah,
dari hal-hal kecil itulah kita dibentuk. Integritas tidak lahir dalam seminar,
tapi dalam keseharian.”
Pak
Hartono, dari Dinas Ketahanan Pangan Ternate menambahkan, “Saya kira membangun
lingkungan saling percaya itu juga sulit, apalagi kalau rekan kerja kita
sendiri tidak ‘sejalan’.”
Saya
jawab, “Tepat Pak Makanya kita masuk ke strategi ketiga…”
3.
Culture-Based
Saya
katakan, “Integritas harus menjadi budaya organisasi. Bukan hanya tanggung
jawab pimpinan, tapi semua pihak.”
Saya
beri contoh: whistle-blowing system, pelaporan gratifikasi, dan pembiasaan
declaration of excellent atau janji integritas.
Saya lanjutkan:
“Kalau
kita tidak bisa mengubah sistem secara instan, kita mulai dari ruang kerja
sendiri. Bangun lingkungan kerja yang menjunjung etika.”
Pak Harimukti
dari Bawaslu Pusat menyela, “Pak Budy, kadang sulit menerapkan semua itu karena
ASN sekarang banyak yang pragmatis. ‘Yang penting kerja beres, gaji cair.’
Integritas jadi sekunder.”
Saya
hanya menjawab singkat, “Justru karena pragmatisme makin masif, tugas kita jadi
makin mulia.”
Setelah
sesi strategi, saya alihkan ke penugasan pribadi. Saya minta peserta menuliskan
pengalaman dilema etik masing-masing. Ada yang diam. Ada yang mulai mengetik.
Saya tahu, di antara mereka ada cerita yang tak mungkin bisa dibuka langsung.
Saya
beri contoh kisah burung kecil di tengah api besar saat Nabi Ibrahim dibakar.
“Kadang,
tindakan kecil kita seolah tak berarti. Tapi Allah tidak bertanya: ‘Apakah kamu
berhasil memadamkan apinya?’ Tapi: ‘Apa yang kamu lakukan saat melihat
kemungkaran?’”
Lalu
saya minta mereka menyusun Declaration of Excellent – tiga kata yang mewakili
karakter integritas mereka. Beberapa menulis:
Berani,
Jujur, Tanggung Jawab
Sederhana,
Adil, Konsisten
Tegas,
Peduli, Transparan
Dan
saya tutup sesi dengan pertanyaan pamungkas:
“Bapak
Ibu, dalam kondisi sekarang, lebih baik jadi minoritas yang jujur… atau
mayoritas yang kompromi?”
Bagian 3: Di Ujung Sesi, Di Ujung Hati – Integritas Itu Tidak Basi
Waktu menunjukkan pukul 10.55 saat saya menyampaikan kalimat:
“Bapak Ibu… integritas itu bukan program, bukan slogan, apalagi gimmick pelatihan. Ia adalah keputusan pribadi yang diambil setiap hari.”
Saya
lihat wajah-wajah di layar mulai teduh. Zoom ini bukan sekadar Zoom. Saya tahu,
meskipun jarak jauh, ada gelombang batin yang sedang bergerak. Beberapa peserta
terlihat mengangguk pelan. Sebagian mulai merenung, menunduk seperti sedang
menghitung dosa birokrasi masing-masing.
Saya
kembali membuka forum tanya-jawab terakhir. Kali ini yang bertanya adalah Bu Irma
Dewi dari Kabupaten Sumedang Jawa Barat.
“Pak
Budy, bagaimana kita tetap menjaga integritas jika ternyata justru atasan kita
yang menyuruh melanggar aturan?”
Saya
terdiam sejenak. Lalu menjawab:
“Bu Irma, saya tidak akan bilang itu mudah. Tapi pemimpin strategis harus berani berkata ‘tidak’. Anda mungkin kehilangan jabatan, tapi Anda tidak akan kehilangan harga diri.”
Pak Achmad
dari BATAN menyambung, “Tapi Pak, kalau semua sistem sudah gelap, kita kayak
lilin di tengah badai. Lama-lama habis juga.”
Saya
jawab dengan cepat, “Pak Dedy, lilin memang bisa padam. Tapi sebelum padam, dia
memberi cahaya. Itu cukup.”
Lalu
saya ajak mereka masuk ke sesi terakhir: Deklarasi Pribadi.
Saya
minta semua peserta menyalin di kolom chat Zoom kalimat:
“Saya,
(nama), adalah pemimpin strategis yang … (isi tiga kata nilai integritas
Anda).”
Satu
per satu, mereka menulis:
“Saya,
Yusti Herlina, adalah pemimpin strategis yang adil, transparan, dan
bertanggung jawab.”
“Saya,
Feri Mulia, adalah pemimpin strategis yang sederhana, tegas, dan peduli.”
“Saya,
Arya Mega Natalady ., adalah pemimpin strategis yang konsisten, profesional,
dan tidak bisa disuap.”
Saya
membaca semua dengan bangga. Bukan karena saya berhasil mengajari mereka. Tapi
karena saya tahu, saya sudah menjadi bagian dari proses mereka menyadari siapa
diri mereka seharusnya.
Setelah
semua deklarasi terkumpul, saya ucapkan terima kasih, lalu menutup materi
dengan pantun:
Pulau
Irian, burungnya Cendrawasih,
Sekian
dari saya, semoga tak sekadar habis.
Jangan
hanya hafal integritas dari teks,
Tapi
hiduplah sebagai pemimpin yang tak mudah lepas.
Senyum
mengembang di layar. Saya tahu, materi ini sudah selesai, tapi pergulatan batin
mereka baru dimulai.
Epilog: Refleksi Seorang Widyaiswara
Sesi
Zoom berakhir, tapi saya belum bangkit dari kursi. Saya duduk termenung,
membatin.
Saya
bukan orang paling bersih di dunia ini. Tapi sebagai widyaiswara, saya diberi
amanah untuk menjadi pengingat. Menjadi suara hati yang kadang dilupakan oleh
birokrasi. Saya tak bisa menata ulang sistem, tapi saya bisa mengetuk satu per
satu hati ASN di negeri ini.
Hari
itu, 31 Juli 2025, saya bukan sekadar menyampaikan materi. Saya seperti sedang
duduk bersama 15 pemimpin bangsa, bukan di Zoom, tapi di ruang hati mereka.
Menyentuh bagian terdalam dari jabatan: nurani.
Saya
percaya, perubahan tidak selalu datang dari demo atau pidato. Tapi bisa dimulai
dari satu klik Zoom, satu deklarasi pribadi, satu kesadaran bahwa jadi pemimpin
bukan soal kekuasaan, tapi keberanian menjaga nilai.
Dan
saya tahu, mungkin suatu hari, salah satu dari mereka akan berdiri di tengah
badai korupsi… dan memilih untuk tetap jadi lilin kecil.
Dengan
hati ringan, saya kirim satu pesan ke grup WhatsApp peserta:
“Terima
kasih Bapak/Ibu. Semoga integritas bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk
seumur hidup.”
Lalu
saya matikan laptop, meregangkan punggung, dan berjalan ke dapur. Ada teh manis
menunggu. Dan di luar, matahari sudah mulai bersinar. Tepat seperti harapan
saya untuk negeri ini.
Catatan Kecil membagi secuil pengalaman
bagi ASN yg Bersih dan Profesional
Komentar
Posting Komentar