Pelatihan ASN di Era 5.0 – Antara Harapan dan Kenyataan
Suatu pagi di sebuah ruang pelatihan
di BPSDM, para ASN duduk rapi dengan laptop di hadapan mereka. Slide presentasi
tentang Era Society 5.0 terpampang jelas di layar. Fasilitator
menjelaskan dengan penuh semangat bagaimana dunia kini bergerak cepat:
digitalisasi, kecerdasan buatan, big data, hingga pelayanan publik
berbasis aplikasi. Semua peserta manggut-manggut, ada yang benar-benar paham,
ada pula yang sekadar mengikuti ritme ruangan.
Pelatihan ASN di era 5.0 sejatinya
membawa misi besar: membangun kompetensi agar birokrasi bisa melayani publik
lebih cepat, transparan, dan manusiawi. Namun, di balik semangat itu, muncul
pertanyaan yang terus menghantui: kenapa, setelah berbagai pelatihan digelar,
indeks pelayanan publik kita masih sering berada di zona “cukup” bahkan
“buruk”? Kenapa masyarakat masih saja mengeluh soal lambatnya pelayanan,
rumitnya birokrasi, dan sikap aparatur yang terkesan asal-asalan?
Jawabannya tentu tidak sederhana. Ada
cerita panjang tentang hambatan, tantangan, dan celah yang membuat pelatihan
ASN di era 5.0 belum sepenuhnya efektif.
1. Pelatihan Sebagai Rutinitas, Bukan
Transformasi
Banyak ASN mengikuti pelatihan hanya
karena “perintah atasan” atau “syarat administrasi”. Mereka hadir, duduk,
mendengarkan, lalu pulang. Notulensi diisi, sertifikat keluar, dan selesai.
Materi tentang leadership, digital government, atau customer
experience memang keren di atas kertas, tapi sering kali tidak masuk ke
hati dan praktik sehari-hari.
Akibatnya, pelatihan terasa seperti
formalitas. Kompetensi ASN tidak banyak berubah. Ada yang sudah paham teori
pelayanan prima, tapi ketika kembali ke kantor, sikapnya tetap sama: kaku,
birokratis, dan kurang peduli pada keluhan warga.
2. Jurang Digital yang Lebar
Era 5.0 bicara soal teknologi, tapi
kenyataannya tidak semua ASN siap. Ada yang sudah melek digital, fasih
dengan aplikasi, cloud system, bahkan data analytics. Tapi ada
juga yang gagap teknologi: membuka zoom meeting pun bingung, mengetik di
laptop masih pakai satu jari, apalagi bicara soal big data.
Jurang digital ini membuat pelatihan
terasa timpang. Fasilitator bicara tentang smart government, sementara
sebagian peserta sibuk mengutak-atik tombol mute di Zoom. Akhirnya, yang
paham semakin maju, yang tertinggal makin jauh.
3. Hambatan Budaya Birokrasi
Pelatihan sering mengajarkan
nilai-nilai baru: inovatif, responsif, melayani dengan hati. Tapi begitu
kembali ke kantor, budaya lama muncul kembali: “Kalau bisa diperlambat, kenapa
dipercepat?”, “Ikuti saja aturan main, jangan cari repot”, atau “Tunggu disposisi
dulu, jangan langsung dilayani.”
Budaya birokrasi yang hierarkis dan
kaku sering kali membunuh semangat perubahan. ASN yang sempat berapi-api
setelah pelatihan akhirnya menyerah pada pola lama. Tidak ada dukungan dari
pimpinan, tidak ada teladan, dan sistem kerja pun masih sama. Akhirnya,
pelatihan hanya jadi wacana.
4. Indeks Pelayanan Publik Masih
Tertatih
Data menunjukkan, indeks pelayanan
publik di beberapa daerah memang naik, tapi kenaikannya lambat. Keluhan
masyarakat masih menumpuk: antrean panjang, aplikasi error, petugas yang tidak
ramah, hingga pungutan liar berkedok “biaya tambahan”.
Masyarakat kini jauh lebih kritis. Di
era media sosial, satu keluhan kecil bisa menjadi viral. Ada warga yang hanya
ingin mengurus KTP, tapi harus bolak-balik karena alasan server down. Ada yang
ingin mendapatkan layanan kesehatan, tapi malah terhambat prosedur
administrasi. Semua ini membuat kepercayaan pada ASN semakin menurun.
5. Hambatan Struktural dan Fasilitas
Bukan hanya soal individu, hambatan
juga muncul dari sistem dan fasilitas. Misalnya:
a)
Infrastruktur internet di kantor pelayanan masih
lemah. Server sering down, aplikasi lambat.
b)
Beban kerja ASN tinggi, tapi jumlah pegawai terbatas.
c)
Pelatihan sering tidak sesuai dengan kebutuhan
spesifik unit kerja.
d)
Anggaran pelatihan terbatas, sehingga hanya sebagian
kecil ASN yang terlibat.
Pelatihan bisa sehebat apapun, tapi
tanpa dukungan fasilitas dan sistem, hasilnya tetap tidak maksimal.
6. Solusi yang Mungkin Ditempuh
Meski penuh hambatan, bukan berarti
situasinya tanpa harapan. Ada beberapa langkah yang bisa membuat pelatihan ASN
lebih efektif:
- Pelatihan
Berbasis Praktik, Bukan Sekadar Teori.
Kurangi materi yang terlalu akademis. Ganti dengan case study, simulasi, dan role play pelayanan publik. ASN perlu merasakan langsung bagaimana menjadi warga yang kecewa karena pelayanan lambat. - Pendampingan
Pasca-Pelatihan.
Jangan berhenti pada sertifikat. Perlu ada mentoring dan evaluasi pasca pelatihan. Apa yang dipelajari harus diterapkan di kantor, lalu dipantau hasilnya. - Teknologi
untuk Semua.
Lakukan digital literacy berjenjang. Jangan langsung bicara big data kepada ASN yang baru belajar mengetik. Berikan pelatihan sesuai tingkat kemampuan. - Teladan
dari Pimpinan.
Budaya pelayanan tidak bisa dibangun dari bawah saja. Pimpinan harus menjadi contoh. Kalau pimpinan tetap birokratis dan kaku, bawahan pasti ikut. - Sistem
Apresiasi dan Sanksi.
ASN yang berhasil berinovasi harus diapresiasi. Yang masih abai terhadap pelayanan perlu ditegur bahkan diberi sanksi. Tanpa itu, pelatihan hanya jadi pajangan. - Konektivitas
dan Infrastruktur.
Perkuat infrastruktur dasar: internet, server, dan sistem aplikasi. Jangan sampai masyarakat marah hanya karena jaringan sering mati.
7. Harapan yang Masih Menyala
Di balik semua kelemahan, ada juga
banyak cerita sukses. Beberapa unit pelayanan publik di Jawa Barat misalnya,
sudah mulai menerapkan sistem antrian digital, pelayanan berbasis chatbot,
hingga aplikasi yang memudahkan masyarakat mengurus dokumen dari rumah.
ASN muda dengan semangat inovasi
menjadi motor penggerak. Mereka membuktikan bahwa pelatihan bukan sekadar
formalitas. Ketika ilmu dipraktikkan, pelayanan bisa lebih cepat, ramah, dan
transparan.
Masyarakat pun mulai percaya kembali.
Indeks pelayanan publik perlahan naik, dan citra ASN sebagai “pelayan publik”
bukan sekadar jargon.
8. Menutup Cerita – Solusi dan
Harapan untuk Jawa Barat
Pelatihan ASN di era 5.0 memang masih jauh dari sempurna. Hambatan ada di mana-mana: dari mindset, budaya birokrasi, hingga fasilitas. Namun, pelatihan tetap penting sebagai pintu masuk perubahan.
Harapan terbesar bagi ASN di Jawa
Barat adalah menjelma menjadi agen perubahan yang nyata. Solusinya tidak hanya
berhenti pada pelatihan, tetapi juga pada pembentukan ekosistem kerja yang
mendorong keberanian berinovasi. ASN harus diberi ruang untuk mencoba cara baru
tanpa takut gagal, didukung dengan kepemimpinan yang terbuka serta teknologi
yang inklusif. Kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, masyarakat, dan
dunia usaha—perlu diperkuat agar pelayanan publik lebih relevan. Dengan sikap
melayani yang tulus, integritas yang terjaga, serta keberanian beradaptasi, ASN
Jawa Barat bisa menjadi motor penggerak birokrasi modern yang dipercaya rakyat.
Pada akhirnya, yang diinginkan
masyarakat sederhana saja: pelayanan cepat, mudah, ramah, dan transparan. Jika
pelatihan ASN benar-benar menyentuh itu, maka era 5.0 bukan sekadar slogan,
melainkan kenyataan yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Bandung, 6 September 2025
Komentar
Posting Komentar