Bagian 1 – Paradigma Baru ASN dan Makna Keputusan LAN 605/2025
Bagi sebagian ASN, mendengar kata “IDP” alias Individual
Development Plan mungkin terasa seperti istilah dari dunia HRD korporat.
Tapi, siapa sangka, istilah ini kini jadi ruh baru dalam manajemen ASN di
Indonesia. Keputusan LAN No. 605/2025 mengubah cara pandang lama tentang
pengembangan kompetensi ASN — dari yang sekadar memenuhi kewajiban 20 JP per
tahun, menjadi proses pembelajaran yang relevan, terencana, dan berdampak
nyata pada kinerja organisasi.
Dulu, pengembangan kompetensi sering kali seperti
daftar hadir pelatihan: ikut Bimtek, tandatangan, foto bersama, lalu selesai.
Tapi kini, lewat IDP, setiap ASN diminta ngaca — menilai diri sendiri,
mencari tahu di mana letak “gap” kompetensinya, lalu menyusunnya bersama atasan
melalui dialog kinerja. Ini bukan basa-basi, tapi proses strategis untuk
memastikan setiap jam belajar ASN betul-betul mendukung capaian organisasi.
Bayangkan, kalau semua ASN di Jawa Barat punya IDP
yang hidup — bukan sekadar dokumen mati di folder HRD — maka BPSDM bisa membaca
peta kompetensi ASN seperti membaca Google Maps. Di mana kompetensi digital ASN
masih lemah? Di unit mana kemampuan analisis kebijakan masih rendah? Di dinas
mana kepemimpinan kolaboratif justru sudah kuat? Semua bisa terbaca.
Nah, di sinilah letak revolusi senyap ASN
Indonesia.
Keplan 605 bukan cuma aturan teknis; ia adalah gerakan kesadaran belajar ASN.
ASN tidak lagi menunggu dikirim belajar, tapi justru menuntun dirinya untuk
belajar.
ASN tidak lagi sekadar peserta pelatihan, tapi menjadi arsitek pembelajaran
pribadinya sendiri.
Sebagai
widyaiswara, saya — Budy Hermawan — sering melihat perubahan kecil tapi
bermakna di lapangan. Misalnya, ketika seorang staf muda di BPSDM Jabar yang
tadinya pasif saat pelatihan, tiba-tiba semangat menyusun IDP-nya. Ia bilang,
“Pak, sekarang saya tahu kenapa saya harus ikut pelatihan ini. Ternyata ini
masuk ke target SKP saya juga.”
Itu kalimat sederhana, tapi maknanya dalam: kesadaran belajar mulai tumbuh.
Dan menariknya, dialog kinerja yang menjadi
inti IDP kini membuka ruang komunikasi yang lebih sehat antara ASN dan atasan.
Kalau dulu atasan sering hanya memberi perintah, kini mereka duduk bareng untuk
bicara tentang arah karier, kebutuhan belajar, dan strategi peningkatan
kompetensi. Dialog ini bukan formalitas, tapi proses coaching ringan. Kadang
sambil ngopi, kadang sambil diskusi di sela apel pagi.
Misalnya, di salah satu UPT di bawah BPSDM Jabar, saya
pernah melihat seorang kepala UPT yang memfasilitasi penyusunan IDP bersama
stafnya. Mereka buka laptop, bahas hasil asesmen kompetensi, dan mencari
pelatihan yang relevan. “Kalau kita mau dorong pelayanan publik berbasis
digital, berarti yang gap digitalnya tinggi harus kita dorong duluan,” katanya.
Itu contoh nyata: Keplan 605 berjalan bukan karena surat edaran, tapi karena mindset
berubah.
Dalam Keplan 605, ada lima sumber informasi utama yang jadi dasar penyusunan IDP:
(1)
Arah kompetensi instansi,
(2) Indikator kinerja unit,
(3) Informasi kinerja individu,
(4) Informasi kompetensi jabatan, dan
(5) Rencana karier individu.
Kelima
unsur ini saling terhubung. Tidak bisa hanya mengandalkan minat pribadi ASN
(“saya ingin ikut pelatihan manajemen konflik karena keren”), tapi harus
dikaitkan dengan gap kompetensi dan arah organisasi.
Bahasa sederhananya: belajar itu bukan karena “pengen”, tapi karena
“dibutuhkan”.
Dan
hebatnya lagi, Keplan ini memaksa organisasi untuk bergerak sinergis.
Karena setelah ASN dan atasan menyepakati IDP, hasilnya diverifikasi oleh CLO
(Coordinator Learning Officer) dan Kelompok Keahlian.
Tujuannya sederhana tapi strategis: menghindari pemborosan pelatihan dan
mendorong kolaborasi lintas unit.
Kalau di Dinas A dan B ternyata butuh pelatihan komunikasi publik, buat apa
bikin dua kegiatan berbeda? Gabungkan, kolaborasikan, dan hasilnya lebih
efisien.
Dengan
kata lain, Keplan 605 memperkenalkan konsep baru: learning ecosystem di
instansi pemerintah.
Belajar bukan lagi tanggung jawab satu bidang kepegawaian, tapi seluruh
organisasi.
BPSDM Jawa Barat menangkap semangat ini dengan cepat.
Mereka mulai membangun ekosistem pembelajaran ASN Juara yang
menggabungkan metode formal, sosial, dan experiential. Jadi, ASN tidak hanya
belajar di ruang kelas, tapi juga lewat coaching, magang, rotasi kerja, dan
komunitas belajar.
Kita
sering bilang, ASN Jawa Barat itu hebat-hebat — tapi sekarang waktunya
pembelajaran mereka juga harus “hebat”.
Tidak cukup hanya belajar teori; harus ada ruang untuk belajar dari
pengalaman, karena kadang yang paling mahal bukan pelatihannya, tapi
kesalahan yang pernah dilakukan dan direnungi.
Saya
teringat obrolan ringan dengan seorang pejabat eselon III di lingkungan Pemprov
Jabar.
Ia bilang, “Pak Budy, sekarang kalau mau naik jabatan bukan cuma soal nilai
SKP. Tapi juga portofolio pembelajaran yang kita punya.”
Saya tertawa kecil, sambil menjawab, “Betul, Pak. Sekarang ASN bukan hanya
dinilai dari apa yang ia kerjakan, tapi juga dari apa yang ia pelajari.”
Dan itu, Kang, adalah roh dari Keplan 605 ini:
menjadikan ASN sebagai pembelajar sepanjang hayat — bukan karena
diwajibkan, tapi karena menyadari bahwa masa depan birokrasi hanya bisa dijaga
oleh orang-orang yang terus mau belajar.
Bandung; Sabtu , 25 Oktober 2025
Selanjutnya
di Bagian 2, kita akan masuk ke pembahasan lebih dalam tentang filosofi
IDP di lapangan, bagaimana perubahan ini terjadi dalam praktik di
lingkungan Jawa Barat, dan bagaimana BPSDM mengubah pola pelatihan menjadi
pengalaman belajar yang bertransformasi.
.png)

Pesan tentang perubahan mindset ASN dari sekadar ikut pelatihan menjadi pembelajar aktif terasa kuat. IDP dalam Keplan 605/2025 bukan hanya dokumen, tapi alat untuk menumbuhkan kesadaran belajar dan dialog kinerja yang sehat antara ASN dan atasan. Contoh nyata di lapangan juga membuat gagasan ini lebih hidup. Intinya, kebijakan ini bukan sekadar aturan, tapi langkah nyata menuju birokrasi yang adaptif, kolaboratif, dan terus belajar sepanjang hayat.
BalasHapusSangat menarik sekali ketika disampaikan bahwa roh dari Keplan no. 605 menjadikan ASN Pembelajaran sepanjang hayat, sangat sejalan dengan prinsip pendidikan yang mana setiap individu harus tetap belajar dengan siapapun, dimanapun, dan kapanpun selalu mengembangkan pengetahuan dan juga kompetensinya hingga akhir hayat
BalasHapus