Bagian 2 – Dari Pelatihan ke Pembelajaran Bermakna: Filosofi IDP di Lapangan

 Bagian 2 – Dari Pelatihan ke Pembelajaran Bermakna: Filosofi IDP di Lapangan

 

Salah satu hal paling menarik dari Keputusan LAN 605/2025 adalah keberaniannya untuk mendobrak tradisi lama.  Selama bertahun-tahun, pengembangan kompetensi ASN sering kali identik dengan pelatihan klasikal — datang ke aula, duduk manis, mendengarkan widyaiswara, lalu pulang dengan sertifikat.
Tapi kini, paradigma itu pelan-pelan ditinggalkan.
Pelatihan bukan lagi tujuan, tapi alat untuk mencapai perubahan perilaku dan peningkatan kinerja.

Filosofi baru ini sederhana tapi revolusioner:
ASN harus belajar bukan untuk menambah pengetahuan, tapi untuk mengubah cara kerja.  Dan perubahan itu dimulai dari kesadaran personal, dirancang lewat IDP, dan dijalankan secara berkelanjutan.

Di lapangan, konsep ini menghadapi banyak tantangan. Tidak semua ASN siap meninggalkan zona nyaman.
Beberapa masih bertanya, “Apa bedanya sih IDP dengan SKP?”
Tapi begitu mereka ikut dialog kinerja dengan atasannya dan menyadari bahwa IDP itu justru memperkuat SKP, mereka mulai mengangguk-angguk paham.
Satu kepala bidang di BPSDM Jabar bahkan pernah bilang, “Kalau dulu SKP adalah target kerja, maka IDP adalah peta jalan menuju kemampuan mencapainya.”
Analogi yang pas — karena tanpa peta, kerja ASN mudah tersesat.

 

Saya pernah mendampingi penyusunan IDP di salah satu dinas teknis di Jawa Barat.
Prosesnya tidak mulus, tapi penuh dinamika yang menarik.
ASN muda di sana sempat bingung mengidentifikasi kompetensi yang perlu dikembangkan.
“Pak, saya sudah pernah ikut diklat komunikasi publik, berarti saya tidak perlu lagi kan?”
Saya tersenyum sambil menjawab, “Pelatihanmu mungkin sudah selesai, tapi kemampuanmu belum tentu selesai berkembang.”
Itulah esensi lifelong learning — belajar itu tidak punya titik akhir.

Pelan-pelan, ASN di dinas itu mulai paham bahwa IDP bukan sekadar daftar pelatihan yang ingin diikuti, tapi strategi belajar sepanjang tahun yang relevan dengan pekerjaannya.

Ada yang menulis dalam IDP-nya: “Meningkatkan kemampuan analisis kebijakan melalui coaching mingguan dengan atasan.”
Ada juga yang menulis: “Meningkatkan kemampuan fasilitasi melalui tugas pendampingan pelatihan di luar bidang.”
Dan semua itu sah! Karena Keplan 605 memberi ruang untuk berbagai metode pembelajaran — formal, sosial, dan experiential.

Nah, di sinilah muncul perbedaan besar antara pelatihan dan pembelajaran bermakna.
Pelatihan adalah kegiatan; pembelajaran adalah proses.
Pelatihan punya tanggal mulai dan selesai; pembelajaran tidak pernah benar-benar usai.
Pelatihan menambah ilmu; pembelajaran menambah hikmah.

 

BPSDM Jawa Barat mulai membaca arah ini dengan jeli.

Mereka mulai menata ulang seluruh sistem pembelajarannya agar sejalan dengan semangat IDP.
Pelatihan tidak lagi disusun berdasarkan “menu tetap” dari tahun ke tahun, tapi berdasarkan hasil pemetaan kebutuhan dari IDP pegawai di seluruh OPD.
Jadi, kalau tahun ini banyak ASN yang butuh peningkatan literasi digital, maka program prioritasnya digeser ke sana.
Kalau kebutuhan dominannya di kepemimpinan adaptif, maka dirancanglah Leadership Learning Path.

Itu bukan sekadar administrasi, tapi wujud nyata dari pemerintahan yang belajar (learning government).

Contoh menarik datang dari Program ASN Digital Academy yang dijalankan BPSDM Jabar tahun 2025.
Program ini bukan sekadar kursus komputer.
Pesertanya belajar membuat konten edukatif, mengelola data berbasis open source, dan memanfaatkan kecerdasan buatan untuk pelayanan publik.
Salah satu peserta dari Dinas Perhubungan bahkan berhasil membuat dashboard real-time untuk memantau arus kendaraan di kawasan wisata Lembang.
Ketika ditanya, ia menjawab dengan bangga,

“Semua ini berawal dari IDP saya, Pak. Waktu dialog kinerja, saya bilang ke atasan kalau ingin belajar data analytics. Sekarang sudah bermanfaat untuk kantor.”

 

Lihat? IDP yang disusun dengan serius bisa berbuah inovasi nyata.
Inilah yang dimaksud dengan pengembangan kompetensi yang berdampak langsung — bukan sekadar menambah sertifikat, tapi menghasilkan value untuk publik.

Dalam konteks Jawa Barat, hal ini sejalan dengan Corfu Jabar — nilai-nilai kerja ASN Juara:
Collaboration, Outcome-oriented, Responsive, Fun, dan Unique.
Kalau dilihat baik-baik, lima nilai ini sebenarnya selaras dengan semangat IDP.

a)     Collaboration: IDP menuntut ASN berkolaborasi dengan atasan dan rekan kerja.

b)     Outcome-oriented: Tujuannya bukan pelatihan, tapi hasil nyata di kinerja.

c)     Responsive: ASN harus adaptif terhadap perubahan kebutuhan kompetensi.

d)     Fun: Belajar tak harus kaku; bisa lewat coaching, komunitas, bahkan learning squad.

e)     Unique: Setiap ASN punya jalur belajar yang khas, sesuai bakat dan jabatan.

Di sinilah terlihat bahwa pengembangan ASN bukan urusan administratif, tapi budaya organisasi. Dan budaya tidak bisa dibangun dalam semalam; ia tumbuh melalui teladan, pembiasaan, dan sistem yang mendukung.

BPSDM Jabar memahami bahwa mereka bukan sekadar lembaga pelatihan, tapi motor penggerak budaya belajar ASN Jawa Barat.
Itulah sebabnya muncul berbagai inisiatif kreatif, seperti Learning Festival ASN Juara, Kelas Corfu ASN, hingga Jabar Learning Space — ruang pembelajaran digital yang memfasilitasi ASN belajar di mana saja, kapan saja.

Saya sendiri pernah mengisi salah satu sesi Learning Festival itu.
Suasananya jauh dari kaku — ASN belajar sambil tertawa, berdiskusi santai, bahkan bermain kuis tentang nilai-nilai pelayanan publik.
Tapi jangan salah, justru di suasana seperti itulah pembelajaran paling efektif terjadi.
Karena otak manusia lebih mudah menyerap ilmu saat suasana hatinya bahagia.

Dalam teori pembelajaran orang dewasa, itu disebut andragogi: belajar karena kebutuhan, bukan paksaan. Dan semangat andragogi inilah yang menjadi pondasi IDP.
ASN belajar bukan karena diperintah, tapi karena sadar bahwa kompetensi adalah tiket masa depan.

Sekarang bayangkan jika seluruh ASN Jawa Barat memiliki semangat seperti itu — ribuan rencana belajar yang hidup, mengalir, dan terus diperbarui setiap triwulan.
BPSDM tinggal memetakan pola-pola umumnya, lalu mendesain program makro yang relevan. Begitulah ekosistem pembelajaran bekerja: dari individu ke organisasi, lalu kembali lagi ke individu.

Namun, tentu tidak semua berjalan mulus. Ada juga cerita lucu tapi nyata di lapangan.
Dalam satu sesi penyusunan IDP, seorang ASN senior bercanda,

“Pak Budy, saya sudah 25 tahun ASN, apa masih perlu IDP?”
Saya jawab dengan santai,
“Justru Bapak yang paling butuh. Karena pengalaman tanpa pembaruan itu seperti peta lama yang tidak lagi sesuai dengan jalan baru.”
Semua tertawa, tapi pesan itu menancap.

BPSDM harus mulai menyiapkan coaching clinic IDP di setiap OPD.
Tujuannya bukan sekadar membantu menyusun dokumen, tapi menumbuhkan budaya refleksi diri. Karena hanya ASN yang reflektif yang bisa menjadi ASN adaptif.


Sabtu, 25 Oktober 2025

Di Bagian 3, kita akan bahas lebih jauh tentang peran BPSDM Jawa Barat sebagai orkestrator kompetensi ASN — bagaimana lembaga ini bergerak dari “penyelenggara pelatihan” menjadi “penggerak perubahan budaya belajar,” lengkap dengan studi kasus program andalan dan inovasinya.

 

Komentar