Hari Ayah 12 November 2025: Jejak, Tugas, dan Napas Seorang Bapak

Hari Ayah 12 November 2025: Jejak, Tugas, dan Napas Seorang Bapak


Hari Ayah, yang diperingati setiap 12 November di Indonesia, selalu datang tanpa suara fanfare berlebihan. Tidak ada kembang api, tidak ada gegap-gempita belanja daring, dan tidak ada drama rebutan diskon. Justru di situlah kekuatannya. Hari Ayah hadir sederhana—mirip banyak ayah Indonesia yang bekerja diam-diam, memikul harapan keluarga sambil tetap berusaha terlihat santai. Bagi saya, momentum ini seperti kaca spion: kecil, tapi wajib dilihat kalau mau perjalanan hidup tetap aman.

Makna Hari Ayah 12 November bagi saya bukan sekadar ucapan “Selamat Hari Ayah” yang ditulis dengan huruf tebal di grup keluarga. Lebih dalam dari itu, hari ini mengingatkan bahwa menjadi ayah bukan tentang seberapa keras nada suara ketika menasihati anak, tetapi seberapa konsisten kita hadir, setia pada nilai, dan tidak kabur ketika situasi sedang ruwet. Ayah bukan gelar biologis; ia gelar moral. Dan moral, seperti kita tahu, tidak bisa dipalsukan.

Tujuan adanya Hari Ayah sebenarnya sederhana: memberi ruang untuk mengakui bahwa peran ayah itu penting, meski sering tersingkir dalam narasi keseharian. Hari Ibu biasanya penuh bunga, foto-foto cantik, dan pujian panjang. Hari Ayah? Kadang hanya dapat emotikon jempol. Namun justru melalui momen sederhana itu, kita diberi kesempatan untuk berhenti sejenak, merapikan napas, lalu bertanya pada diri sendiri: sudahkah saya menjalankan peran ini dengan pantas?

Bagi saya pribadi sebagai bapak, Hari Ayah adalah pengingat agar tidak hanya menjadi “pengantar nafkah”, tetapi juga “penanam arah”. Anak-anak melihat dunia dari bagaimana ayahnya mengambil keputusan, menghadapi masalah, dan memperlakukan orang lain. Mereka merekam gesture kecil: bagaimana kita menyapa tetangga, menahan emosi di jalanan ketika macet, atau tetap sopan ketika sedang lelah. Dengan kata lain, ayah itu bukan hanya penjaga rumah, tapi penjaga nilai.

Sebagai Widyaiswara di BPSDM Jawa Barat, maknanya sedikit menambah lapisan. Kalau di rumah saya mendidik dua anak, di ruang kelas saya berhadapan dengan puluhan hingga ratusan ASN. Setiap sesi pelatihan, ceramah, atau diskusi, saya bukan hanya menyampaikan materi; saya sedang memberi teladan. Mau tidak mau, sikap saya sebagai ayah merembes ke pekerjaan: kesabaran, struktur berpikir, ketegasan, humor spontan, kemampuan mendengar. ASN yang kita latih pun membutuhkan figur yang menunjukkan bahwa integritas itu mungkin, disiplin itu masuk akal, dan nilai-nilai bisa hidup, bukan hanya dibacakan.

Urgensinya? Sangat nyata. Dalam keluarga, ayah adalah jangkar. Dalam profesi Widyaiswara, ayah adalah kompas. Keduanya saling menguatkan. Jika di rumah saya gagal, pekerjaan ikut goyah. Jika di pekerjaan saya goyah, keluarga ikut terdampak. Hari Ayah mengingatkan saya untuk menjaga keseimbangan dua peran itu. Jangan sampai sibuk mendidik orang lain, tapi abai pada anak sendiri; atau sibuk menjadi bapak di rumah tapi lupa menjadi profesional yang berdampak di institusi.

Hari Ayah 12 November 2025 akhirnya menjadi ruang kecil untuk menepuk bahu sendiri: “Tetap jalan, Pak. Tidak sempurna juga tak apa, yang penting terus hadir.” Singkat, jujur, dan cukup memberi tenaga untuk melangkah lagi.

Komentar