Ketika Butuh Menjadi Akar dari Rasa Peduli

 

Ketika Butuh Menjadi Akar dari Rasa Peduli


Manusia selalu disebut sebagai makhluk sosial. Namun, bila kita mau jujur, banyak interaksi manusia yang tidak sepenuhnya digerakkan oleh kasih atau empati tulus. Sering kali, kepedulian muncul karena ada kebutuhan. Saat seseorang merasa membutuhkan orang lain, ia akan lebih ramah, sabar, dan perhatian. Tapi ketika rasa butuh itu hilang, kepedulian pun ikut surut. Fenomena sederhana ini sesungguhnya menggambarkan bagaimana teori kebutuhan bekerja dalam kehidupan sosial kita sehari-hari.

Di kantor, hal itu tampak jelas. Seorang pegawai yang sedang membutuhkan tanda tangan atasannya datang dengan wajah cerah dan senyum menawan. Ia berbicara lembut, bahkan rela menunggu lama demi urusan yang lancar. Tapi setelah dokumennya selesai, sapaan itu perlahan menghilang. Besoknya lewat depan ruangan atasan saja kadang lupa menyapa. Bukannya berubah buruk, tapi rasa “butuh” yang dulu memunculkan keramahan itu sudah tak ada lagi. Di sisi lain, atasan pun kadang bersikap serupa. Ia perhatian dan membimbing bawahannya selama masih dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek. Begitu pekerjaan tuntas, perhatian itu perlahan memudar.

Dalam masyarakat pun kita bisa melihat pola yang sama. Saat seseorang butuh bantuan tetangganya memperbaiki atap bocor, ia datang dengan sopan dan membawa senyum. Tapi setelah genteng beres, komunikasi pun berhenti. Kebutuhan sudah terpenuhi, hubungan sosial pun meredup. Fenomena ini seolah menegaskan bahwa manusia cenderung peduli selama masih ada keterhubungan kebutuhan. Meski terkesan pragmatis, hal ini sebenarnya alami. Kebutuhan adalah penggerak dasar perilaku sosial manusia.


Abraham Maslow
dalam teorinya menjelaskan bahwa manusia memiliki jenjang kebutuhan: mulai dari kebutuhan fisik, rasa aman, sosial, penghargaan, hingga aktualisasi diri. Dalam konteks sosial, kebutuhan yang sering kali mendorong kita untuk peduli adalah kebutuhan untuk diterima dan dihargai. Ketika seseorang ingin menjadi bagian dari kelompok, ia akan menunjukkan kepedulian. Ia membantu rekan kerja, mendengarkan cerita teman, atau ikut bergotong royong di masyarakat. Tapi bila ia merasa sudah tak lagi dibutuhkan, sikap pedulinya bisa menghilang. Di titik ini, kebutuhan dan kepedulian berjalan seiring.

Fenomena serupa juga terlihat di ranah politik dan kehidupan publik. Saat menjelang pemilihan, banyak calon pemimpin mendadak tampil peduli. Mereka rajin menyapa warga, ikut kerja bakti, dan seolah menjadi bagian dari masyarakat. Namun setelah pemilihan usai, keramahan itu sering menguap. Kepedulian yang semula hangat ternyata hanyalah produk kebutuhan untuk memperoleh dukungan. Dalam keluarga pun demikian. Anak yang sedang butuh uang jajan tiba-tiba manis, rajin membantu pekerjaan rumah, dan suka memeluk orang tuanya. Tapi setelah kebutuhan terpenuhi, semua kembali seperti biasa. Orang tua tahu, tapi tetap tersenyum—karena memahami bahwa begitulah cara manusia belajar berhubungan.

Namun, rasa butuh tidak selalu harus dipandang negatif. Justru rasa butuh itulah yang membuat manusia saling terhubung. Tanpa rasa butuh, hidup akan terasa kering dan penuh jarak. Rasa butuh menumbuhkan interaksi, interaksi menumbuhkan keakraban, dan keakraban menumbuhkan empati. Pegawai yang merasa dipercaya atasannya akan lebih loyal karena merasa dibutuhkan. Rekan kerja yang dimintai pendapat akan lebih peduli karena merasa pandangannya dihargai. Bahkan seseorang yang sedang sakit akan lebih bersemangat sembuh bila tahu masih dibutuhkan oleh keluarganya.


Sebaliknya, ketika seseorang merasa tidak dibutuhkan, ia akan kehilangan semangat dan rasa peduli. Ia merasa tak punya peran, tak punya makna, dan akhirnya tak punya kepedulian. Di situlah muncul sikap acuh tak acuh. Maka, jika kita ingin membangun lingkungan kerja yang sehat, rasa “dibutuhkan” harus dijaga. Pemimpin perlu menumbuhkan rasa memiliki pada bawahannya, dan bawahan perlu menunjukkan bahwa keberadaannya membawa nilai bagi tim. Di sinilah teori kebutuhan menemukan relevansinya bagi ASN: bahwa kepedulian bukan sekadar sifat pribadi, melainkan fungsi dari rasa saling membutuhkan di antara sesama aparatur negara.

Pada akhirnya, kita semua hidup dalam lingkaran ketergantungan yang wajar. Tidak ada yang benar-benar mandiri. Setiap keberhasilan adalah hasil kerja banyak tangan. Rasa butuh membuat kita belajar rendah hati, dan kepedulian menjadikan kita manusia seutuhnya. Jadi, jangan malu merasa butuh—karena justru dari sanalah tumbuh rasa peduli yang sejati.

Lalu bagaimana sikap kita terhadap orang yang baik ketika butuh dan acuh setelah ditolong? Pertama, jangan langsung kecewa atau menilai buruk. Banyak orang bersikap seperti itu bukan karena tidak tahu diri, tetapi karena belum dewasa secara emosional. Mereka hanya berperilaku sesuai kebutuhan saat itu. Kedua, jadikan pengalaman itu sebagai latihan ikhlas. Menolong bukan untuk diingat, tapi untuk meneguhkan nilai kemanusiaan dalam diri kita. Ketiga, tetaplah bersikap baik tanpa menghitung balasan. Karena kebaikan sejati tidak bergantung pada rasa butuh orang lain, melainkan pada kesadaran bahwa hidup ini selalu memberi ruang untuk saling menolong. Dengan cara itulah, kita bisa tetap waras, tetap hangat, dan tetap manusiawi di tengah dunia yang sering pelit rasa peduli.

 

 


Komentar