TURING PRIANGAN: BANDUNG – SINGAPARNA BARENG SAUDARA SEJALAN

 TURING PRIANGAN: BANDUNG – SINGAPARNA BARENG SAUDARA SEJALAN

(Catatan ringan dari Budy Hermawan)

 

Pagi Sabtu #2 Oktober 2025 itu udara Bandung terasa sejuk, tapi semangat sudah membara.

Jam menunjukkan pukul 07.30 ketika deru mesin mulai hidup di kawasan Pasar Gede Bage.
Formasi motor berjejer rapi: Pa Ustad  Mumuh di depan, Pa Adang di tengah, Pa Tarli di belakang, Pa Ade Kasih di sisi kanan, dan saya, Budy Hermawan, sebagai pengarah jalur sekaligus pencatat kisah.
Rencana kami sederhana tapi penuh makna: turing menuju Singaparna, Tasikmalaya, untuk bersilaturahmi ke rumah Haji Sahenan — staf saya dulu saat masih di Bidang Diklat BPSDM Jawa Barat.
Angin pagi terasa segar saat kami melintasi Cileunyi, jalur yang mulai ramai dengan aktivitas warga. Motor berderu pelan, konvoi berjalan tertib dengan ritme santai khas rider berumur tapi berjiwa  muda.Pa Adang sempat berseru lewat interkom, “Sing tenang, urang lain balapan MotoGP!” membuat semua tertawa.Di Rancaekek, kami sempat menyalip truk sayur dan beberapa sepeda motor bebek, tapi suasana tetap santai.
Aroma kopi pagi di pinggir jalan membuat perut mulai gelisah.
Kami pun memutuskan berhenti di rumah makan Hj. Imas di jalur Garut untuk ngopi santai.


Kopi hitam tubruk, pisang goreng, dan tawa jadi kombinasi sempurna sebelum lanjut mendaki tanjakan Kadungora.  Pa Ustad  Mumuh yang paling sigap langsung memimpin lagi dengan gaya cool rider.Di belakangnya, Pa Tarli tampak sibuk merekam video pakai kamera kecil di helmnya.
Saya sempat melambaikan tangan pada warga yang tersenyum di pinggir jalan — suasana khas turing di tanah Sunda.Setelah melewati Leles dan Tarogong, jalan mulai padat di Garut kota.
Kami sabar melaju di tengah kendaraan lain yang menumpuk di simpang Asia Plaza.
Begitu keluar dari pusat kota, udara kembali segar.
Gunung tampak gagah di kejauhan, sawah membentang hijau di kanan-kiri jalan.
Memasuki kawasan Salawu, aspal mulai berkelok dan menantang.
Motor terasa ringan menari di tikungan panjang menuju Singaparna.
Sekitar pukul 11.30 kami akhirnya tiba di rumah Haji Sahenan.
Senyumnya lebar menyambut kami di halaman rumah dengan sapaan hangat khas Priangan.
“Waduh, teu robah, masih keneh gagah wae, Pa Budy!” katanya sambil menyalami satu per satu.

Kami dipersilakan duduk di teras luas, dan aroma ikan bakar sudah lebih dulu menggoda.
Menu makan siang yang tersaji luar biasa menggugah.
Ada nila bakar yang dagingnya lembut dan gurih.
Ada peteuy muda, sambal terasi pedas, dan lalapan segar yang menambah selera.
Tak ketinggalan petai dan jengkol, duo maut yang jadi simbol keakraban sejati.

Baby fish goreng jadi pelengkap yang renyah dan bikin nambah nasi tanpa sadar.
Suasana makan siang penuh canda dan nostalgia.
Haji Sahenan bercerita tentang masa-masa saat masih jadi staf di Bidang Diklat.
Saya tersenyum mengingat bagaimana dulu ia selalu siap membantu tanpa banyak bicara.
Sekarang, ia tampak bahagia, rumahnya asri, dan senyum keluarganya tulus.
Setelah makan, kami istirahat sejenak sambil ngopi lagi.
Pa Ade Kasih mengeluarkan camilan kecil dari tasnya, katanya bekal darurat kalau lapar di jalan.
Pa Mumuh memeriksa tekanan ban, Pa Tarli sibuk berfoto di depan rumah, sementara Pa Adang bercanda soal rencana turing berikutnya.

Jam menunjukkan pukul 14.30 ketika kami berpamitan.
Haji Sahenan melambaikan tangan sambil berpesan, “Sing salamet di jalan, sing lancar!”
Mesin kembali menyala, dan kami bergerak perlahan meninggalkan Singaparna yang tenang.
Jalur pulang kami tempuh dengan rute yang sama.
Matahari mulai condong ke barat, cahayanya menembus pepohonan di jalan Salawu.
Di beberapa tanjakan, kami melambat, menikmati pemandangan pegunungan yang menyejukkan.
Di sekitar Garut kota, lalu lintas mulai padat lagi.
Kami menepi sebentar di dekat jembatan untuk istirahat sejenak.
Tak lama, perjalanan berlanjut menuju arah Nagreg.
Menjelang sore, rasa kantuk dan lelah mulai terasa.
Untungnya, ada warung kopi pinggir jalan di jalur Nagreg yang seolah menunggu kami.
Kami pun mampir untuk ngopi sore sambil melepas jaket dan melemas kaki.
Kopi tubruk panas dan pisang goreng kembali jadi penyelamat suasana.
Tawa kami pecah saat Pa Tarli bilang, “Turing itu obat stres paling manjur, asal jangan kebanyakan peteuy.”


Langit mulai mulai turun hujan dengan deras, dan suasana sore terasa ramai.
Kami ngobrol ringan soal motor, pekerjaan, dan rencana kecil untuk touring berikutnya.
Sekitar pukul 17.15 kami kembali menyalakan mesin dan melaju menembus hujan yg lebat.
Lalu lintas di Cicalengka dan rancaekek sangat padat, tapi kami tetap beriringan dengan tertib.
Pa Mumuh tetap memimpin barisan, memastikan semua aman.
Di Rancaekek, kami sempat berhenti sebentar karena lampu lalu lintas yang padat.
Setelah itu, perjalanan terasa cepat karena mata sudah rindu rumah.
Melewati Cileunyi, jalan mulai familiar, udara Bandung menyambut lagi dengan aroma sore yang khas.
Kami tiba di kawasan Gede Bage sekitar pukul 17.25 WIB dengan hujan yg masih lebat.
Lampu jalan mulai menyala, dan perasaan puas mengisi dada.
Motor berhenti satu per satu, dan kami saling menyalami.
Tak ada rasa lelah yang tersisa, hanya kebahagiaan sederhana karena turing sukses dan lancar.
Pa Ustad  Mumuh berucap, “Singaparna mah teu jauh, tapi perjalananana ngeunah pisan.”
Kami semua tertawa sepakat.
Turing kali ini bukan cuma tentang jarak, tapi tentang kebersamaan dan kenangan.
Tentang rasa hormat kepada sahabat lama dan kekompakan yang tak lekang waktu.
Kami berpisah di simpang Arcamanik dengan ucapan, “Sampai turing berikutnya!”
Langit sudah gelap, tapi hati terasa terang.
Perjalanan Bandung–Singaparna hari itu menjadi catatan indah di jalan kehidupan.
Bukan perjalanan biasa, melainkan pengingat bahwa persahabatan sejati tetap hidup di antara deru mesin dan tawa yang tak pernah habis.

Komentar