Pengertian Kontrak Pengadaan Barang/Jasa secara eksplisit dijelaskan
dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 (Perpres 54/2010) tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pasal 1 angka 22 Perpres 54/2010
menyebutkan pengertian Kontrak Pengadaan Barang/Jasa sebagai perjanjian
tertulis antara Pejabat Pembuat Komiten (PPK) dengan Penyedia
Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola.
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) perjanjian atau overencoomst
diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Dari pengertian
tersebut, setidaknya ada dua hal yang terkandung dalam suatu perjanjian,
yaitu adanya perbuatan dan adanya kesepakatan para pihak untuk
mengikatkan diri.
Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yaitu perbuatan yang
mempunyai akibat hukum. Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan
perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh
seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Prestasi tersebut
meliputi perbuatan memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). Kelalaian dalam pelaksanaan prestasi tersebut dinamakan wanprestasi atau cidera janji.
Sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal
1320 KUH Perdata. Suatu perjanjian dianggap sah jika memenuhi empat
persyaratan, yaitu: 1). adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
2). adanya kecakapan untuk membuat perjanjian; 3) adanya suatu hal
tertentu; dan 4). adanya suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan
kedua menyangkut subyek, sehingga disebut sebagai Syarat Subyektif,
sedangkan syarat ketiga dan keempat menyangkut obyek maka disebut
sebagai Syarat Obyektif. Jika persyaratan subyektif tidak terpenuhi maka
konsekuensi hukumnya adalah perjanjian dapat dibatalkan (voidable), sedangkan jika syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum (void/nietig).
KUH Perdata juga mengatur tentang asas-asas perjanjian. Setidaknya ada lima asas yang harus diperhatikan dalam membuat suatu perjanjian, yaitu: 1). Asas kebebasan berKontrak (freedom of contract); 2). Asas konsensualisme (concsensualism); 3). Asas kepastian hukum (pacta sunt servanda); 4). Asas itikad baik (good faith); dan 5). Asas kepribadian (personality).
Asas kebebasan berKontrak (freedom of contract); Setiap
orang dapat secara bebas membuat suatu perjanjian selama perjanjian
tersebut memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum,
kesusilaan, serta ketertiban umum.
Asas kepastian hukum (pacta sunt serrvanda);
Suatu perjanjian yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku
sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu,
sepatutnya para pihak wajib mematuhi segala ketentuan yang telah
disepakati.
Asas konsensualisme (concensualism); konsensualisme berarti adanya kesepakatan (consensus)
diantara para pihak. Pada dasarnya kesepakatan sudah lahir sejak detik
pertama tercapainya kata sepakat. Dalam Kontrak pengadaan barang/jasa,
kesepakatan telah tercapai pada saat Kontrak ditanda tangani oleh para
pihak.
Asas itikad baik (good faith); Itikad baik berarti keadaan
batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur,
terbuka, dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh
dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau
menutup-nutupi keadaan sebenarnya.
Asas kepribadian (personality); isi perjanjian hanya
mengikat para pihak secara personal dan tidak mengikat pihak-pihak lain
yang tidak memberikan kesepakatannya dalam Kontrak. Perjanjian yang
dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Dalam
Kontrak pengadaan barang/jasa, PPK sebagai pihak pertama bertindak untuk
dan atas nama Negara, sedangkan Penyedia merupakan pihak kedua yang
berindak untuk dan atas nama suatu korporasi atau untuk dirinya sendiri.
Beberapa permasalahan yang umumnya terjadi terkait Kontrak pengadaan
barang/jasa, antara lain keterlambatan penyelesaian pekerjaan dan
pembayaran yang tidak sesuai dengan prestasi pekerjaan. Sebenarnya masih
banyak permasalahan yang lain, namun dalam tulisan kali ini Penulis
membatasi pada dua hal tersebut.
Keterlambatan penyelesaian pekerjaan harus disikapi secara arif oleh
masing-masing pihak yang terikat dalam Kontrak. Menjadi tidak fair
(menurut saya) tatkala Penyedia/Kontraktor harus selalu disalahkan
akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Keterlambatan tidak perlu
terjadi jika PPK benar-benar melaksanakan tugasnya sebagai pelaksana dan
pengendali Kontrak (Pasal 11 ayat (1) Perpres 54/2010).
PPK dan semua tim pendukungnya (terutama Konsultan Pengawas
Konstruksi) seharusnya mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan pekerjaan
sejak awal. Jika hal ini benar-benar dilakukan, indikasi keterlambatan
dapat diketahui dan ditangani lebih cepat. Dalam praktiknya, seringkali
justeru PPK-lah yang lalai dalam melakukan tugas pengendalian Kontrak.
Pada akhirnya, Penyedia harus menanggung denda keterlambatan, tindakan
pemutusan Kontrak secara sepihak, bahkan pengenaan sanksi pencantuman
dalam daftar hitam (blacklist).
Singkatnya waktu pelaksanaan juga menjadi alasan yang wajar suatu
pekerjaan tidak selesai (terutama pekerjaan konstruksi). Jika secara
teknis suatu pekerjaan tidak memungkinkan untuk dilaksanakan karena
alasan waktu yang tidak cukup, sebaiknya jangan dipaksakan. Kondisi
seperti ini umumnya dialami jika pengadaan barang/jasa dilaksanakan
menjelang atau bahkan pada triwulan keempat tahun anggaran berkenaan.
Permasalahan berikutnya adalah pembayaran yang tidak sesuai dengan
prestasi pekerjaan. Tindakan tersebut seringkali dilakukan pada saat
mendekati akhir tahun anggaran. Alasan klasiknya tidak lain adalah untuk
“menyelamatkan” anggaran, sehingga walaupun pekerjaan belum
selesai atau bahkan belum dilaksanakan sama sekali namun pembayarannya
sudah seratus persen. Akibatnya, tidak sedikit yang harus berurusan
dengan aparat berwenang karena diduga melakukan tindakan merugikan
keuangan Negara.
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara secara tegas menyatakan bahwa pembayaran atas
beban APBN/APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa
diterima. Selain itu, dalam Perpres 54/2010 juga diatur tentang cara
pembayaran harus dilakukan sesuai dengan prestasi pekerjaan.
Berbagai regulasi dan sistem yang mengatur tentang Pengadaan
Barang/Jasa maupun Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah sebenarnya sudah
lebih dari cukup untuk dijadikan pedoman pelaksanaan. Namun, sebaik
apapun regulasi dan sistem yang sudah dibuat semuanya tergantung kepada
individu yang menjalankannya.
Harus diingat bahwa dana yang bersumber dari APBN maupun APBD adalah
uang rakyat. Oleh karena itu, sejatinya setiap rupiah yang mengalir
keluar dari Kas Negara/Daerah harus dapat dipertanggungjawabkan serta
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Wallahualam Bissawab……
Penulis: Sahabat ku ; Rahfan Mokoginta (Praktisi Dan Trainer PBJ )
Komentar
Posting Komentar