Paket Undang-undang Keuangan Negara
Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara yang diawali dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan dilanjutkan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan mengharuskan penyesuaian tata kelola pemerintahan, termasuk pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) yang sebelumnya menggunakan acuan indische Comptabiliteitstwet (ICW). Dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, tugas melaksanakan APBN dibebankan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang pada kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Sedangkan tugas melaksanakan APBD dibebankan kepada Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku Pengguna Anggaran/Barang daerah pada SKPD yang dipimpinnya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) memiliki beberapa kewenangan, dua diantaranya adalah : 1) kewenangan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja (pasal 4 ayat (2) huruf e dan pasal 6 ayat (2) huruf b). dan 2) kewenangan mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan (pasal 17 ayat (2)). Kuasa Pengguna Anggaran dimaksud adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga untuk APBN atau ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk APBD.
Tanggung jawab Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran sangatlah besar, karena berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD bertanggungjawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.
Pelaksanaan APBN
Menteri Keuangan, sebagai Bendahara Umum Negara, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam pasal 4 mengatur bahwa dalam melaksanakan kewenangan pengunaan anggaran di lingkungan Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan beberapa pejabat salah satunya adalah pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja (pasal 4 ayat (2) huruf c). Dalam Perturan Menteri Keuangan ini, belum disebutkan nama jabatan dari pejabat dimaksud, namun dapat kita pahami bahwa pejabat dimaksud adalah pejabat yang melaksanakan sebagian kewenangan PA/KPA yang kita bahas dalam bagian sebelumnya.
Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan tersebut di atas, Direktur Jenderal Perbendaharaan mengeluaran Peraturan Direktur Jenderal nomor PER-66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pasal 2 ayat (2) huruf a menyatakan Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mendelegasikan kewenangan kepada Kuasa PA untuk menunjuk pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja/penanggungjawab kegiatan/pembuat komitmen. Peraturan inilah yang menurut hasil penelusuran saya adalah pertama kalinya yang menggunakan frasa “pembuat komitmen”. Namun frasa tersebut sama sekali tidak didefinisikan dalam pasal yang mengatur pengertian umum (pasal 1).
Yang masih menjadi pertanyaan saya adalah apakah pelimpahan wewenang dimaksud termasuk juga kewenangan untuk mengadakan perjanjian dengan pihak lain? Dalam prakteknya, pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja (pembuat komitmen) sekaligus menggunakan kewenangan untuk melakukan ikatan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan APBD
Sebagai peraturan pelaksanaan dari paket Undang-undang Keuangan Negara, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 10 menulis ulang kewenangan Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Daerah yang ada dalam Undang-undang termasuk kewenangan melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja dan kewenangan melakukan ikatan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. Peraturan Pemerintah tersebut tidak mengatur bahwa kewenangan dimaksud dapat dilimpahkan kepada pejabat lain. Peraturan Pemerintah tersebut hanya mengatur bahwa dalam melaksanakan program dan kegiatan, PA/KPA dapat menunjuk Pejabat Pengelola Teknis Kegiatan (PPTK) dengan tugas salah satunya menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan. Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 12 ayat (6) dijelaskan bahwa dokumen administratif yang disiapkan oleh PPTK meliputi dokumen administratif kegiatan dan dokumen administratif yang terkait dengan persyaratan pembayaran.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri yang menjadi pedoman pengelolaan keuangan daerah (APBD), tidak digunakan terminologi pembuat komitmen maupun nama jabatan pejabat pembuat komitmen.
Perubahan Presiden Nomor 8 Tahun 2006
Terminologi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pertama kali muncul secara dalam Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Peraturan Presiden tersebut, dalam Pasal 1 nomor 1a, PPK didefinisikan sebagai Pejabat yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI)/Pemimin Badan Hukum Milik Negara (BHMN)/Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pemilik pekerjaan, yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Dalam penjelasannya, definisi PPK sebagai pemilik pekerjaan menggantikan istilah pengguna barang/jasa atau pejabat yang disamakan sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
Dalam pelaksanaan APBN, dengan munculnya terminologi PPK pada Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, maka pejabat yang dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 66 tahun 2005 pasal 2 ayat (2) huruf (a) adalah PPK sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden tersebut, meskipun nomor Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktorat Jenderal Perbendaharaan bisa berubah dari tahun ke tahun.
Namun dalam pelaksanaan APBD, terminologi PPK tidak bisa dinyatakan merujuk pada nama jabatan tertentu yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, sehingga tidak jelas siapa yang melaksanakan tugas dan fungsi PPK.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dalam pasal 1 angka 7 menyebutkan PPK adalah pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. Sebagai pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, salah satu tugas pokok dan kewenangan menandatangani kontrak (pasal 11 ayat (1) huruf c. Dengan kewenangan menandatangani kontrak, maka PPK pada dasarnya adalah melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk melakukan ikatan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. Agar dapat melaksanakan tugas tersebut, maka Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mengatur persyaratan untuk ditetapkan sebagai PPK salah satunya adalah memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa (pasal 12 ayat (2) huruf g).
Pengatuan tentang PPK dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mudah diterapkan dalam satuan kerja yang menggunakan dana APBN, karena struktur organisasi Satuan Kerja memungkinkan PA/KPA Anggaran untuk menunjuk pejabat lain yang memenuhi persyaratan beserta standar biaya masukan untuk pembayaran honorariumnya. Namun hal tersebut tidak bisa diterapkan dalam struktur organisasi SKPD dalam pelaksanaan APBD, karena tidak adanya nama/uraian jabatan dalam Struktur SKPD yang dapat ditunjuk untuk melaksanakan kewenangan PPK.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 memberikan penegasan kedudukan PPK dalam rangka pelaksanaan APBD, tanpa menjelaskan definisi PPK. Terdapat 2 pasal yang mengatur tentang PPK yaitu pasal 10A dan 11 ayat (5) yang menyatakan bahwa dalam pengadaan barang/jasa, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran bertindak sebagai PPK sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan perundang-undangan dimaksud adalah Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 yang salah satu pengaturannya adalah PPK wajib memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 mengalami hambatan di lapangan apabila Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran yang tidak memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa, krena Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut tidak memberikan kewenangan kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk menunjuk pegawai/pejabat lainnya yang memenuhi persyaratan menjadi PPK berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.
PPK Menurut Saya
Definisi, tugas pokok dan kewenangan PPK yang disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 pada dasarnya adalah mengambil kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang, yaitu : 1) melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja dan 2) melakukan ikatan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang ditetapkan. Dua kewenangan tersebut oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan diberikan kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
Kita perlu sedikit berandai-andai jika Presiden tidak mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, apa yang terjadi ? yang terjadi adalah Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran tetap memiliki 2 kewenangan tersebut di atas, yang pelaksanaanya (mungkin) tidak akuntabel karena tanpa panduan yang jelas dan rawan penyalahgunaan wewenang.
Karena kewenangan sudah diberikan oleh Undang-undang, maka seharusnya Peraturan Presiden tidak memberi persyaratan tambahan kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran jika ingin menggunakan kewenangannya. Peraturan Presiden cukup mengatur bagaimana cara Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran menggunakan kewenangan tersebut dalam bentuk tata kerja atau prosedur.
Dengan bangunan logika tersebut, maka perlu harmonisasi antara ketentuan pelaksanaan APBN, ketentuan pelaksanaan APBD dan ketentuan pelaksanaan pengadaan barang/jasa sehingga fungsi PPK dapat dilakukan oleh : 1) Pengguna Anggaran, atau 2) Kuasa Pengguna Anggaran atau 3) orang yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja dan melakukan ikatan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. Persyaratan untuk ditetapkan menjadi PPK hanya bisa diwajibkan kepada orang yang diberi kewenangan, bukan kepada PA/KPA nya sendiri. Dengan diberikannya peluang bagi PA/KPA untuk menunjuk orang lain, termasuk dalam pelaksanaan APBD, maka menurut saya PA/KPA dapat menunjuk PPTK yang memenuhi persyaratan sekaligus sebagai PPK karena yang bersangkutan secara tugas dan fungsinya telah bertanggungjawab dalam mengendalikan kegiatan dan menyiapkan dokumen anggaran.
Yang perlu selalu diingatkan adalah, siapapun yang melaksanakan fungsi sebagai PPK bertanggungjawab tas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran.
Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara yang diawali dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan dilanjutkan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan mengharuskan penyesuaian tata kelola pemerintahan, termasuk pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) yang sebelumnya menggunakan acuan indische Comptabiliteitstwet (ICW). Dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, tugas melaksanakan APBN dibebankan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang pada kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Sedangkan tugas melaksanakan APBD dibebankan kepada Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku Pengguna Anggaran/Barang daerah pada SKPD yang dipimpinnya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) memiliki beberapa kewenangan, dua diantaranya adalah : 1) kewenangan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja (pasal 4 ayat (2) huruf e dan pasal 6 ayat (2) huruf b). dan 2) kewenangan mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan (pasal 17 ayat (2)). Kuasa Pengguna Anggaran dimaksud adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga untuk APBN atau ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk APBD.
Tanggung jawab Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran sangatlah besar, karena berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD bertanggungjawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.
Pelaksanaan APBN
Menteri Keuangan, sebagai Bendahara Umum Negara, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam pasal 4 mengatur bahwa dalam melaksanakan kewenangan pengunaan anggaran di lingkungan Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan beberapa pejabat salah satunya adalah pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja (pasal 4 ayat (2) huruf c). Dalam Perturan Menteri Keuangan ini, belum disebutkan nama jabatan dari pejabat dimaksud, namun dapat kita pahami bahwa pejabat dimaksud adalah pejabat yang melaksanakan sebagian kewenangan PA/KPA yang kita bahas dalam bagian sebelumnya.
Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan tersebut di atas, Direktur Jenderal Perbendaharaan mengeluaran Peraturan Direktur Jenderal nomor PER-66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pasal 2 ayat (2) huruf a menyatakan Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mendelegasikan kewenangan kepada Kuasa PA untuk menunjuk pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja/penanggungjawab kegiatan/pembuat komitmen. Peraturan inilah yang menurut hasil penelusuran saya adalah pertama kalinya yang menggunakan frasa “pembuat komitmen”. Namun frasa tersebut sama sekali tidak didefinisikan dalam pasal yang mengatur pengertian umum (pasal 1).
Yang masih menjadi pertanyaan saya adalah apakah pelimpahan wewenang dimaksud termasuk juga kewenangan untuk mengadakan perjanjian dengan pihak lain? Dalam prakteknya, pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja (pembuat komitmen) sekaligus menggunakan kewenangan untuk melakukan ikatan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan APBD
Sebagai peraturan pelaksanaan dari paket Undang-undang Keuangan Negara, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 10 menulis ulang kewenangan Pengguna Anggaran/Pengguna Barang Daerah yang ada dalam Undang-undang termasuk kewenangan melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja dan kewenangan melakukan ikatan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. Peraturan Pemerintah tersebut tidak mengatur bahwa kewenangan dimaksud dapat dilimpahkan kepada pejabat lain. Peraturan Pemerintah tersebut hanya mengatur bahwa dalam melaksanakan program dan kegiatan, PA/KPA dapat menunjuk Pejabat Pengelola Teknis Kegiatan (PPTK) dengan tugas salah satunya menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan. Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 12 ayat (6) dijelaskan bahwa dokumen administratif yang disiapkan oleh PPTK meliputi dokumen administratif kegiatan dan dokumen administratif yang terkait dengan persyaratan pembayaran.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri yang menjadi pedoman pengelolaan keuangan daerah (APBD), tidak digunakan terminologi pembuat komitmen maupun nama jabatan pejabat pembuat komitmen.
Perubahan Presiden Nomor 8 Tahun 2006
Terminologi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pertama kali muncul secara dalam Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Peraturan Presiden tersebut, dalam Pasal 1 nomor 1a, PPK didefinisikan sebagai Pejabat yang diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI)/Pemimin Badan Hukum Milik Negara (BHMN)/Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pemilik pekerjaan, yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Dalam penjelasannya, definisi PPK sebagai pemilik pekerjaan menggantikan istilah pengguna barang/jasa atau pejabat yang disamakan sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
Dalam pelaksanaan APBN, dengan munculnya terminologi PPK pada Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, maka pejabat yang dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 66 tahun 2005 pasal 2 ayat (2) huruf (a) adalah PPK sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden tersebut, meskipun nomor Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktorat Jenderal Perbendaharaan bisa berubah dari tahun ke tahun.
Namun dalam pelaksanaan APBD, terminologi PPK tidak bisa dinyatakan merujuk pada nama jabatan tertentu yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, sehingga tidak jelas siapa yang melaksanakan tugas dan fungsi PPK.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dalam pasal 1 angka 7 menyebutkan PPK adalah pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. Sebagai pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, salah satu tugas pokok dan kewenangan menandatangani kontrak (pasal 11 ayat (1) huruf c. Dengan kewenangan menandatangani kontrak, maka PPK pada dasarnya adalah melaksanakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk melakukan ikatan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. Agar dapat melaksanakan tugas tersebut, maka Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mengatur persyaratan untuk ditetapkan sebagai PPK salah satunya adalah memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa (pasal 12 ayat (2) huruf g).
Pengatuan tentang PPK dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mudah diterapkan dalam satuan kerja yang menggunakan dana APBN, karena struktur organisasi Satuan Kerja memungkinkan PA/KPA Anggaran untuk menunjuk pejabat lain yang memenuhi persyaratan beserta standar biaya masukan untuk pembayaran honorariumnya. Namun hal tersebut tidak bisa diterapkan dalam struktur organisasi SKPD dalam pelaksanaan APBD, karena tidak adanya nama/uraian jabatan dalam Struktur SKPD yang dapat ditunjuk untuk melaksanakan kewenangan PPK.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 memberikan penegasan kedudukan PPK dalam rangka pelaksanaan APBD, tanpa menjelaskan definisi PPK. Terdapat 2 pasal yang mengatur tentang PPK yaitu pasal 10A dan 11 ayat (5) yang menyatakan bahwa dalam pengadaan barang/jasa, Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran bertindak sebagai PPK sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan perundang-undangan dimaksud adalah Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 yang salah satu pengaturannya adalah PPK wajib memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 mengalami hambatan di lapangan apabila Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran yang tidak memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa, krena Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut tidak memberikan kewenangan kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk menunjuk pegawai/pejabat lainnya yang memenuhi persyaratan menjadi PPK berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.
PPK Menurut Saya
Definisi, tugas pokok dan kewenangan PPK yang disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 pada dasarnya adalah mengambil kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang, yaitu : 1) melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja dan 2) melakukan ikatan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang ditetapkan. Dua kewenangan tersebut oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan diberikan kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
Kita perlu sedikit berandai-andai jika Presiden tidak mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, apa yang terjadi ? yang terjadi adalah Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran tetap memiliki 2 kewenangan tersebut di atas, yang pelaksanaanya (mungkin) tidak akuntabel karena tanpa panduan yang jelas dan rawan penyalahgunaan wewenang.
Karena kewenangan sudah diberikan oleh Undang-undang, maka seharusnya Peraturan Presiden tidak memberi persyaratan tambahan kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran jika ingin menggunakan kewenangannya. Peraturan Presiden cukup mengatur bagaimana cara Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran menggunakan kewenangan tersebut dalam bentuk tata kerja atau prosedur.
Dengan bangunan logika tersebut, maka perlu harmonisasi antara ketentuan pelaksanaan APBN, ketentuan pelaksanaan APBD dan ketentuan pelaksanaan pengadaan barang/jasa sehingga fungsi PPK dapat dilakukan oleh : 1) Pengguna Anggaran, atau 2) Kuasa Pengguna Anggaran atau 3) orang yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja dan melakukan ikatan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. Persyaratan untuk ditetapkan menjadi PPK hanya bisa diwajibkan kepada orang yang diberi kewenangan, bukan kepada PA/KPA nya sendiri. Dengan diberikannya peluang bagi PA/KPA untuk menunjuk orang lain, termasuk dalam pelaksanaan APBD, maka menurut saya PA/KPA dapat menunjuk PPTK yang memenuhi persyaratan sekaligus sebagai PPK karena yang bersangkutan secara tugas dan fungsinya telah bertanggungjawab dalam mengendalikan kegiatan dan menyiapkan dokumen anggaran.
Yang perlu selalu diingatkan adalah, siapapun yang melaksanakan fungsi sebagai PPK bertanggungjawab tas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran.
disadur By ; Guskun
Komentar
Posting Komentar