Berdasarkan data Badan Kebijakan Fiskal
(BKF) Kementerian Keuangan, penyerapan anggaran pemerintah hingga akhir
September 2011 masih rendah, yaitu baru tercapai 54,4 persen dari target
atau Rp 717,9 triliun. Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN-P) 2011 masih mengalami surplus Rp 72 triliun.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
selama ini dituding menjadi penyebab utama rendahnya penyerapan
anggaran, terutama belanja modal di kementerian dan lembaga negara.
Sebagai bukti, penyerapan anggaran pada
2011 masih lebih rendah dibanding tahun lalu. Oleh karenanya, pemerintah
akan mempercepat evaluasi kinerja perpres tersebut.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Armida S Alisjahbana, penyerapan anggaran negara yang terkait dengan
belanja modal masih dirasakan belum cukup cepat. “Jadi, saat ini tengah
dievaluasi keberadaan dan pelaksanaan perpres tersebut,” ujar Armida,
akhir September 2011 lalu di Jakarta.
Kepala LKPP Agus Rahardjo menyatakan,
keberadaan Perpres 54/2010 hingga saat ini memang belum optimal. Karena
itu, perpres yang ditandatangani oleh Presiden SBY pada 6 Agustus 2010
tersebut perlu dievaluasi agar lebih maksimal. Namun, keberadaan Perpres
54 Tahun 2010 dinilai sudah cukup baik untuk mendorong percepatan
belanja modal melalui mekanisme lelang yang lebih cepat dan sederhana.
“Namun, proses evaluasi tetap harus
dilakukan. Perlu diakui kalau lihat Perpres No. 54 ini belum
menunjukkan keberhasilan. Niat mempercepat tapi belum terwujud,”
katanya. Perpres 54 Tahun 2010, imbuh Agus, tidak menutup kemungkinan
dilakukan revisi pada bagian-bagian tertentu yang dinilai sulit
dipahami, direalisasikan, dan cenderung dipandang menjadi penghambat.
Selain dituding sebagai ”biang kerok”
minimnya penyerapan anggaran, bagi LKPP sendiri keberadaan Perpres No.54
Tahun 2010 ini masih menyimpan kelemahan dalam keleluasaan ”ruang
gerak” serta penerapan sanksi bagi pelanggaran di bidang pengadaan
barang dan jasa pemerintah yang dinilai masih lembek.
”Keberadaan Perpres No. 54 masih perlu
perbaikan. Terutama dalam hal inkonsistensi aturan-aturan yang ada di
dalamnya,” aku Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP
Djamaludin Abubakar.
Untuk itulah saat ini LKPP tengah
menggodok konsep dan terus melakukan perbaikan bagi Rancangan
Undang-Undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Menurut Kepala LKPP
Agus Rahardjo, jika berhasil diundangkan, maka artinya Indonesia mulai
menyejajarkan diri dengan negara lain didunia yang telah sejak lama
memiliki UU khusus tentang pengadaan.
”UU tentang Pengadaan Barang dan Jasa
ini hampir semua negara yang ada di dunia sudah memilikinya, karena
memang ini penting sekali. UU ini penting karena dengan undang-undang
ini kita nantinya tidak hanya mengawasi APBN atau APBD, tapi juga
dana-dana publik lain juga bisa kita awasi,” kata Agus.
Dengan adanya undang-undang, maka
ke-wenangan LKPP bisa semakin menjangkau banyak sektor, terutama yang
bersifat publicprivate partnership. ”Kalau public private partnership
‘kan bisa luas sekali. Sektor kehutanan, migas, bahkan sampai kalau
pemda mengembangkan pasar atau terminal juga bisa kita awasi. Jadi
dengan undang-undang akan bisa menyentuh banyak aspek,” ujarnya.
Di samping itu, keberadaan UU ini nantinya juga diyakini akan semakin mempertegas sanksi.
”Dengan perpres yang ada sekarang, tidak
bisa memberikan sanksi yang tegas kalau ada yang melanggar. Ada
pelanggaran, misalnya tidak mengumumkan lelang, paling sanksinya hanya
administrasi saja. Kalau ada undang-undangnya ’kan bisa sampai ke
hukuman pidana,” tandas Agus.
Sebenarnya, sejak tahun 2010 RUU tentang
Pengadaan Barang dan Jasa ini telah masuk Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) di DPR. ”Tapi meski sudah masuk Prolegnas ’kan tidak mesti
harus selesai, karena memang belum mantap betul,” aku Agus Prabowo,
Deputi Bidang Pengembangan dan Pembinaan Sumber Daya Manusia LKPP.
Menurutnya, saat ini perkembangan RUU
tersebut memang masih di tangan pemerintah. ”Kita sudah selesaikan
naskah akademiknya, sudah ada 10 draft naskah. Tetapi belum ada
kesepakatan yang solid di antara pemerintah, masih ada prokontra. Jadi
belum diajukan ke DPR, masih di tangan pemerintah,” ujarnya.
”Untuk RUU tentang Pengadaan Barang dan
Jasa ini kita memberikan masukan bagaimana seharusnya membuat RUU yang
lingkupnya lengkap, komprehensif, namun tidak menyulitkan pada waktu
pelaksa-naannya. Bagaimana cara nya? ’Kan yang namanya UU ini
membutuhkan banyak aturan turunannya di bawahnya. Maka sebaiknya UU ini
jangan terlalu banyak mengatur yang terlalu detil. Nanti aturan-aturan
detilnya diatur oleh masing-masing sektor. Detilnya itu nanti ada di PP,
Perpres, Keputusan Menteri, dan lainnya, yang semuanya itu nantinya
saling melengkapi,” terang Djamaludin Abubakar.
Komentar
Posting Komentar