Penghindaran Pajak vs Penggelapan pajak
Pendahuluan
Konon, di dunia ini tidak ada sesuatu yang pasti selain pajak dan kematian. Kita hidup
pasti membayar pajak dan juga pasti mati. Nyaris tidak ada tempat di
dunia ini yang bebas dari pajak, kecuali kita tinggal di daerah
terpencil dan tidak berhubungan dengan dunia luar sama sekali. Sejak
bayi lahir ke dunia ini, mulai menggunakan berbagai barang kebutuhan
hidup sehari-hari (pakaian, susu, makanan dll) semua terkena pajak. Pada
saat orang tua membelanjakan uangnya untuk keperluan calon buah hati
tercinta, saat itu pula kita sudah membayar pajak.
Bagi
perusahaan, negara adalah “pemegang saham utama” dengan porsi sebesar
30% (tarif pajak yang berlaku). Sebelum laba dibagikan kepada para
pemegang saham/owner, perusahaan terlebih dahulu diwajibkan untuk
membayar 30% ke kas negara sebagai kewajiban pajak.
Bagi
karyawan, demikian pula. Sebelum gaji dibayarkan kepada karyawan,
sebelum kita bisa membelanjakan gaji yang kita peroleh, pada dasarnya
pajak yang terutang (PPh 21) sudah harus dipotong dan disetorkan ke
negara.
Pajak adalah beban bagi perusahaan
Pajak
adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun
perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar
pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara
juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh
negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting
bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak
maupun zakat, kesadaran dan kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.
Mengingat pajak adalah beban –yang akan mengurangi laba bersih perusahaan-
maka perusahaan akan berupaya semaksimal mungkin agar dapat membayar
pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk menghindari pajak. Namun
demikian penghindaran pajak harus dilakukan dengan cara-cara yang legal
agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari.
Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus penggelapan pajak :
- Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya.
- Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;
- Transaksi export fiktif,
- Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan
Jika
kita analogikan pajak dengan karcis tol, Jika kita lewat jalan tol
namun tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak.
Sedangkan jika kita menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara
memilih lewat jalan biasa, maka itulah penghindaran pajak. Menghindari membayar tol (pajak) dengan cara tidak lewat jalan tol adalah cara yang legal.
Bagaimana cara menghindari Pajak
Seperti
halnya dengan menghindari jalan tol (memilih jalan biasa) agar
terhindar dari kewajiban membayar karcis tol, cara yang paling mudah dan
legal untuk menghindari pajak adalah dengan cara menghindari transaksi
yang merupakan obyek pajak, misalnya dengan tidak memperoleh
penghasilan. Namun tentu saja pilihan ini tidak mungkin
untuk dipilih. Tentu kita tidak mau khan hanya demi menghindari
pembayaran pajak, lantas kita tidak mau memperoleh penghasilan?
Dalam
ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah –loophole- yang
dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh
perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini
diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya
tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’
namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi
ketentuan yang berlaku.
Selain
menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, langkah-langkah
penghematan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain :
- Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak terendah
- Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan,
- Memilih berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak terendah.
- Memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar
Bagaimana pajak perusahaan dihitung
Pada
dasarnya kewajiban pajak perusahaan dihitung berdasarkan laba bersih
yang diperoleh selama satu periode (satu tahun pajak). Laba bersih
perusahaan dihitung berdasarkan laporan keuangan yang disusun oleh
perusahaan.
sebagai gambaran, laporan laba rugi yang disusun oleh perusahaan :
Uraian | Jumlah (Rp) |
Penjualan | 10.000.000 |
Harga Pokok Penjualan | 6.000.000 |
Laba Bruto | 4.000.000 |
Biaya Operasional : | |
- Biaya Pemasaran (Promosi, sponsorship dll) | 1.000.000 |
- Biaya Gaji karyawan | 900.000 |
- Biaya Operasional lainnya | 1.500.000 |
Sub total Biaya Operasional | 3.400.000 |
Laba Bersih | 600.000 |
PPh terutang – 30% | 180.000 |
Laba Bersih setelah Pajak | 420.000 |
Dalam contoh tersebut laba bersih perusahaan sebelum pajak sebesar Rp 600.000. PPh
yang terutang sebesar Rp 180.000 sehingga laba bersih setelah pajak
–yang dapat diinvestasikan kembali- atau dibagikan kepada pemilik
sebagai dividen sebesar Rp 420.000
Tidak semua Biaya Operasional dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan
Dalam
ilustrasi perhitungan PPh di atas, diasumsikan bahwa seluruh biaya
operasional perusahaan dapat dibebankan/ diperhitungkan sebagai
pengurang penghasilan. Sehingga pajak yang terutang dihitung berdasarkan
laba bersih.
Sayangnya,
sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku terdapat berbagai macam
biaya yang –meskipun secara akuntansi komersial dan bisnis- memang
dikeluarkan oleh perusahaan untuk keperluan usaha; namun tidak dapat
dibebankan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh terutang
atau menjadi non deductable expenses.
Secara umum, pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan secara fiskal (deductable expenses)
adalah pengeluaran yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
Pengeluaran biaya tersebut dilakukan dalam rangka mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan serta didukung dengan bukti yang memadai
(valid & reliable).
Meskipun
pengeluaran yang dilakukan perusahaan benar-benar berhubungan langsung
dengan kegiatan usaha, secara internal-pun sudah diakui kebenaran
transaksi tersebut, sepanjang pengeluaran tersebut tidak didukung adanya
bukti transaksi yang memadai, bukti transaksi yang valid dan reliable
maka sesuai dengan ketentuan perpajakan, pengeluaran tersebut menjadi non deductable expenses.
Berbicara
mengenai bukti kebenaran suatu transaksi, akuntansi mencatat suatu
transaki yang telah lewat kejadiannya (historical data), satu-satunya
alat yang dapat membuktikan bahwa transaksi tersebut benar adanya, yaitu
dengan adanya dokumen yang valid dan reliable. Selain dokumen, tentu
saja adanya internal kontrol yang kuat yang dapat mencegah terjadinya
transaksi-transaksi yang tidak benar juga diperlukan.
Meskipun
secara akuntansi komersial, suatu transaksi telah dapat dibuktikan
kebenarannya –berdasarkan dokumen- yang ada, ketentuan perpajakan belum
tentu menerima hal tsb.
Kalau ketentuan pajak tidak mengakui pengeluaran perusahaan sebagai deductable expenses, apa efeknya?
Dalam
ilustrasi perhitungan PPh di atas, diasumsikan bahwa semua biaya
operasional dapat diakui sebagai pengurang penghasilan seluruhnya
sehingga PPh terutang dihitung berdasarkan laba bersih. Apabila atas
biaya operasional perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya secara
fiskal –menjadi non deductable expenses-, maka perhitungan pajak
dilakukan berdasarkan laba bersih setelah ditambah dengan pengeluaran
yang merupakan kelompok non deductable expenses.
Jika
dalam ilustrasi perhitungan di atas, komponen biaya pemasaran tidak
didukung bukti pengeluaran yang valid misalnya, selain itu juga terdapat
biaya entertainment yang tidak didukung daftar nominatif, sehingga
seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya (dikoreksi menjadi non
deductable expenses), maka ilustrasi perhitungan PPh-nya menjadi sebagai
berikut :
Uraian | Jumlah (Rp) | |
Penjualan | 10.000.000 | |
Harga Pokok Penjualan | 6.000.000 | |
Laba Bruto | 4.000.000 | |
Biaya Operasional : | ||
- Biaya Pemasaran (Promosi, sponsorship dll) | 1.000.000 | |
- Biaya Gaji karyawan | 900.000 | |
- Biaya Operasional lainnya | 1.500.000 | |
Sub total Biaya Operasional | 3.400.000 | |
Laba Bersih – komersial | 600.000 | |
Ditambah : | ||
Biaya pemasaran yang merupakan non deductable expenses | 1.000.000 | |
Laba yang menjadi dasari perhitungan Pajak | 1.600.000 | |
PPh terutang – 30% | 480.000 | 80,00% |
Laba Bersih setelah Pajak | 120.000 | |
Dari
ilustrasi perhitungan ini, dapat terlihat bahwa pengeluaran yang
nyata-nyata sudah menjadi beban perusahaan untuk keperluan memasarkan
produk –biaya promosi dan sponsorship- namun karena biaya tersebut tidak
didukung bukti yang valid, perusahaan memiliki kewajiban pajak yang
jauh lebih tinggi dibanding seharusnya. Dalam contoh tersebut tarif
efektif PPh mencapai 80% dari laba bersih.
Membayar 30% saja sudah menjadi beban apalagi harus membayar sampai 80%, tentu menjadi beban yang sangat berat bagi perusahaan.
Memilih alternatif transaksi yang memberikan efek pajak termurah
Selain wajib membayar pajak atas penghasilan
yang diperoleh, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk memotong pajak
yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lainnya,
baik kepada karyawan maupun kepada pihak ketiga.
Atas
pembayaran gaji dan tunjangan kepada karyawan perusahaan wajib memotong
dan menyetor PPh 21 yang terutang. Pembahasan mengenai PPh 21 akan
dilanjutkan pada kesempatan lain.
Sedangkan
atas pembayaran kepada pihak ketiga, atas imbalan jasa/ kegiatan,
perusahaan juga memiliki kewajiban memotong PPh 23 yang terutang dan
menyetorkannya ke kas negara. Dalam kondisi yang ideal, PPh pasal 23
yang harus dipotong dari pembayaran kepada pihak ke-3 (vendor) tidaklah
menjadi pengurang penghasilan (biaya) bagi perusahaan, karena perusahaan
hanya mengurangi jumlah uang yang akan dibayarkan kepada vendor sebesar
tarif PPh 23 yang berlaku dan menyetorkannya ke kas negara.
Sayangnya,
dunia –apalagi dunia pajak- tidak selalu indah. Ada saat dimana
perusahaan harus melakukan transaksi dengan vendor yang lebih superior
dan tidak bersedia dipotong pajak atas fee yang akan diterimanya. Ada
saat dimana perusahaan dalam posisi sangat membutuhkan jasa ‘pihak
ketiga tersebut’ karena otoritas yang dimilikinya. Dalam kondisi seperti
ini, perusahaan lagi-lagi akan memperhitungkan alternatif mana yang
harus dipilih agar pajak tidak semakin menjadi beban bagi perusahaan.
Kadang perusahaan terpaksa memilih untuk melakukan gross up atas fee
yang akan dibayarkan kepada vendor / pihak ketiga yang jasanya sangat
dibutuhkan perusahaan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Adakalanya
perusahaan memilih untuk menanggung pajak yang seharusnya menjadi beban
pihak lain, meskipun beban pajak tersebut pada akhirnya menjadi komponen
non deductable item.
Tujuan perusahaan yang harus dicapai secara bersama-sama
Salah
satu tujuan sebuah perusahaan didirikan adalah untuk tujuan ekonomi.
salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah perusahaan secara ekonomi
adalah pencapaian laba bersih –setelah pajak- yang tinggi.
Laba
bersih yang tinggi tentu diawali dengan pencapaian target penjualan
yang tinggi, kemudian diikuti dengan pengeluaran biaya-biaya yang
efisien, dan pembayaran pajak yang optimal, sehingga akan dicapai laba
bersih setelah pajak yang maksimal.
Ketika
penjualan mencapai target, namun biaya yang dikeluarkan jauh lebih
tinggi –misalnya- maka secara ekonomi hal tsb hanya akan menjadi sebuah
pencapaian yang “sia-sia”.
Demikian
pula ketika laba bersih –secara komersial- sudah mencapai angka yang
optimal, karena didukung dengan pencapaian target penjualan yang
maksimal dan pengeluaran yang minimal, bisa jadi akan menjadi sia-sia
ketika ternyata laba habis tergerus beban pajak yang tidak seharusnya.
Misalnya karena banyaknya biaya yang merupakan kriteria non deductable
expenses. ( disadur by Triyani )
Komentar
Posting Komentar