Oleh Budy Hermawan
Pengadaan
barang/jasa pemerintah (PBJP) yang berpijak pada Keputusan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 telah
menyisakan beberapa kelemahan.
Kehadiran Peraturan Presiden
Nomor 70 Tahun 2012 Tentang PBJP
menjadi tonggak pembenahan beberapa
kelemahan Perpres 54 Tahun
2010. Perpres 70/2012
diharapkan mampu menjadi
sebuah solusi penyempurnaan praktik seputar pengadaan barang/jasa
pemerintah.
Proyeksi
penyempurnaan perlu dikenali dan dicermati
dalam lekuk tubuh Perpres 70/2012.
Diantara yang harus dikenali adalah kemana arah perubahan dihembuskan.
Selanjutnya apa saja yang perlu dicermati dar i konsekuensi perjalanan PBJP
ke arah perubahan tersebut. Yang tidak kalah
pentingnya, bagaimana Kementrian/Lembaga/Pemda/Institusi (K/L/D/I)
menyikapi arah perubahan
tersebut.
Tulisan ini
mengurai beberapa arah perubahan Perpres 70/2012 dan mengungkap poin yang perlu dicermati
dari beberapa arah
tersebut. Kemudian bagaimana
langkah-langkah K/L/D/I
dalam menyikapi beberapa
poin tersebut dikupas dengan
pendekatan tuntutan yuridis dan best
practice_nya.
I. Latar Belakang Perubahan
Praktik PBJP
yang berpijak pada
Perpres 54/2010 beserta perubahannya telah beberapa kelemahan, antara lain:
Dengan beberapa
kelemahan diatas dan
perkembangan demokrasi, otonomi
daerah, teknologi informasi serta lingkungan strategis internasional
maka diperlukan sebuah aturan, sistem,
metoda dan prosedur
yang lebih memadai,
namun tetap menjaga
koridor good governance serta
masih menjamin terjadinya persaingan yang sehat dan efisiensi;
II. Mencermati
Perubahan
Perubahan selalu
membawa konsekuensi ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan yang harus dicermati adalah ketidaknyamanan
yang bermuara pada potensi masalah.
Semua yang bersifat potensi (kemungkinan) mengandung
unsure ketidakpastian. Ketidakpastian merupakan sebuah definisi yang umum dari risiko. Risiko terkait
dengan perubahan aturan PBJ adalah potensi masalah yang
kemungkinan timbul pada implementasi aturan tersebut di masa yang akan dating
yang akan menghambat pencapaian tujuan PBJ, yaitu efisien, efektif dan
ekonomis.
Terkait dengan arah perubahan diatas ada beberapa potensi risiko yang
perlu dicermati yaitu yang
ada di seputar
ULP, kontrak payung,
pengadaan secara elektronik,
Jenis pengadaan jasa lainnya dan mekanisme reward and punishment.
A. ULP
1. Kelembagaan
|
untuk permanen
dan berdiri sendiri, maka model
pembentukan ULP yang kedua ini merupakan model yang ideal.
Risiko yang
ada dari model ULP seperti
itu adalah ketidaklancaran arus informasi dari
PA/PPK ke ULP dan sebaliknya.
Jika ketidaklancaran ini terjadi maka kinerja
ULP dan atau
unit/satker/SKPD tidak optimal.
Yang lebih harus diwaspadai lagi
adalah kelambatan kinerja ULP.
Jika ini terjadi
maka kinerja seluruh unit/satker/SKPD terhambat.
Muaranya kinerja K/L/D/I
menjadi tidak optimal bahkan
buruk.
2. Tugas pokok dan kewenangan
ULP/Pejabat Pengadaan
mempunyai beberapa tugas
pokok dan kewenangan, antara lain:
a. menilai
kualifikasi Penyedia Barang/Jasa
melalui prakualifikasi atau pascakualifikasi;
b. melakukan
evaluasi administrasi, teknis
dan harga terhadap
penawaran yang masuk;
kedua tugas
pokok dan kewenangan
ULP/PP diatas merupakan
tugas terberat ULP/PP. Langkah-langkah yang harus ditempuh oleh ULP/PP dalam
melaksanakan kedua tugas tersebut tidak terurai secara eksplisit, hal ini
hanya implicit tercermin di langkah/tahapan di kualifikasi dan evaluasi
penawaran. Sebagaimana yang ditekankan di Perpres 54, pelaksanaan tugas dan
kewenangan, para pelaku pengadaan harus mematuhi etika pengadaan. Salah satu
etika pengadaan yang sangat terkait
dengan dua tugas
dan kewenangan ULP/PP
diatas adalah menghindari dan
mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak terkait, baik secara
langsung maupun tidak
langsung dalam proses
pengadaan. Dan diantaranya wujud
pelanggaran etika pengadaan
tersebut adalah peran
ganda dan afiliasi (keterkaitan hubungan).
Jika dalam pelaksanaan
kualifikasi, ULP hanya mengacu dengan yang tersurat di
Perpres 54 maka ejawantah etika pengadaan dalam pelaksanaan PBJ kemungkinan
tidak terakomodasi.
Namun pelaksanaan
pembuktian kualifikasi hanya
dengan mengacu pada
yang eksplisit di Perpres
54/2010 tidak akan
dapat mendeteksi gejala
“pengusaha kecil
formalitas”.
Pengusaha kecil
formalitas adalah pengusaha
kecil yang dokumen
SIUP/akte pendirian/pengalaman
kerja di formulir
isian kualifikasi menunjukkan
pengusaha kecil tapi sesungguhnya pengusaha
tersebut telah beralih
baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi
bagian dari pengusaha menengah atau besar . Hal ini sangat potensial terjadi
dilakukan karena banyak keringanan persyaratan diberikan ke calon penyedia
barang/jasa yang masuk kategori pengusaha kecil. Sebagai contoh SIUP dan akta pendirian
pengusaha kecil “X” dibuat tahun 1990
dengan modal awal
Rp200.000.000,00 dan X ikut lelang PBJP pasca kualifikasi tahun 2011 serta
menjadi calon pemenang.
Secar a normative, X
telah hidup selama
20 tahun (1990 s.d 2010).
Dengan kiprah di dunia pengadaan selama itu,
kemungkinan besar telah bertambah
modalnya dan bisa
jadi telah lebih
dari Rp500.000.000,00
berarti telah keluar
dari kategori pengusaha
kecil (beranjak menjadi
pengusaha menengah).
Selama 20 tahun
pula, X tidak
pernah mengurus peralihan
SIUP_nya menjadi pengusaha menengah. Praktis dokumen formal yang dia
miliki adalah SIUP dan akta pendirian tahun 1990. Diantara yang harus ULP
lakukan dalam pembuktian kualifikasi adalah meyakini bahwa X ‘
langsung maupun tidak
langsung menjadi bagian
dari pengusaha menengah
atau besar’ . Perpres 54/2010
memberi panduan “Pembuktian
kualifikasi dilakukan dengan cara melihat keaslian dokumen dan meminta
salinannya serta ULP melakukan
klarifikasi dan/atau verifikasi
kepada penerbit dokumen,
apabila diperlukan”. Langkah yang pertama melihat dan membandingkan
antara data di formulir isian kualifikasi dengan keaslian dokumen. Hasil
langkah ini menunjukkan benar. Langkah berikutnya melakukan klarifikasi
dan/atau verifikasi kepada penerbit dokumen SIUP dan akta
pendirian. Pertanyaan krusial
muncul disini, apakah
instansi penerbit dokumen
SIUP dan akta pendirian mempunyai dan
menjalankan mekanisme untuk memantau pergerakan
usaha kecil? Jika
tidak, maka dengan
hanya mengecek dokumen asli
SIUP dan akta
pendirian tidak dapat
memenuhi tujuan pembuktian kualifikasi.
Kelemahan teknik
pembuktian kualifikasi diatas
dijadikan modus yang
dipakai oleh para
pengusaha menengah dan besar
untuk merambah lading
pengusaha kecil dengan memperoleh
beberapa kemudahan dalam proses PBJP. Formalitas pengusaha kecil tapi realitas telah menjadi pengusah menengah/besar. Modus ini lebih dikenal dengan istilah “pengusaha kecil
forever”
B. Kontrak payung, E_catalogue dan
E_purchasing
Kontrak payung
merupakan Kontrak Harga
Satuan antara Pemerintah
dengan Penyedia Barang/Jasa yang dapat dimanfaatkan oleh K/L/D/I,
dengan ketentuan sebagai berikut:
diadakan untuk
menjamin harga Barang/Jasa
yang lebih efisien,
ketersediaan Barang/Jasa
terjamin dan sifatnya
dibutuhkan secara berulang dengan
volume atau kuantitas pekerjaan
yang belum dapat ditentukan pada saat kontrak ditandatangani pembayarannya dilakukan oleh setiap
PPK/Satuan Kerja yang didasarkan pada hasil
penilaian/pengukuran bersama
terhadap volume/kuantitas pekerjaan
yang telah dilaksanakan oleh
Penyedia Barang/Jasa secara nyata Secara
eksplisit Penjelasan Perpres
54 mengungkap “Berdasarkan Kontrak Payung (framework contract), LKPP
akan menayangkan daftar barang beserta spesifikasi dan harganya pada system
katalog elektronik dengan alamat
www.e-katalog.lkpp.go.id”.
Dari ini
terlihat potret koneksi
sekuel yang pertama
yaitu kontrak payung
bermuara e_catalogue. E-Catalogue adalah sistem informasi elektronik
yang memuat daftar, jenis, spesifikasi
teknis dan harga
barang tertentu dari
berbagai Penyedia Bar ang/Jasa Pemerintah.
Dari e_catalogue
ini Satker di
K/L/D/I dapat mengadakan
barang/jasa dengan cara
e_puchasing. E-Purchasing adalah tata
cara pembelian Barang/Jasa
melalui sistem katalog elektronik
dengan tujuan:
terciptanya proses
Pemilihan Barang/Jasa secara
langsung melalui sistem
katalog elektronik sehingga memungkinkan semua
ULP/Pejabat Pengadaan dapat
memilih Barang/Jasa pada pilihan terbaik
|
Jenis pengadaan
ada 4 (empat) yaitu pengadaan barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi, dan
jasa lainnya. Keempat
jenis pengadaan itu
merupakan ejawantah dari belanja pemerintah
sesuai dengan jenis
B/J yang dibutuhkan.
Namun ada salah
satu bagian dari pengadaan jasa
lainnya yang belum tentu praktik belanja
pemerintah, yaitu jasa pengelolaan asset. Perpres 54 menyebutkan
ketentuan Pengadaan Barang/Jasa yang
dilakukan melalui
pola kerja sama
pemerintah dan badan
usaha swasta dalam
rangka Pengadaan Barang/Jasa publik, diatur dengan Peraturan Presiden
tersendiri.
Aturan terkait
dengan pengelolaan asset
Negara adalah Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 (PP 6/2006) tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah ( BMN/D). Dalam PP 6/2006 diungkap
pengelolaan asset oleh pihak lain dikenal
dengan istilah
pemanfaatan. Pemanfaatan adalah
pendayagunaan BMN/D yang tidak
dipergunakan sesuai dengan
tugas pokok dan
fungsi
kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa,
pinjam pakai, kerja sama pemanfaatan,
dan bangun serah guna (BSG) atau bangun guna serah (BGS) dengan tidak
mengubah status kepemilikan.
Semua bentuk pemanfaatan
BMN/D dilakukan oleh
mitra dan akan menghasilkan pendapatan Negar a/daerah
kecuali pinjam pakai.
Bentuk pemanfaatan
yang menghasilkan pendapatan
Negara/daerah yang penetapan
mitranya melalui tender (dengan
mengikutsertakan sekurang-kurangnya
lima peserta/peminat, kecuali untuk BMN/D yang bersifat khusus dapat
dilakukan penunjukan langsung)
adalah kerja sama
pemanfaatan, BSG dan
BGS. Semua biaya
berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan kerja sama
pemanfaatan, BSG dan BGS tidak dapat dibebankan pada APBN/D. Dan
mitra harus membayar kontribusi tetap ke rekening kas umum negara/daerah setiap
tahun selama jangka
waktu pengoperasian yang
telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan,
BSG dan BGS.
Yang harus
dicermati dari uraian diatas adalah bagaimana mekanisme tender atas pemanfaatan
BMN/D?
D. Mekanisme Reward and Punishment yang lebih
adil
Lahirnya Perpres
54 merupakan tonggak
dimulainya mekanisme reward
dan punishment yang lebih adil.
Ke depan, para
pelaku pengadaan akan
mendapat reward yang lebih
manusiawi. Remunerasinya masih
diperjuangkan walau belum
terang benderang. Jabatan fungsional SDM PBJ sudah dirancang dan terus
dimatangkan. Seiring dengan itu mekanisme
blacklist diperbaiki. Bukan
hanya perusahaannya yang di_blacklist, jika salah, tapi pemilik
dan manajemen juga akan dikenakan sanksi. Bahkan informasinya ditayangkan di
website LKPP dan K/L/D/I yang bersangkutan.
Yang perlu
dicermati adalah: bagaimana proyeksi implementasi jabatan
fungsional SDM PBJ dan remunerasinya?
Mengingat rincian
tugasnya tidak sebanyak jabatan fungsional lain, auditor misalnya. Dan
remunerasi biasanya ditetapkan dengan pendekatan institusi dan kinerja
individu di institusi tersebut, bukan parsial per jabatan fungsional. Bagaimana
proyeksi efektivitas mekanisme
blacklist? Mengingat sampai
detik ini
mekanismenya belum
ditetapkan dan dilaunching oleh LKPP
Arah perubahan yang
telah dihembuskan oleh
Perpres 70 telah
menjadi sebuah keniscayaan yang
harus segera dipraktikkan. Dengan
berbagai hal yang
harus dicermati
|
Penilaian risiko,
berupa risiko yang
ada di seputar
kegiatan PBJ. Salah
satunya yang terkait dengan ULP
dan satker/SKPD adalah risiko kemacetan arus informasi panduan kerja para pelaku pengadaan yang menguraikan antara lain
bagaimana; proses kualifikasi, proses evaluasi penawaran,
pencatatan, dokumentasi, akuntabilitas
dan lain-lain. ini merupakan wujud dari unsure SPIP kegiatan
pengendalian.
Mekanisme arus informasi dan bentuk
dokumentasi. Ini merupakan wujud dari informasi dan komunikasi Mekanisme pemantauan baik internal ULP
(diantaranya mekanisme kaji ulang) maupun oleh inspektorat
K/L/D/I sebagai wujud
dari unsure pemantauan
SPIP. Mekanisme pemantauan mempunyai
peran yang tidak
kalah strategisnya bagi
keber hasilan segala kebijakan/mekanisme yang
telah dirancang di
empat unsure SPIP
yang lain. sebagai contoh yang
dapat meyakini bahwa
panduan kerja para
pelaku pengadaan telah dilaksanakan atau
belum, tentu bukan
mereka sendiri yang
menilai tapi harus
ada SDM/pihak lain yang independen.
V. Kesimpulan
Perpres 70 Tahun 2012 tentang PBJP
telah memberikan arah
yang jelas untuk
berubah ke praktik yang
lebih baik, diantaranya
adalah menciptakan iklim
yang kondusif untuk persaingan sehat,
efisiensi belanja Negara
dan mempercepat pelaksanaan
APBN/APBD (debottlenecking),
memperkenalkan aturan, sistem,
metoda dan prosedur
yang lebih sederhana dengan
tetap memperhatikan good
governance, klarifikasi aturan
serta memperkenalkan mekanisme reward and punishment yang lebih
adil.
Diantara sinyal
tersurat dari arah perubahan tersebut adalah keharusan membentuk ULP, pelaksanaan PBJP melalui kontrak
payung, e-catalogue e_pruchasing, pengungkapan lebih jelas tentang jenis–jenis
pengadaan, besaran uang muka, kelengkapan data administrasi, dan mengupayakan
insentif yang wajar kepada para pelaku
PBJP dan perancangan
mekanisme blacklist.
Dari beberapa
proyeksi implementasi ke
arah perubahan tersebut
mempunyai konsekuensi dan risiko
yang harus dicermati.
Diantaranya adalah
kelembagaan ULP yang mandiri melahirkan
risiko kemacetan arus
informasi dan pertaruhan
kinerja K/L/D/I, pelaksanaan
tugas ULP memerlukan mekanisme yang tidak hanya berbasis Perpres 70 Tahun
2012,
|
Komentar
Posting Komentar