Pada setiap menjelang berakhirnya tahun
anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan selalu menerbitkan
langkah-langkah menghadapi akhir tahun anggaran yang tahun ini diatur
melalui Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor :
PER-37/PB/2012 tanggal 12 November 2012. Salah satu hal penting yang
diatur adalah batas akhir penerbitan Surat Perintah Membayar (Surat
Perintah Membayar) LSyang tahun ini ditetapkan tanggal 17 Desember 2012.
Dengan batasan waktu penerbitan SPM ini, maka SPM yang diajukan ke
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu
: SPM atas progress atau pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan dan
SPM atas pekerjaan yang belum selesai dilaksanakan.
Kendala yang terjadi dalam pelaksanaan pembayaran di akhir tahun 2012menurut pantauan saya adalah:
1. Penerbitan SPM melampaui jangka waktu yang ditetapkan, sehingga tidak dapat diproses oleh KPPN
Ada banyak sebab yang mengakibatkan
penerbitan SPM menjadi terlambat, misalnya jumlah SPM yang sangat banyak
dan kesalahan-kesalahan pada saat pembuatan SPM. Informasi dari salah
satu rekan yang menjadi operator SPM, aplikasi SPM 2012 berbeda dengan
tahun sebelumnya, proses penerbitannya menjadi lebih rumit dan perbaikan
kesalahan tidak semudah menggunakan aplikasi pengolah kata/data pada
umumnya. Contoh kasus laian adalah menumpuknya SPM dalam suatu satker
karena keterlambatan pengesahan DIPA APBNP yang mendekati tutup akhir
tahun anggaran.
2. SPM tidak dapat diterbitkan karena
Penyedia Barang/Jasa tidak dapat melampirkan Jaminan Pembayaran berupa
Garansi Bank sesuai persyaratan yang ditentukan.
Peraturan Direktur Jenderal
Perbendaharaan tersebut di atas mewajibkan Penyedia Barang/Jasa
menyerahkan Jaminan Pembayaran berupa Garansi Bank sejumlah nilai
pembayaran yang diterbitkan oleh Bank yang menjadi mitra KPPN setempat.
Persyaratan Jaminan Pembayaran ini menjadi beban bagi Penyedia
Barang/Jasa karena:
- Syarat collateral yang diterapkan oleh (sebagian) Bank adalah uang tunai senilai Jaminan Bank;
- Garansi Bank harus diterbitkan oleh Bank Mitra KPPN setempat, sementara sebagian Penyedia Barang/Jasa berasal dari luar kota lokasi pekerjaan. Secara pribadi, saya tidak sepakat dengan persyaratan ini karena tidak mendukung semangat proses pemilihan (atau proses lelang) yang tidak membatasi domisili peserta pelelangan.
Akibat kegagalan pembayaran tersebut di
atas, diskusi berikutnya adalah mengenai hubungan perdata antara PPK
(selaku pembeli) dengan Penyedia (selaku penjual) sebagai pelaksanaan
dari Kontrak yang sudah ditandatangani kedua belah pihak.Penyelesaian
hubungan perdata berpijak pada kondisi apakah Penyedia Barang/Jasa mampu
menyelesaikan kewajibannya atau tidak.
A. Penyedia Telah Menyelesaikan Kewajibannya
Jika Penyedia sudah
menyelesaikan kewajibannya, terlebih lagi output pekerjaan sudah
dimanfaatkan oleh PPK, maka secara perdata PPK wajib melakukan
pembayaran kepada PPK. Sesuai Syarat-Syarat Umum Kontrak, jika PPK
terlambat melakukan pembayaran kepada Penyedia Barang/Jasa, maka PPK
harus memberikan ganti rugi sebesar bunga dari nilai tagihan yang
terlambat dibayar berdasarkan tingkat suku bunga yang berlaku menurut
ketetapan Bank Indonesia.
Penyelesaian permasalahan kegagalan
penerbitan SPM tidak dapat diberikan solusi secara umum, harus dilihat
kasus nya satu per satu.Salah satu yang perlu dicermati adalah apakah
kegagalan pembayaran akibat keterlambatan permintaan pembayaran dari
Penyedia Barang/Jasa atau kesalahan Satuan Kerja dalam proses pengujian
permintaan pembayaran dan penerbitan perintah pembayaran. Apapun yang
terjadi, Satuan Kerja harus mendokumentasikan hal ini dengan baik dan
mencantumkannya dalam Laporan Keuangan pada akun 2112-Utang Kepada Pihak
Ketiga[i]
serta memberikan penjelasan padaCatatan Atas Laporan Keuangan
(CALK)tahun 2012. Proses audit atas Laporan Keuangan menjadi salah satu tools
untuk menguji apakah benar ada Utang Kepada Pihak Ketiga yang harus
diselesaikan.Munculnya Utang Kepada Pihak Ketiga dalam Laporan Keuangan
bisa menjadi salah satu dasar pengajuan revisi RKAKL/POK tahun 2013.
Dalam pendekatan perdata, kegagalan
pembayaran mengakibatkan PPK (atau Negara) berhutang kepada Penyedia
Barang/Jasa.Perlu pembahasan yang lebih mendalam untuk menentukan siapa
pihak yang harus bertanggungjawab melunasi hutang kepada Penyedia
Barang/Jasa apabila hutang itu terjadi karena kesalahan di sisi Negara
(termasuk aparatnya).Di satu sisi, PPK adalah pejabat yang
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. Namun di
sisi lain, hasil pekerjaan Penyedia Barang/Jasa dimanfaatkan atau
dimiliki atau menjadi kekayaan Negara. Secara pribadi, saya berpendapat
bahwa:
· Nilai barang/jasa yang dimanfaatkan atau dimiliki atau menjadi kekayaan Negara menjadi tanggung jawab Negara; dan
· Nilai ganti rugi akibat keterlambatan pembayaran karena kesalahan aparat Negara adalah tanggung jawab pejabat bersangkutan.
B. Penyedia Belum Menyelesaikan Kewajibannya
1. Pada Saat Akhir Kontrak
Masa pelaksanaan pekerjaan diatur dalam
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa. Apabila sampai dengan akhir masa
pelaksanaan pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa belum dapat menyelesaikan
kewajibannya, maka PPK berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 54 tahun 2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 pasal 93 ayat 1.a.1 berwenang
melakukan penelitian apakah Penyedia mampu menyelesaikan pekerjaan dalam
waktu paling lama 50 (lima puluh) hari keterlambatan.
Dalam melakukan proses penelitian, PPK
dapat meninta Penyedia Barang/Jasa mengajukan rencana kerja selama 50
(lima puluh) hari keterlambatan. Rencana kerja ini dilakukan reviuw oleh
Konsultan dan Tim Teknis (jika ada).Berdasarkan hasil pembahasan, PPK
mengambil keputusan untuk memberikan waktu keterlambatan atau tidak
memberikan waktu keterlambatan.
Jika keputusan PPK tidak memberikan
waktu keterlambatan, maka PPK mengenakan sanksi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 93 ayat (2) Peraturan Presiden tersebut di atas.
Jika keputusan PPK memberikan waktu
keterlambatan, maka dilakukan langkah-langkah mengacu pada Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 25/PMK.05/2012 tentang Pelaksanaan Sisa Pekerjaan
Tahun Berkenaan Yang Dibebankan Pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) Tahun Berikutnya.
2. Pada Awal Tahun Anggaran 2013
Pada dasarnya belum ada mekanisme
tertentu yang sudah disusun sebagai penyelesaian dari kasus pembayaran
yang gagal. Oleh karena itu, kemungkinan mekanisme yang dapat ditempuh
menggunakan rujukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25/PMK.05/2012
tentang Pelaksanaan Sisa Pekerjaan Tahun Berkenaan Yang Dibebankan Pada
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun berikutnya adalah sebagai
berikut:
PMK 25/PMK.05/2012
|
Implementasi Pelaksanaan
|
Pasal 3 ayat (2) Dalam hal alokasi untuk pelaksanaan pekerjaan belum tersedia dalam DIPA tahun berikutnya , Kuasa PA mengajukan revisi DIPA/Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) untuk mengalokasikan anggaran atas pekerjaan yang dilanjutkan tersebut. |
Kuasa PA mengajukan usulan revisi DIPA atau melakukan revisi POK
untuk membiayai pekerjaan yang dilanjutkan. Revisi diajukan sebesar
nilai pembayaran yang belum dilakukan. Karena kegagalan mengajukan SPM, maka nilai revisi sama dengan nilai Kontrak bersangkutan. |
Pasal 4 ayat (1) a Dilakukan addendum Kontrak untuk mencantumkan sumber dana DIPA Tahun Berikutnya atas sisa pekerjaan yang akan diselesaikan |
PPK melakukan addendum Kontrak pada bagian yang menyebutkan
pembebanan tahun anggaran dengan menambahkan pembebanan pada Tahun
Anggaran 2013 |
Pasal 4 ayat (1) b Penyedia Barang/Jasa harus menyampaikan surat pernyataan kesanggupan menyelesaikan sisa pekerjaan kepada Kuasa PA yang ditandatangani oleh Pimpinan Penyedia Barang/Jasa |
Pimpinan Penyedia Barang/Jasa membuat surat pernyataan yang sekurang-kurangnya memuat: a. Pernyataan kesanggupan menyelesaikan sisa pekerjaan; b. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sisa pekerjaan; c. Pernyataan bersedia dikenakan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan. |
Pasal 4 ayat (1) c Kuasa PA menyampaikan pemberitahuan kepada KPPN atas pekerjaan yang akan dilanjutkan pada Tahun Anggaran berikutnya dilampiri copy surat penyataan sebagaimana dimaksud pada huruf b yang telah dilegalisasi |
Ketentuan ini dibuat dalam kondisi normatif telah diajukan SPM atas
Kontrak terkait pekerjaan dimaksud. Meskipun tulisan ini membahas
kondisi kegagalan mengajukan SPM sehingga atas Kontrak dimaksud belum
pernah diajukan SPM nya, pemberitahuan dari Kuasa PA tetap perlu dibuat. |
Pasal 4 ayat (1) d KPPN melakukan klaim pencairan Jaminan/Garansi Bank atas jumlah nilai pekerjaan yang belum diselesaikan sampai dengan akhir Tahun Anggaran |
Karena kegagalan mengajukan SPM, maka tidak ada Jaminan/Garansi Bank
yang diserahkan ke KPPN sehingga KPPN tidak bisa melakukan klaim
pencairan Jaminan/Garansi Bank |
Pasal 4 ayat (1) e Penyedia Barang/Jasa menyampaikan Jaminan Pelaksanaan sebesar 5% (lima per seratus) dari nilai sisa pekerjaan yang akan diselesaikan |
Penyedia Barang/Jasa membuat Jaminan Pelaksanaan sebesar 5% (lima per
seratus) dari nilai Kontrak. Masa berlaku Jaminan Pelaksanaan adalah 50
(lima puluh) hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan
pekerjaan. |
Pasal 5 Penyedia Barang/Jasa yang melanjutkan sisa pekerjaan pada Tahun Anggaran berikutnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, dikenakan denda keterlambatan sesuai peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa |
Besarnya denda keterlambatan adalah 1/100 (satu per seribu) untuk
setiap hari keterlambatan dari nilai Kontrak atau Bagian Kontrak sesuai
ketentuan yang diatur dalam Kontrak berkenaan. |
Upaya PPK/Kuasa PA untuk mengajukan
revisi RKAKL/POK harus dilakukan bersamaan dengan upaya Penyedia
Barang/Jasa menyelesaikan pekerjaan. Simulasi kemungkinan yang terjadi
adalah:
Revisi DIPA/POK berhasil
|
Revisi DIPA/POK tidak berhasil
|
|
Penyedia menyelesaikan pekerjaan
|
Dilakukan pembayaran dikurangi denda keterlambatan |
Sengketa perdata antara PPK dan Penyedia Barang/Jasa |
Penyedia tidak menyelesaikan pekerjaan
|
Pemutusan Kontrak sepihak oleh PPK disertai pengenaan saksi sesuai pasal 93 ayat 2 |
Pemutusan Kontrak sepihak oleh PPK disertai pengenaan saksi sesuai pasal 93 ayat 2 |
Berdasarkan simulasi kemungkinan pada
matriks tersebut di atas, resiko terbesar terjadi apabila Penyedia
Barang/Jasa berhasil menyelesaikan pekerjaan, namun PPK dan Kuasa PA
gagal melakukan revisi DIPA/POK. Kondisi ini mengakibatkan sengketa
perdata antara PPK dan Penyedia Barang/Jasa.Jika Kontrak menyangkut
pengadaan barang yang belum dimanfaatkan, dapat ditempuh perdamaian
dengan mengembalikan barang dimaksud.Namun jika Kontrak menyangkut
pengadaan jasa yang langsung dimanfaatkan, maka penyelesaian sengketa
menjadi rumit.
Komentar
Posting Komentar