Satu hal yang selalu menjadi problem
menakutkan dalam penyelenggaraan Pemilu adalah konflik. Salah satu point entry besar yang menjadi pemicu
konflik dalam Pemilu di antaranya tuntutan keterbukaan informasi, terutama dari
penyelenggara dalam menggelar setiap tahapan. Ketertutupan memang merupakan
salah satu pemicu konflik karena dengan ketertutupan memungkinkan terjadi
kesalahpahaman. Oleh karena itu, keterbukaan informasi dapat dijadikan salah
satu solusi dalam meminimalisasi konflik dalam Pemilu.
Sejatinya
keterbukaan informasi sudah menjadi garda terdepan dalam penyelenggaraan Pemilu.
Paling tidak sejak diberlakukannya UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik (KIP) pada 1 Mei 2010 lalu. Baik KPU maupun Bawaslu/Panwaslu sebagai
Penyelenggara Pemilukada harus memiliki komitmen besar dalam
mengimplementasikan keterbukaan informasi. KPU dan Bawaslu/Panwaslu adalah
Badan Publik yang memiliki kewajiban untuk menyediakan, memberikan dan/atau
menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya; menyediakan
Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak, menyesatkan; serta membangun
dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola Informasi
Publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah.
Apalagi
UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dengan tegas menyebutkan dari
12 asas penyelenggara Pemilu satu di antaranya adalah keterbukaan selain juga jujur dan akuntabilitas. Asas tersebut
tentu tidak hanya untuk menjadi lipstik semata, tetapi harus menjadi pedoman
bagi penyelenggara Pemilu dalam menjalankan tugas. Dalam konteks ini, ketika
berbicara keterbukaan, maka KPU dan Bawaslu sejatinya merujuk pada peraturan
perundang-undangan tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Apalagi
dalam sejumlah pasal baik pada UU Penyelenggara Pemilu maupun UU No. 8 Tahun
2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dengan tegas memerintah kepada
Penyelenggara Pemilu untuk selalu mengumumkan sejumlah tahapan yang krusial
dalam penyelenggaraan Pemilu. Dalam konteks itu, KPU dan Bawaslu bukan hanya
harus menyediakan informasi yang kontinyu dalam status informasi yang wajib
diumumkan dan disediakan secara berkala atau informasi yang wajib disediakan
setiap saat, tetapi informasi yang wajib diumumkan serta merta. Misalnya, dalam
tahapan penetapan DPT, terdapat kewajiban KPU untuk mengumumkannya sejak DPS
sampai hasil pemutahirannya. Jika pengumuman tidak dilakukan, maka keabsahan
DPT menjadi cacat.
Selain
itu, dalam frame keterbukaan
informasi publik (KIP) status KPU dan Bawaslu memang Badan Publik. Sebagaimana
isi Pasal 1 UU KIP, Badan Publik adalah
lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, atau organisasi nonpemerintah
sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau
luar negeri.
Penyelenggara Pemilu pun harus mengembangkan
layanan informasi penyelenggaraan Pemilu ketika warga negara atau pihak-pihak
tertentu memerlukan informasi yang dikuasai KPU atau Bawaslu melalui mekanisme
permohonan informasi. Dalam konteks ini pula, penyelenggara Pemilu harus
menetapkan standar layanan informasi publik yang benar merujuk pada peraturan
perundang-undangan Keterbukaan Informasi Publik.
Komentar
Posting Komentar