Pemimpin yang Super Agile di Tengah Situasi VUCA

 



Birokrasi di Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan yang sangat dasyat serta cepat. Perubahan layanan birokrasi di era 4.0 menuju 5.0 diperlukan kemampuan dan kecakapan para leader serta staff yang memiliki tugas dan kewenangan dalam pelayanan publik. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Jawa Barat yang diserahi tugas serta kewajiban meningkatkan kompetensi para birokrasi di Jawa Barat harus bisa menangkap peluang serta tantangan bahkan mampu pula mengidentifikasi hambatan serta kelemahan birokrasi saat ini. Dalam tulisan singkat ini, penulis mencoba mengangkat dan menguraikan secara parsial sikap, gaya serta attitude yang perlu dikembangkan bagi seorang ASN dalam rangka mampu memberikan pelayanan publik yang optimal menuju Jabar Juara Lahir dan Batin dengan inovasi dan kolaborasi.

 


Change or Die

 

Darwin pernah mengatakan bahwa hanya mereka yang paling adaptif atau responsif terhadap perubahan-lah yang akan survive (lestari). Dengan kata lain bahwa change itu tidak bisa dihindari. Tidak ada yang lestari di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri.


Mengelola perubahan adalah salah satu kompetensi penting untuk organisasi manapun, terlebih di tengah situasi yang tidak pasti seperti saat ini.

Namun faktanya dengan semakin banyaknya organisasi yang mengenalkan program perubahan pada karyawannya, ataupun perusahaan yang mengalami perubahan karena terpaksa akibat pandemi tersebut; tidak banyak yang tahu bagaimana mengelola perubahan tersebut. Tidak banyak organisasi yang mengajarkan kepada para manajer dan timnya bagaimana secara efektif mereka bisa mengelola “aspek manusia” dari perubahan itu sendiri.


Dalam sharing ini kita akan sama-sama belajar dimensi kualitas diri seperti apa yang dibutuhkan untuk menghadapi dan menjadi pemenang di era VUCA ini, dan mengapa kualitas ini menjadi kompetensi kunci yang diperlukan bagi organisasi kita.

Era VUCA

 

Kita ini hidup di jaman VUCA saat ini. VUCA adalah singkatan dari Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity.



·         Volatiliy artinya perubahan yang sangat cepat terjadi

·       Uncertainty artinya ketidakpastian. Yakni kurangnya kecepatan kita untuk memprediksi segala peristiwa yang akan terjadi.

·    Complexity artinya sangat kompleks. Situasi adanya gangguan yang dihadapi oleh suatu organisasi

·         Ambiguity artinya semua serba tida jelas alias bias

Istilah VUCA pertama kali digunakan di militer USA pada tahun 1990-an. Kemudian dipakai dalam dunia bisnis. VUCA disini mengambarkan ketidakpastian dalam dunia bisnis, ekonomi maupun lingkungan organisasi. Namun yang harus kita hadapi dan kelola dengan baik.

“Akselerasi perubahan itu semakin cepat dari waktu ke waktu” - Jimmy Sudirgo

Contoh faktor-faktor yang umumnya mempengaruhi perubahan lingkungan bisnis antara lain seperti: globalisasi, inovasi, teknologi, marketplace disruption, organisasi yang semakin datar (flatter dan leaner), M&A (merger & acquisition) / restrukturisasi, spin-offs dan lain sebagainya. Ditambah satu lagi yakni force majeur, seperti pandemi Covid-19 yang memberikan dampak global, suatu perubahan yang tidak pernah ada dalam radar organisasi manapun.


Dalam era VUCA tersebut mengeksekusi strategi-strategi bisnis sangatlah menantang. Dalam VUCA world ini perubahan yang lebih besar dan lebih cepat, serta mempunyai dampak yang sangat besar, kita sering menamainya dengan kondisi disruptive. Pertanyaan disini adalah bagaimana kita sebagai pemimpin organisasi supaya tetap bertumbuh dan tetap kompetitif? Bagaimana kita secara efektif merekrut, mengembangkan dan menjaga para karyawan kita di tengah lingkungan yang berubah tersebut?

“You have to disrupt yourself or others will do it for you” – Steve Forbes

Lima Ciri Pemimpin yang Super Agile



Perusahaan yang mau bertahan dalam era VUCA seperti saat ini, harus memiliki pemimpin yang “super agile”.


Apa itu agile sih. Menurut definisi kamus Merriam-Webster. Agile adalah mempunyai karakter yang cepat beradaptasi dan bersumber daya. Dalam bahasa Indonesia sering disebut juga tangkas. Jadi merupakan suatu pola pikir dan kebiasaan.

 

Menurut riset Korn Ferry, pemimpin yang disebut super agile adalah mereka yang memiliki kelima ciri sebagai berikut:


1. People Agility

Artinya kita mampu kerjasama dengan siapapun. Setiap orang diharapkan mempunyai kemampuan untuk membangun kerjasama yang baik antar individu lainnya. Dengan mampu bekerja sama dengan siapapun, pekerjaan akan jauh lebih efektif.

“Talent wins games, but teamwork and intelligence win championships” – Michael Jordan

2. Change Agility

Kondisi orang yang mampu beradaptasi dengan perubahan se-ekstrim apapun. Ini juga menjadi salah satu ciri sumber daya manusia yang termasuk dalam kategori "super agile". Di era seperti sekarang ini, perusahaan membutuhkan para pekerja yang mampu menerima perubahan secara cepat dan mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut.

3. Result Agility

Orang yang mampu tetap berprestasi dan menghasilkan dalam kondisi apapun. Terkadang dengan kemajuan jaman yang semakin canggih, plus keterbatasan yang dipunyai oleh individu, membuat orang merasa down karena merasa tak mampu mengikuti perubahan yang ada. Yang diperlukan untuk bisa bertahan di era VUCA ini adalah orang-orang yang mampu menghasilkan sesuatu dalam kondisi yang tak memungkinkan. Karena pada dasarnya, manusia bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

4. Mental Agility

Artinya orang yang mampu bertahan dalam tekanan mental apapun. Mental Agility ini sangat diperlukan dalam bekerja. Seperti yang kita tahu, banyak atasan atau bahkan rekan kerja kita yang mempunyai sikap yang kurang baik, yang berujung pada kemalasan bekerja. Sangat diperlukan SDM yang mampu bertahan dengan lingkungan yang berisi orang dengan mental emosi yang berbeda-beda.

5. Learning Agility

Ciri-ciri yang mampu memahami dan mempelajari hal baru dengan cepat. Learning Agility pun menjadi sesuatu yang wajib dimiliki agar mampu bertahan di era VUCA ini. Individu yang mau belajar dan memahami hal-hal baru dengan cepat, yang akan mempercepat kerja mereka juga. Era ini menuntut kecepatan dan ketepatan kerja. Sikap learning agility ini yang banyak diperlukan oleh perusahan-perusahaan agar mampu bertahan. Seperti kutipan Mahatma Gandhi ini, maka belajarlah seakan kita akan hidup selamanya.

"Live as if you were to die tomorrow, learn as if you were to live forever.” – Mahatma Gandhi

 

Sementara Menurut studi yang dilakukan IMD Business School di Swiss dan perusahaan konsultan manajemen Jerman metaBeratung terhadap lebih dari 1.000 pemimpin organisasi di dunia, ada tiga perilaku dan empat kompetensi yang secara umum ada pada agile leadership.

Tiga perilaku pemimpin yang gesit:

Hyperawareness. Pemimpin agile selalu memantau perubahan kondisi pasar, perkembangan teknologi digital, dan pergeseran kebutuhan pelanggan. Mereka berinvestasi pada sumber daya khusus untuk menjamin akses informasi terbaru dan data real-time yang mereka butuhkan setiap saat. 

Pengambilan keputusan berbasis data. Kepemimpinan yang gesit mengabaikan intuisi dalam pengambilan keputusan dan lebih memercayai kekuatan informasi dan data. Mereka mengolah dan menganalisis data sebagai dasar untuk pengambilan keputusan organisasi.

Eksekusi cepat. Kecepatan menjadi prioritas setiap pemimpin yang gesit dalam beradaptasi terhadap perubahan. Mereka menganalisis informasi, mengambil keputusan, dan mengeksekusinya dengan cepat sekalipun dalam situasi yang sulit. Keputusan cepat seorang nahkoda dapat menyelamatkan kapal dari badai.

Sedangkan empat kompetensi yang perlu dimiliki agile leader meliputi:

Humility. Pemimpin yang gesit memahami bahwa diri mereka bukan seorang ahli yang mampu menyelesaikan persoalan yang kompleks. Mereka menyadari punya kelemahan, sehingga bersedia mendengarkan orang lain dan menghargai umpan balik. 

Adaptability. Pemimpin yang gesit tidak menghindari perubahan, tetapi bersikap fleksibel dan menyesuaikan diri dengan perubahan. Mereka sangat terbuka terhadap kemungkinan merevisi keputusannya berdasarkan data terbaru.

Visionary. Kepemimpinan yang gesit menyediakan visi dan memotivasi orang-orang untuk mewujudkannya. Pemimpin juga menginspirasi pengikutnya dan membangun kolaborasi dalam tujuan yang sama.

Engagement. Pemimpin yang gesit harus terlibat dengan stakeholder internal dan eksternal, dengan karyawan, rekan kerja, hingga pelanggan. Ini membantu mereka memahami apa yang sedang terjadi, selain juga memungkinkan jangkauan komunikasi yang lebih luas untuk mewujudkan ide-ide mereka.

 

Menurut Agile Business Consortium, ada sembilan prinsip agile leadership yang perlu diadopsi para pemimpin bisnis. 

Memberi teladan, bukan sekadar kata-kata

Gaya kepemimpinan yang gesit tidak sekadar menggunakan kata-kata untuk mendorong perubahan. Pemimpin menginspirasi orang lain dengan cara memberi contoh secara aktif. Seorang agile leader akan bekerja lebih dulu sebelum pengikutnya melakukan tindakan yang sama.

Pemimpin tidak bisa hanya menyuruh atau memerintah anggota timnya bekerja sesuai keinginannya tanpa terlibat dalam proses perubahan. Mereka harus tampil di depan dan memulai, kemudian memberi motivasi dan mengembangkan empati kepada pengikutnya.

Menghargai pemikiran berkualitas untuk hasil yang lebih baik

Gaya kepemimpinan agile menghargai pemikiran berkualitas tinggi yang akan menentukan tindakan yang lebih baik. Meluangkan waktu dan menggunakan pendekatan yang penuh pertimbangan untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan adalah ciri khas dari agile leadership

Pemimpin yang gesit berusaha melihat masalah yang kompleks dari berbagai perspektif. Ini memungkinkan mereka membuat keputusan yang tepat, serta mengidentifikasi perilaku yang menghambat kinerja individu maupun tim.

Meminta umpan balik yang efektif

Agile leadership membutuhkan umpan balik yang efektif dari orang-orang di sekitarnya. Umpan balik adalah proses komunikasi dua arah yang dapat memperkuat kepercayaan antar-anggota tim dan mengedepankan tujuan bersama. Umpan balik yang efektif berpengaruh terhadap perilaku atau pemikiran individu dan tim. 

Pemimpin yang gesit secara terus-menerus meminta umpan balik dan melakukan tindak lanjut, baik ketika situasi berjalan sesuai rencana atau saat semuanya tidak berjalan baik. Sedangkan pemimpin yang menutup diri dari umpan balik akan menjadi hambatan utama bagi perbaikan organisasi.

Memberikan makna dan tujuan pada pekerjaan

Salah satu faktor yang membuat orang-orang merasa tidak puas dengan pekerjaannya adalah ketiadaan makna dan tujuan dari apa yang mereka lakukan setiap hari. Orang-orang yang merasa pekerjaannya tidak berarti atau tidak penting cenderung mengalami demotivasi, sehingga sulit diharapkan untuk membangun tim yang solid.

Pemimpin yang gesit akan fokus untuk membangun tujuan bersama. Mereka berupaya memberi makna pada aktivitas tim dengan menyelaraskan nilai-nilai individual dengan pekerjaan, sehingga membuat orang-orang merasa lebih bersemangat, termotivasi, dan terinspirasi.

Mengelola emosi untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi

Agile leadership membangun tim dengan kecerdasan emosional (EQ). Suasana hati dan emosi sangat memengaruhi kinerja, kolaborasi, dan pengambilan keputusan dalam organisasi. Emosi positif akan menyebar secara organik ke seluruh organisasi, bahkan hingga ke pelanggan. 

Karena itu, mendorong emosi positif akan membantu individu berkontribusi lebih kreatif dan inovatif untuk efektivitas organisasi. Lingkungan kerja yang cerdas secara emosional memiliki rekam jejak yang baik dalam meningkatkan kreativitas, produktivitas, dan pemecahan masalah. 

Menerapkan kepemimpinan di seluruh tingkat

Agile leadership harus diterapkan di setiap tingkat dalam organisasi, bukan hanya di pucuk pimpinan. Budaya gesit dikembangkan melalui praktik berkelanjutan oleh para pemimpin tim, departemen, dan organisasi. Ini artinya perubahan membutuhkan komitmen setiap individu.

Pemimpin gesit lebih dekat dengan model kepemimpinan yang melayani (servant leadership), di mana pemimpin dan pengikut berbagi kekuasaan. Para pemimpin mengutamakan kebutuhan orang lain dan membantu mereka untuk tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik. 

Mendistribusikan kekuasaan secara tepat

Tidak seperti kepemimpinan tradisional yang menumpuk kekuasaan di puncak piramida, agile leadership mendistribusikan kekuasaan. Mereka melakukan pemberdayaan dan penyerahan tanggung jawab kepada orang-orang yang memiliki otoritas, pengetahuan, dan keterampilan.

Pemberdayaan berarti memercayai kemampuan karyawan untuk menentukan cara yang optimal dalam menyelesaikan suatu masalah. Para pemimpin yang gesit menyadari bahwa orang-orang akan bekerja dengan performa terbaik mereka saat diberikan energi berupa kepercayaan dan otoritas.

Membangun kolaborasi berbasis kepercayaan

Agile leader membangun kolaborasi berdasarkan kepercayaan. Mereka memfasilitasi kolaborasi dan membiarkan setiap individu bekerja secara mandiri sesuai batasan mereka. Untuk sukses, proses ini membutuhkan semangat kerja sama dan saling menghormati.

Para pemimpin yang gesit perlu memahami bahwa kolaborasi bukan solusi tunggal untuk segala masalah organisasi. Namun, kolaborasi berkelanjutan merupakan aspek penting dalam kehidupan organisasi dan sangat menentukan kinerja, kreativitas, dan inovasi.

Mempercayai bahwa ide-ide hebat bisa datang dari mana saja

Mitos paling mengganggu dalam organisasi adalah percaya bahwa ide-ide terbaik hanya muncul dari orang-orang yang berada di puncak. Akibatnya, banyak ide dari orang-orang berbakat di bawah terbuang percuma. Individu bisa menjadi frustrasi ketika pemimpin mengabaikan ide-ide mereka. 

Kepemimpinan gesit tidak demikian. Mereka memercayai orang-orang di sekitarnya untuk menghasilkan solusi kreatif atas masalah yang mereka hadapi. Agile leader membuka diri terhadap pengaruh dan gagasan orang lain, terlepas dari status atau posisi. Mereka mendengarkan pemikiran dan ide perbaikan.

 Agile Leader


Di era VUCA ini dibutuhkan seorang agile leader yaitu pemimpin yang tangkas. Pemimpin yang agile adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan lingkungannya. Pemimpin yang memiliki kelima ciri “super agile” di atas.

 

Agile leadership ini yang perlu terus dikembangkan dan menjadi mindset yang dimiliki oleh setiap SDM yang ada dalam organisasi kita.

 

Supaya bisa survive di VUCA world tersebut, hal penting yang perlu dipunyai para leader adalah kemampuan mengidentifikasi masalah dan atau peluang dan kemudian bergerak menindaklanjutinya dengan tangkas, dan dilakukan terus-menerus dengan adaptif hingga mencapai tujuan sukses yang diinginkan.



Growth Mindset vs Fixed Mindset



Dari pemahaman di atas, tentu seorang agile leader mempunyai kualitas growth mindset. Istilah fixed vs growth mindset dicetuskan oleh Carol Dweck, profesor psikologi dari Universitas Stanford yang juga merupakan penulis buku terkemuka.


Growth mindset adalah pola pikir orang yang terbuka terhadap informasi. Ini adalah tipikal orang yang tidak mudah menyerah, mempunyai agile spirit.

Sedangkan fixed mindset adalah sebaliknya, orang yang gampang menyerah, dan condong menyalahkan kelemahan dalam diri mereka. Orang yang punya pola pikir fixed ini percaya bahwa karakter, kecerdasan kemampuan dan kreativitas adalah bakat atau bawaan tetap yang tidak bisa diganti.


Kedua pola pikir ini berpengaruh sangat besar terhadap kesuksesan maupun kegagalan seseorang. Jadi hendaklah kita mengembangkan growth mindset dalam budaya kepemimpinan yang ada di perusahaan kita.


OKR untuk Fokus pada Prioritas Terpenting

 

Permasalahan yang sering dialami seorang agile leader adalah bagaimana mereka bisa menyelaraskan (alignment) apa yang sang pemimpin anggap hal paling prioritas, dengan pekerjaan seluruh anggota timnya?

Salah satu sistem manajemen yang dapat dipakai sang pemimpin untuk membantu menentukan area fokus utama yang perlu dilakukan oleh seluruh anggota timnya dalam situasi VUCA ini adalah OKR.


OKR adalah singkatan Objectives dan Key Results. Objectives adalah tujuan atau sasaran apa yang hendak dicapai (goal-setting). Key Results adalah tolak ukur (metrics) yang mengukur pencapaian goal tersebut.

OKR membantu perusahaan untuk fokus pada hal yang super penting, sehingga kita bisa mengerjakan hal-hal yang menjadi prioritas saja. Cocok dalam era VUCA ini, sebagai alat komunikasi yang terstruktur dari top level hingga individual level.

Konsep OKR esensinya ingin membuat semua orang tahu sebenarnya apa yang menjadi fokus perusahaan atau unitnya, tidak dalam waktu setahun tapi tiga bulan ke depan, bahkan bila perlu sebulan ke depan. Sehingga semua insan bisa menyelaraskan pekerjaannya dengan prioritas tersebut. OKR mendorong para pemimpin untuk memilih dan memutuskan apa yang menjadi prioritasnya. Apa hal terpenting yang diperlukan dalam kondisi krisis yang sedang dihadapi?

 Saya percaya bila kita mempunyai kompetensi super agile dari dalam diri, dan ditambah sistem OKR yang membantu mengelola prioritas yang perlu dilakukan, maka akan membangun budaya sukses yang tahan uji di era VUCA ini.

Sebagai penutup, dengan melihat kondisi perubahan di sekitar kita ini maka…

 Bukan yang besar mengalahkan yang kecil

Bukan pula yang cepat mengalahkan yang lambat

Tapi yang sangat cepat mengalahkan yang cepat

Dan yang sangat cepat serta instan akan mengalahkan lainnya.

Apakah Anda siap untuk berubah?



Bandung, 1 April 2022





Komentar