Oleh
Budy Hermawan
Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Islam mengatur semua aspek
hidup dan kehidupan manusia baik secara pribadi, sosial, berbangsa dan
bernegara. Islam mengabarkan tuntunan aspek duniawi dan ukhrawi (akhirat), baik
kabar gembira berupa pahala maupun peringatan/kabar buruk berupa
ancaman/siksaan. Tujuan akhir ajaran Islam adalah membawa setiap pemeluknya
mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat, dengan jalan melakukan segala
yang bermanfaat dan mencegah segala hal yang merugikan atau mudarat. Untuk
mencapai tujuan itulah maka syariat Islam berperan sebagai pedoman hidup. Seperti
diungkapkan dalam kitab suci Al Qurán:
“Wahai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Yunus (10): 57).
Dalam
telaah pemahaman hikmah syariah, atau Maqaashid Al-Syarii’ah kajian Dr. H.
Harun al-Rasyid, S.H. M.Hum, CFE, hadirnya syariat Islam pada dasarnya adalah
untuk memelihara dan melindungi lima hal pokok, yakni:
(1)
Agama,
karena agama adalah pedoman hidup yang mencakup akidah dan syariat, baik kepada
Tuhan maupun kepada sesama manusia,
(2)
Jiwa,
karena Islam mengakui hak hidup setiap manusia secara mendalam dan melarang
penghilangan jiwa,
(3) Akal,
karena keberadaan akal-lah yang membedakan manusia dari binatang dan dengan
akal manusia bisa memperbaiki diri dan memilih jalan hidup mendapat pahala atau
siksa,
(4)
Keturunan,
karena anak keturunan adalah upaya manusia memelihara kemurnian darah dan
kelanjutan kehidupannya,
(5)
Harta
benda, karena Islam mengakui dorongan hidup manusia mencari harta benda
demi pemenuhan kebutuhan sehingga perlu diatur agar tidak bentrok, dan
(6) Kehormatan
diri, karena martabat manusia dalam Islam dianggap lebih berharga dan mulia
dari harta benda.
Dari
kelima hal pokok di atas, memelihara dan melindungi harta benda adalah hal yang
paling bersifat keduniawian. Islam memperhatikan naluri kepemilikan harta benda
sebagai sesuatu yang sangat kodrati. Manusia melakukan dorongan ini tak hanya demi
memenuhi kebutuhan dasar sandang, pangan dan papan, tapi juga sekaligus mengangkat
martabat dan status sosialnya di tengah masyarakat.
Sebagaimana
Allah SWT berfirman:
“Dijadikan
terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan berupa
perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan
perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik” (QS Ali Imran:14)
Melalui
syariat, Allah SWT mengakui dorongan kodrati tersebut sambil membekalinya dengan
rambu-rambu kuat agar manusia mampu mengendalikan dan membatasi perilaku yang menyimpang.
Manusia juga harus mengumpulkan harta dengan cara halal, dan daripadanya
dikeluarkan hak Allah dan manusia lain, serta digunakan untuk hal-hal yang
halal.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu. (QS an-Nisa (4): 29)
Berikut
sejumlah konsep harta dalam pandangan Islam hasil kajian Dr. H. Harun al-Rasyid, S.H.
M.Hum, CFE:
1.
Pemilik hakiki atas segala harta yang
ada di muka bumi adalah Allah SWT. Kepemilikan manusia bersifat nisbi, relatif
sebatas melaksanakan amanah untuk mengelola. “Berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan
kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” (QS Al-Hadid (57):7).
2.
Harta-harta yang dikuasakan Allah
kepada manusia memiliki beberapa fungsi, yakni:
a.
Harta sebagai amanah titipan Allah
SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan
benda dari tiada.
b. Harta sebagai perhiasan hidup yang
memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan.
Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta
kebanggaan diri
c.
Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini
menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan
ajaran Islam atau tidak.
d.
Harta sebagai bekal ibadah, yakni
untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah di antara sesama
manusia melalui zakat, infak dan sedekah.
3.
Untuk dapat memiliki harta, maka
manusia dapat mengupayakan mata pencaharian yang halal sesuai dengan
aturan-Nya. Sebagaimana pernah diriwayatkan hadits ; “Sesungguhnya Allah
mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa yang bekerja keras mencari
nafkah yang halal untuk keluarganya, maka sama dengan mujahid di jalan Allah”
(HR.Ahmad).
4.
Dalam berusaha memperoleh harta benda,
maka dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang melupakan mati,
melupakan mengingat Allah, melupakan shalat dan zakat, dan memusatkan kekayaan
hanya pada sekelompok orang kaya saja.
5.
Dilarang menempuh usaha yang haram,
seperti melalui kegiatan riba, perjudian, jual beli barang yang haram, mencuri
merampok, curang dalam takaran dan timbangan, melalui cara-cara yang batil dan merugikan,
dan melalui suap menyuap.
Sebagaimana
diriwayatkan Abu Daud, Rasulullah berkata: “Seseorang pada hari akhir nanti
pasti akan ditanya tentang empat hal,
usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa digunakan, hartanya darimana
didapatkan dan untuk apa digunakan, serta ilmunya untuk apa digunakan.”
Secara
tekstual maupun substantif, Islam telah memberi rambu-rambu yang keras untuk
mencegah korupsi maupun menegakkan hukum dalam kasus korupsi, tanpa pilih
kasih. Rasulullah SAW bahkan memberi contoh yang sangat tegas seperti
dikisahkan bahwa pada saat terjadi peristiwa pencurian oleh Fatimah, seorang
wanita dari keluarga yang terpandang. Pihak keluarga berusaha menutupi
perbuatannya dengan mendekati sahabat kesayangan nabi untuk meminta keringanan
hukuman atas peristiwa tersebut. Namun Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Demi
Allah yang jiwaku ada di tanganNya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri
niscaya aku memotong tangannya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Kisah
lain yang tak kalah menarik adalah di masa Kekhalifahan Umar Ibn Khathab R.A.,
yang melakukan inspeksi ke pasar untuk memeriksa apakah para pedagang bertindak
jujur dalam menjual dagangannya dan. Umar Ibn Khathab menjumpai beberapa hal sebagai
berikut
a. Beberapa
sahabat yang ditunjuk menjadi pegawai/ aparatur masih melakukan usaha transaksi
perdagangan di pasar, padahal mereka sudah menerima upah. Kemudian Khalifah
Umar RA, mengumpulkan mereka dan melarang melakukan jual beli karena mereka
telah diamanahi urusan melayani umat dan digaji oleh negara. Juga para pejabat
negara waktu itu diperintahkan menghitung kenaikan harta benda yang mereka
miliki, jika dirasa terdapat kenaikan yang tidak wajar dibandingkan dengan usahanya,
maka kelebihan harta tersebut disita untuk baitul maal (kas negara).
b. Abdullah
Ibn Umar, putra Khalifah Umar RA terlihat di pasar dengan hewan ternak yang
dimilikinya lebih baik dan lebih gemuk dari yang lain. Ketika Khalifah Umar RA
memanggil putranya untuk memastikan, Abdullah mengatakan hewan ternak itu
dibelinya dengan harga wajar, lalu digembalakan bersama hewan ternak lain di
lapangan penggembala bersama. Namun Khalifah Umar punya alasan mengapa hewan
ternak milik Abdullah lebih gemuk, yakni karena warga memberi tempat dan waktu
yang lebih leluasa bagi hewan ternak Abdullah karena ia anak Kholifah. Kemudian
Kholifah meminta Abdullah menghitung keuntungan yang wajar dari hewan
ternaknya, kelebihannya diambil untuk baitul maal.
Tindakan
Khalifah Umar RA tersebut di atas, kini dikenal dengan upaya mencegah konflik
kepentingan dalam pengadaan dan Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN). Prof. DR. Hamka antara lain menyampaikan judul korupsi dalam
mengomentari tafsir Al Qur’an Surat Ali Imran ayat 161;
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap[1]tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. Ali-‘Imran [3] : 161) Korupsi adalah berkhianat kepada Allah ;
Melihat
dan menilik pelaksanaan Umar bin Khathab dan Umar bin Abdul Aziz ini (yakni
hadiah pun harus dikembalikan, pen), nyatalah bahwa komisi yang diterima oleh
seorang menteri, karena menandatangani suatu kontrak dengan satu penguasa luar
negeri dalam pembelian barang-barang keperluan menurut rasa halus iman dan
Islam adalah korupsi juga namanya. Kita katakan menurut rasa halus iman dan
Islam adalah guna jadi pedoman bagi pejabat-pejabat tinggi suatu Negara, bahwa
lebih baik bersih dari kecurigaan ummat. (Prof Dr Hamka, Tafsir Al-Azhar, Pustaka
Panjimas, Jakarta, cetakan IV, 1985, juzu’ IV, halaman 143) .
Demikian
juga Imam Ibnu Katsir memberikan penjelasan atas tafsir ayat tersebut dengan
hadits berikut:
Dari
Abi Malik Al-Asyja’i dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Ghulul (pengkhianatan/ korupsi) yang paling besar di sisi Allah adalah korupsi
sehasta tanah, kalian temukan dua lelaki bertetangga dalam hal tanah atau
rumah, lalu salah seorang dari keduanya mengambil sehasta tanah dari bagian
pemiliknya. Jika ia mengambilnya maka akan dikalungkan kepadanya dari tujuh
lapis bumi pada hari Qiyamat. (HR Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahihut Targhiib wt Tarhiib II/ 380 nomor 1869).
Berdasarkan
keterangan Al Qur’an, Al Hadits maupun kisah tersebut menunjukkan bahwa Islam
sangat memberikan perhatian terhadap kepemilikan harta, mencegah dan melarang
terjadinya kecurangan dalam memiliki harta, baik dari cara memperolehnya maupun
aspek peruntukkannya. Ini menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat preventif
bterhadap perilaku koruptif. Meski para ulama berbeda pendapat tentang
definisi, istilah, pengertian, pengklasifikasian jenis maupun proses
pemidanaannya, namun para ulama sepakat bahwa perbuatan korupsi itu termasuk perbuatan
haram dan dilaknat Allah.
Firman Allah SWT
“Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta
sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian
dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui”
(QS.
Al-Ba-qarah [2]: 188)
Bandung, 10 April 2022
Referensi
Buku Saku antikorupsi KPK_RI
Komentar
Posting Komentar