Oleh
Budy Hermawan
Indonesia
memiliki warisan dan tantangan pluralisme budaya (cultural pluralism) secara
lebih mencolok, sehingga dipandang sebagai lokus klasik bagi bentukan baru
masyarakat majemuk (plural society) atau yang disebut masyarakat pluralistik
(Adha, 2015). Kemajemukan masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat dari
dua cirinya yang unik. Pertama; secara herisontal, ia ditandai oleh kenyataan
adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat
serta perbedaan kedaerahan. Kedua, secara vertikal ditandai oleh adanya
perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup
tajam (Nasikun, 2007:3). Menjadi berkah jika keragaman yang ada bergerak menuju
Indonesia yang satu tanpa menghilangkan karakter dan identitas masing-masing.
Namun, manakala keragaman itu bergerak tanpa arah dalam pengertian tidak maju
Indonesia yang satu karena lebih menonjolkan identitas masing[1]masing
(communitarian culture) dari keragaman itu niscaya akan mendatangkan konflik
sosial yang besar. Konflik-konflik sosial yang telah terjadi di Indonesia pada
tahun-tahun terakhir ini telah menyentuh perasaan manusia dan membangkitkan
kecemasan dan ketakutan, karena konflik[1]konflik
tersebut cenderung bersifat destruktif dan menyebabkan kesengsaraan bagi banyak
orang. Hal ini karena konflik sosial yang terjadi di beberapa daerah tidak
dapat dipecahkan oleh mekanisme yang ada, seperti melalui musyawarah.
Konflik
berbau sara yaitu suku, agama, ras, dan antar golongan yang terjadi di Aceh,
Ambon, Papua, Kupang, Maluku dan berbagai daerah lainnya adalah realitas yang
dapat mengancam integrasi bangsa di satu sisi dan membutuhkan solusi konkret
dalam penyelesaiannya. Belum lagi masalah-masalah lain seperi korupsi, narkoba,
pergaulan bebas yang semua itu tentunya merusak moral bangsa. Persoalan ini
kemudian menyebabkan dampak negatif yang banyak, baik material maupun
immaterial, baik fisik maupun psikologis bagi banyak orang. Mendasari hal
tersebut sangat penting diimplementasikan berbagai program yang mempertemukan
warga negara, terutama warga negara muda khususnya melalui kegiatan kemasyarakatan
yang bersifat institusional atau volunteerism (Adha, 2019; Adha et al., 2019a)
agar kelak para calon pemimpin memahami karakteristik pluralistik yang dimiliki
oleh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, bangsa Indonesia memerlukan seorang
pemimpin yang dapat mewujudkan pembangunan nasional sekaligus menyelesaikan
berbagai persolan yang melanda warganega sebagai masyarakat multikultural.
Dalam rangka menjalankan tugas kewajibannya seorang pemimpin harus dapat
menjaga kewibawaannya. Berhasilnya pembangunan nasional tergantung peran aktif
rakyat Indonesia, dengan sikap mental, tekad semangat, ketaatan dan disiplin
nasional dalam menjalankan tugas kewajibannya. Oleh karena itu, perlu
dikembangkan motivasi membangun di kalangan masyarakat luas dan motivasi
pengorbanan pengabdian pada unsur kepemimpinannya. Norma-norma yang tercakup
dalam Pancasila itu sekaligus merupakan sistem nilai yang harus dihayati dan
diamalkan oleh setiap warga negara, khususnya para pemimpin. Melalui
pengimplementasian nilai-nilai Pancasila dalam kepemimpinan, maka nilai-nilai Pancasila
dijadikan sebagai landasan dan pegangan dalam kepemimpinannya untuk mewujudkan
tujuan nasioanal.
KONSEP KEPEMIMPINAN NASIONAL
Beberapa pendapat para ahli
tentang kepemimpinan mengandung pengertian dan makna yang sama. Antara lain
dikemukakan oleh:
1. Sutarto
Kepemimpinan adalah rangkaian kegiatan penataan
berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar
bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Sondang
P. Siagian
Kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi
orang lain agar melaksanakan pekerjaan bersama menuju suatu tujuan tertentu.
3. Ordway
Tead
Kepemimpinan adalah aktifitas mempengaruhi
orang-orang agar mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
4. George
Terry
Kepemimpinan adalah hubungan yang erat ada
dalam diri orang atau pemimpin, mempengaruhi orang-orang lain untuk bekerja
sama secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai keinginan pemimpin.
5. Franklin
G. Mooore
Kepemimpinan adalah kemampuan membuat orang-orang bertindak
sesuai dengan keinginan pemimpin. Dengan demikian maka dapat diketahui bahwa
kepemimpinan pada dasarnya merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang
dalam menggerakan orang lain agar mau bekerja dengan senang hati untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Agar mampu melaksanakan tugas
kewajibannya, pemimpin harus dapat menjaga kewibawaannya. Dia harus memiliki
kelebihan-kelebihan tertentu bila dibanding dengan kualitas orang-orang yang
dipimpinnya. Kelebihan ini terutama meliputi segi teknis, moral, dan semangat
juangnya (Irma Yulianti, 2011).
Beberapa kelebihan tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:
1)
sehat jasmaninya, dengan energi yang
berlimpah-limpah, dan keuletan tinggi.
2)
memiliki integritas kepribadian, sehingga dia
matang, dewasa, bertanggung jawab, dan susila.
3)
rela bekerja atas dasar pengabdian dan prinsip
kebaikan, serta loyal terhadap kelompoknya.
4)
memiliki inteligensi tinggi untuk menanggapi
situasi dan kondisi dengan cermat, efisien-efektif, memiliki kemampuan
persuasi, dan mampu memberikan motivasi yang baik kepada bawahan.
5)
mampu menilai dan membedakan aspek yang positif
dari yang negative dari setiap pribadi dan situasi, agar mendapatkan cara yang
paling efisien untuk bertindak.
Kartono (2008)
menjelaskan ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh kepemimpinan,
yaitu:
1.
Kepemimpinan di era pembangunan nasional harus
bersumber pada falsafah negara, yakni pancasila
2.
Kepemimpinan Pancasila mampu menggali intisari
dari nilai-nilai tradisional yang luhur, untuk kemudian dipadukan dengan nilai[1]nilai
positif dari modernisasi.
3.
Memahami benar makna dari perencanaan,
pelaksanaan, dan tujuan pembangunan yang ingin dicapai
Menurut
(Hakim, 2013) Kepemimpinan berbasis Pancasila tidak akan dapat terlepas dari
bangunan konseptual kelima sila yang ada di dalamnya. Bagaimana sila ketuhanan
ditempatkan yang pertama sebagai dasar moralitas. Sebagai sila yang bersifat
kausa prima (sumber dari dari sila-sila yang lain) maka mau tidak mau pemimpin
yang dimaksud disini adalah pemimpin yang ber-Tuhan, bermoral dan benar-benar
menjalankan eksistensinya di dunia untuk mensejahterakan alam beserta manusia
yang ada di dalamnya.
Sila
kedua adalah sila kemanusian yang adil dan beradab, sebagai salah satu cara
untuk mencapai tujuan bernegara dan berbangsa. Sifat humanisme universal yang
diperjuangkan seluruh bangsa-bangsa melalui HAM (Hak Asasi Manusia).
Sila
ketiga adalah sila persatuan, yang juga sebagai cara untuk mencapai tujuan
bernegara dan berbangsa. Dalam pembahasan kepemimpinan antara goal oriented dan
process oriented, maka Kepemimpinan berbasis Pancasila menekankan pada semangat
persatuan yang artinya semangat untuk terus berproses.
Sila
keempat, adalah tentang kerakyatan atau demokrasi Indonesia, yang menjadi
tujuan mengapa kita bernegara dan berbangsa. Kepemimpinan berdasarkan nilai
dasar sila ini adalah yang mampu membangun sistem yang demokratis dalam
bernegara dan berbangsa, baik dalam aspek politik, ekonomi, budaya, pendidikan,
dan lain sebagainya sehingga tercapai tujuan nasional secara demokratis dan
bermartabat.
Sila
kelima adalah tentang keadilan social yang menjadi tujuan akhir kita bernegara.
Intinya, yang dibangun Kepemimpinan berbasis Pacasila bukan hanya melulu
tentang keadilan hukum, bukan hanya keadilan ekonomi, keadilan politik,
keadilan dalam pendidikan, namun yang mempunyai tantangan tinggi yakni keadilan
sosial.
HAKIKAT SILA PANCASILA
Tentang
hakikat sila-sila Pancasila perlu ditengarai makna dan arti dari setiap sila
Pancasila secara hakiki agar mendapatkan gambaran tentang inti arti Pancasila
agar dapat menjelma dan menjadi kepribadian bangsa atau masyarakat Indonesia
(Adha & Susanto, 2020). Maka, sudah tepat hanya lima sila itu yang dimasukan
dalam dasar filsafat negara sebagai inti kesamaan dari segala keadaan yang
beraneka warna dan juga telah mencukupi, dalam arti tidak ada lainnya yang
tidak dapat dikembalikan kepada salah satu sila Pancasila. Notonegoro (Pandji
Setijo, 2010:18).
Sila Pertama;
Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengandung pengertian dan keyakinan adanya Tuhan YME,
pencipta alam semesta beserta isinya. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
ditegaskan meskipun bukan negara agama, bukan juga negara sekuler melainkan
adalah negara beragama. Bukan negara agama karena tidak menerapkan hukum agama
tertentu sebagai hukum positif. Bukan pula negara sekuler yang memisahkan
urusan negara dan urusan agama, sedangkan negara beragama dimaksud bahwa NKRI
perlu hukum positif yang disepakati oleh seluruh bangsa, termasuk seluruh
penyelenggara negara yang agamanya beraneka ragam dan negara wajib melindungi
segenap agama yang diakui serta negara tidak dibenarkan mencampuri urusan
akidah agama apapun.
Sila Kedua;
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemanusiaan berasal dari kata manusia yaitu
manusia berbudi yang memiliki potensi pikir, rasa, karsa dan cipta karena
berpotensi menduduki martabat yang tinggi. Adil mengandung arti bahwa suatu
keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma yang objektif, tidak
subjektif apalagi sewenang-wenang dan otoriter. Beradab berasal dari kata adab,
memiliki arti budaya yang telah berabad[1]abad
dalam kehidupan manusia. Jadi beradab berarti berkebudayaan yang lama
berabad-abad, bertata kesopanan, dan bermoral.
Sila Ketiga;
Persatuan Indonesia. Persatuan berasal dari kata satu berarti utuh tidak
terpecah-belah, mengandung bersatunya bermacam corak yang beraneka ragam yang
bersifat kedaerahan menjadi satu kebulatan secara nasional. Selain itu,
persatuan bangsa yang bersifat nasional mendiami suatu wilayah Indonesia,
bersatu menuju kehidupan bangsa yang berbudaya bebas dalam wadah negara
kesatuan rebublik Indonesia yang merdeka dan berdaulat menuju terbentuknya
suatu masyarakat madani.
Sila Keempat;
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Sila ini mengandung arti bahwa rakyat dalam NKRI menjalankan
keputusannya dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat
serta penuh tanggungjawab dari para pemimpin yang profesional, baik kepada
Tuhan YME maupun kepada rakyat yang diwakilinya.
Sila Kelima;
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial berarti keadilan
yang berlaku dalam masyarakat segenap bidang kehidupan. Seluruh rakyat
Indonesia berarti setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia baik yang berada
di dalam maupun di luar negeri. Jadi, setiap bangsa Indonesia mendapat
perlakuan yang adil dibidang hukum, politik, social, ekonomi dan budaya.
Pancasila
secara bulat dan utuh sangat sesuai menjadi milik bangsa Indonesia sebagai
dasar dan ideologi negara. Setiap warganegara Indonesia wajib memahami makna
dari sila-sila pancasila dan menjadikan nilai-nilai pancasila sebagai landasan
bersikap dan berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
(Faradila et al., 2014).
Secara
ringkas (Latif, 2011) menguraikan
pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan kenegaraan menurut alam Pancasila
sebagai berikut:
Pertama;
munurut alam pemikiran Pancasila, nilai[1]nilai
ketuhanan (religiusitas) sebagai sumber etika dan spiritualitas dianggap
penting sebagai fundamentaletika kehidupan bangsa.
Kedua;
menurut alam pemikiran Pancasila, nilai nilai kemanusiaan universal yang
bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia (yang
bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamental etika. politik
kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Landasan etika sebagai prasarat
persaudaraan universal ini adalah adil dan beradab.
Ketiga;
menurut alam pemikiran Pancasila, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan itu
terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang
lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. menurut alam
pemikiran Pancasila, Persatuan dari kebhinnekaan masyarakat Indonesia dikelola
berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman,
dan keragaman dalam persatuan yang dalam slogan negara dinyatakan dalam
ungkapan Bhinneka Tunggal Ika.
Keempat;
menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan dan
cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan. Kelima; menurut alam pemikiran Pancasila, dalam visi keadilan
sosial menurut Pancasila yang dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan
kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai mahluk
individu, mahluk sosial, juga keseimbangan atara pemenuhan hak sipil dan
politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya.
Komentar
Posting Komentar