Catatan kecil Korupsi di
Indonesia
Oleh Budy Hermawan
Kosa kata korupsi sudah sangat
popular di Indonesia. Dari anak-anak sampai orang tua, dari desa sampai kota,
kalangan masyarakat awam sampai kaum berpendidikan, semuanya mendengar,
membaca, maupun menyebut kata korupsi. Hal ini terjadi karena masalah dan kasus
korupsi telah menjadi konsumsi media publik baik cetak maupun elektronik.
Setiap hari hampir media
publik tidak pernah absen menyuguhkan berita tentang korupsi. Bahkan beberapa
waktu lalu “Jum’at Keramat” menjadi suatu fenomena baru dalam masyarakat kita.
Istilah ini muncul ketika kasus korupsi di negeri ini memiliki siklus yang
dapat diprediksi oleh masyarakat yakni setiap malam Jum’at Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menangkap target baru pelaku korupsi. Fenomena ini sangat
memprihatinkan karena menunjukkan tingginya tingkat korupsi di negeri ini.
Para pejabat di negeri ini
seolah terjebak dalam ranjau korupsi, yakni suatu lingkungan yang sulit bagi
mereka untuk tidak melakukan korupsi. Kejahatan ini biasanya dilakukan secara
“berjamaah”. Seseorang ketika masuk dalam lingkungan elite politik/ kekuasaan
terseret dalam pusaran budaya massif korupsi. Barangsiapa tidak mengikuti arus
atau melawan arus maka mereka akan diisolir atau dikucilkan. Hanya orang-oang
yang kuat dan tangguh yang mampu bertahan tidak terseret arus atau bahkan
melawan arus tersebut. Hal ini menjadikan masyarakat apatisme karena kenyataan
bahwa para oknum yang ketika belum masuk sistem kekuasaan mereka bersih dan
vocal namun kenyataannya ketika masuk dalam sistem kekuasaan ternyata mereka
ikut meramaikan permainan korupsi di Indonesia. Korupsi telah menjadi sebuah
budaya yang massif.
Pelaku korupsi sebagian besar
adalah pejabat yang memiliki wewenang untuk mengambil kebijakan. Penyelewengan
penggunaan kewenangan menetapkan kebijakan dilakukan dengan mengambil keputusan
tidak didasarkan pada kepentingan negara tetapi untuk kepentingan
pribadi/kelompok. Seperti penetapan pemenang tender suatu proyek yang dipilih
belum tentu dari penawaran/peserta terbaik. Pemenang lelang dapat diskenario
oleh pemegang kekuasaan, dipilih peserta yang bersedia kong kalikong untuk
memberikan keuntungan pribadi/kelompok pemegang kekuasaan. Sedangkan penawar
yang terbaik belum tentu menang karena tidak menjanjikan memberikan keuntungan
tertentu bagi pemengang kekuasaan. Contohnya Kasus Asabri, Kasus bantuan Sosial
( BANSOS), Jual beli jabatan dikalangan Pemerintah daerah , Pengadaan Satelit dan deretan kasus lainnya.
Meskipun publik sudah sangat
akrab dengan kosa kata korupsi, namun bukan jaminan mereka paham makna korupsi
itu sendiri. Lebih ironis lagi kalau mereka mengutuk korupsi tetapi melakuan
tindak korupsi karena ketidakpahaman tentang korupsi. Rumusan korupsi
berdasarkan Pasal 3 UU nomor 31 Tahun 1999, untuk menyimpulkan apakah suatu
perbuatan termasuk tindak korupsi atau tidak, harus
memenuhi unsur-unsur:
1. Setiap orang;
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
4. Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
5. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Untuk mengenal lebih dekat tentang korupsi perlu dipahami tentang modus dan perspektif korupsi. Modus dan perspektif korupsi sangat beragam. Namun demikian dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis korupsi secara luas (Shah & Schacter, 2004):
1. Grand corruption: yaitu sejumlah kecil pejabat melakukan pencurian atau penyalahgunaan sejumlah besar sumber daya publik
2. State or regulatory capture yaitu kolusi yang dilakukan oleh lembaga publik dengan swasta untuk memperoleh keuntungan pribadi
3. Bureaucratic or petty corruption yaitu keterlibatan sejumlah besar pejabat publik dalam menyalahgunakan jabatan untuk mendapatkan sogokan kecil atau uang semir.
Grand corruption dan state/regulatory capture biasanya
dilakukan oleh para elite politik atau pejabat pemerintah senior yang merancang
kebijakan atau perundang-undangan untuk keuntungan diri mereka sendiri dengan
memungkinkan mereka untuk menyalahgunakan sejumlah besar pendapatan dan
fasilitas umum serta menerima suap dari perusahaan-perusahaan nasional atau
transnasional. Sedangkan bureaucratic/petty corruption biasanya dilakukan oleh
pegawai negeri sipil biasa sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan. Korupsi
seperti ini biasanya terjadi pada titik pelayanan publik, misalnya, terjadi di
layanan imigrasi, polisi, rumah sakit, pajak, sekolah, atau perizinan. Ada 3
perspektif korupsi berdasarkan konteks analisis yang digunakan, yaitu:
1)
Public-office-centered, korupsi adalah sebuah
penyimpangan perilaku dari tugas-tugas normal pejabat publik atau peanggaran
terhadap aturan untuk melayani kepentingan pribadi, termasuk penyuapan,
nepotisme, dan penyelewengan (Nye 1967)
2)
Market–centered yaitu korupsi adalah sebuah
penyalahgunaan jabatan oleh pejabat publik dengan memonopoli kantor mereka dan
proses membuat kebijakan sebagai sarana memaksimalkan kepentingan diri mereka
sendiri (van Klaveren 1989)
3)
Public -interest-centered yaitu korupsi adalah
tindakan seorang pemegang kekuasaan yang mengistimewakan siapapun yang
memberikan imbalan dan dengan demikian membuat kerusakan pada prinsip persamaan
(equity) dalam pelayanan masyarakat umum (Frederick, 1966)
Korupsi politis terjadi di
banyak negara dan menjadi ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi jenis ini
terlihat bahwa kebijaksanaan pemerintah tidak memihak kepentingan rakyat tetapi
memihak atau menguntungkan pihak pemberi sogok. Contohnya penetapan peraturan
yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil.
Politikus yang pro bisnis ini hakikatnya hanya mengembalikan pertolongan kepada
perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar pada mereka seperti pada saat
kampanye pemilu untuk memenangkan dirinya.Menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum
di Tahun 2024 akan sangat rawan bila kita kurang menyadari dan memahami aturan
dasar hukum tentang Antikorupsi serta Peraturan Perundang-undangan yang
mengatur tentang Pemilu.
Bagi kita yang ada dalam ranah
Birokrasi Pemerintah yang terikat dengan Kode Etik sebagai ASN kiranya harus
lebih bijak dan mawas diri dalam bersikap dan mengambil langkah serta
kebijakan. Setiap sikap dan langkah kita harus mencerminkan nilai-nilai
Ber-Akhlak sebagai Core Value yang harus kita junjung tinggi dalam diri kita
sebagai ASN. Negara Republik Indonesia
yang beberapa hari lagi akan memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaannya yang
ke 77 harus mampu menjadi Negara yang Sejahtera serta mampu memberikan rasa
aman, damai, tentram bagi seluruh masyarakatnya.
Bandung, 9 Agustus 2022
Komentar
Posting Komentar