Astabrata,
Sumber Nilai-Nilai Kepemimpinan Jawa
Oleh
Budy Hermawan
Pelatihan kepemimpinan merupakan
jantung dari proses pengembangan kompetensi. Kualitas pelatihan kepemimpinan bersifat
kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari berbagai macam persepsi dan sudut
pandang yang melintasi garis waktu. Pembelajaran sejarah terdiri dari dua kata, yaitu pembelajaran dan sejarah. Pembelajaran
adalah proses atau suatu cara yang dilakukan agar seseorang maupun sekelompok
orang dapat melakukan kegiatan belajar untuk membuat diri mereka lebih cepat
berkembang. Sedangkan menurut Mulyasa (2006:110), menyebutkan bahwa
pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dan
lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik, di
mana dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik
internal yang ada pada individu, maupun faktor eksternal yang datang dari
lingkungan. Pada proses pembelajaran juga tidak hanya lingkungan belajar,
tetapi juga meliputi guru, alat peraga, perpustakaan, laboratorium dan sebagainya
untuk menunjang proses belajar mengajar di kampus. Sedangkan pembelajaran
sejarah menurut I Gede Widja (1989:23) pembelajaran sejarah adalah aktivitas
belajar mengajar, didalamnya memuat pelajaran tentang peristiwa masa lampau
yang berkaitan erat dengan masa kini, sebab dengan kacamata masa kini kita mampu
mempelajari masa lampau.Pembelajaran sejarah mempunyai peranan dalam upaya
pembentukan karakter bangsa dan menanamkan nilai budaya. Pembelajaran sejarah
berfungsi untuk menyadarkan peserta akan adanya proses perubahan dan
perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu dan untuk membangun perspektif
serta kesadaran sejarah dalam menemukan, memahami, dan menjelaskan jati diri
bangsa di masa lalu, masa kini, dan masa depan di tengah-tengah perubahan dunia
.
Pembelajaran sejarah juga
merupakan cara untuk membentuk sikap sosial. Adapun sikap sosial tersebut
antara lain: saling menghormati, menghargai perbedaan, toleransi dan kesediaan
untuk hidup berdampingan dalam nuansa multikulturalisme (Susanto, 2014:62).
Menurut Fathurrohman (2015:28) menjelaskan bahwa terdapat beberapa komponen
dalam kegiatan pembelajaran, salah satunya yaitu tujuan pembelajaran berupa
pencapaian hasil kegiatan pembelajaran atau kompetensi yang terdiri dari kognitif,
afektif, dan psikomotorik.
Berdasarkan uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah merupakan suatu proses pemahaman
kembali filosofi terhadap suatu sejarah yang terjadi dimasa lampau yang akan
bertranformasi di masa kini dan yang akan datang . Filosofi tentang suatu studi
seperti ; politik, hukum, militer, sosial, keagamaan, kreativitas (seperti yang
berkaitan dengan seni, musik, arsitektur Islam), keilmuan dan intelektual
(Sapriya, 2017:26).
Sasaran dan Tujuan Pembelajaran
Sejarah Sasaran merupakan sebuah petunjuk untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran.
Oleh karena itu, dalam setiap pembelajaran sejarah diharapkan memiliki sasaran
dan tujuan yang menjadi pokok dalam prosesnya. Sasaran umum pembelajaran
sejarah oleh Kochar (2008:7) diuraikan ke dalam beberapa bagian yang dalam hal
ini lebih disederhanakan sebagai berikut:
a.
Menambah pengetahuan tentang kesejarahan.
b.
Memahami konsep perubahan dan keberlanjutan
terkait manusia, ruang dan waktu.
c.
Melatih kemampuan berfikir kritis dan alanitis
serta melatih keterampilan dalam menyelesaikan suatu masalah.
d.
Menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara.
e.
Menanamkan sikap intelektualitas.
Melalui pendapat Kochar di
atas, dapat disimpulkan bahwa para peserta diharapkan mampu mengembangkan
kemampuan berfikir kritis dan rasa ingin tahu yang mendalam mengenai unsur
kesejarahan. Sementara itu Heri Susanto (2014) menagatakan dalam standar isi
tujuan pembelajaran sejarah ditetapkan sebagai berikut:
1.
Membangun kesadaran peserta didik tentang
pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa
kini, dan masa depan
2.
Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami
fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan
metodologi keilmuan
3.
Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta
didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di
masa lampau
4.
Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap
proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih
berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang
5.
Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai
bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang
dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun
internasional.
Kepemimpinan
Pemimpin itu mempunyai sifat,
kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang unik dan khas
sehingga tingkah laku dan gayanya yang membedakan dirinya dari orang lain. Gaya
atau style hidupnya ini pasti akan mewarnai perilaku dan tipe kepemimpinannya.
Kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan kekuatan
moral yang kreatif, yang mampu mempengaruhi
para anggota untuk mengubah sikap, sehingga mereka searah dengan kemauan dan
aspirasi pemimpin. Padahal semestinya pemimpin merupakan sosok yang menjadi
teladan panutan bagi yang dipimpinnya.
Kepemimpinan adalah proses
mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas tugas dari orang-orang dalam
kelompok. Kepemimpinan berarti melibatkan orang lain, yaitu bawahan atau
karyawan yang dipimpin (Sunarto, 2005). Menurut Kartono (2010), pemimpin itu
mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang unik
khas sehingga tingkah laku dan gayanya yang membedakan dirinya dari orang lain.
Sedangkan menurut Winardi (2004) mendefinisikan pemimpin adalah seseorang yang
karena kecakapan-kecakapan pribadinya dengan atau tanpa pengangkatan resmi
dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya untuk menggerakkan usaha bersama
kearah pencapaian sasaransasaran tertentu.
Tugas
pokok seorang pemimpin yaitu:
1)
Memberikan suatu kerangka pokok yang jelas yang
dapat dijadikan pegangan bagi pengikut-pengikutnya;
2) Mengawasi, mengendalikan serta menyalurkan
perilaku warga masyarakat yang dipimpinnya;
3)
Bertindak sebagai wakil kelompok kepada dunia
diluar kelompok yang dipimpin.
Nilai-Nilai
Astha Brata
Secara umum pengertian nilai
dipahami sebagai indikator atau tolak ukur bagi manusia sebagai makhluk sosial.
Menurut Rokeach dan Bank menyatakan bahwa nilai merupakan suatu tipe
kepercayaan yang berada pada suatu lingkup sistem kepercayaan dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, penting adanya penanaman nilai-nilai kearifan
lokal dalam pembelajaran sejarah. Salah satu konsep
kepemimpinan berasal dari
budaya Indonesia adalah kepemimpinan model Jawa, atau yang lebih dikenal dangan
ajaran Asta (Astha) Brata. Secara etimologis kata Asta Brata berasal dari
bahasa Sansekerta, Asta berarti delapan; dan Brata: berarti laku atau pedoman
(Suyami, 2008). Jika digolongkan kedalam klasifikasi Yukl (2010), ajaran
kepemimpinan Asta Brata dapat digolongkan kedalam pendekatan trait yang mengacu
pada sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki seorang pemimpin.
Kata Asta Brata awalnya
berasal dari kitab Manawa Dharma Sastra (kitab hukum Hindu) yang ditulis dalam
bahasa Sansekerta. Manawa Dharma Sastra dihimpun oleh Bhagawan Bhirgu yang
diajarkan oleh Manu, pemuka agama Hindu. Pada kitab ini disebutkan bahwa
seorang raja harus bertindak berlandaskan pada kedelapan sifat dewa (Manu,
Pudja, Sudharta, 2003). Asta Brata awalnya tertulis sebagai ajaran agar berperilaku
seperti sifat-sifat dewa, itu pun tidak semuanya yang melambangkan elemen alam
tertentu. Lebih lanjut, konsep ajaran kepemimpinan Asta Brata pun berkembang
dalam berbagai macam variasi. Ajaran Asta Brata salah satunya dipaparkan dalam
Serat Rama (Soetomo, Sujata, Astusi, 1993), yang dikisahkan sebagai wejangan
Rama kepada Wibisana untuk memimpin kerajaan Ngalengka. Serat Rama merupakan
gubahan dari Ramayana Kakawin yang ditulis dalam bahasa Jawa modern oleh
Yasadipura I (1729-1803 M) seorang sastrawan Jawa kuno yang berasal dari
Kasunanan Surakarta (Ricklefs, 1991). Versi cerita Ramayana lain, salah satunya
yang paling populer adalah Ramayana karangan Walmiki. Namun ajaran Asta Brata
tidak ditemukan di Ramayana versi Walmiki, ajaran ini hanya ditemukan di Ramayana
versi Jawa (Serat Rama).
Menurut Moertono ( 1922: 42)
terdapat 8 sifat atau watak (ambeg) delapan dewa yaitu Wisnu (Bumi), Bayu
(Angin), Baruna (Samudera), Candra (Bulan), Surya (Matahari), Indra (Langit),
Agni (Api) dan Ismaya (Bintang).Sifat kebaikan dikaitkan dengan dikaitkan dengan
Batara Endra, pemimpin bagi semua dewa. Kemampuan untuk menekan segala
kejahatan, dikaitkan dengan dewa bintang Jama. Mempengaruhi dalam kebaikan dan
perilaku yang bijak, atribut untuk dewa matahari, Surja. Lovingness atau penuh
dengan cinta, dikaitkan dengan batara Tjandra. Kesadaran yang tajam dan wawasan
yang mendalam, dikaitkan dengan dewa angin, Baju. Kedermawanan dengan kekayaan
materi dan rekreasi dikaitkan dengan dewa laut, Baruna. Keberanian dan tekad
yang berapi-api semangat dalam menentang musuh apapun dikaitkan dengan api dewa
Brama. Sifat-sifat tersebut harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memimpin
bangsa ini.oleh karena itu, delapan sifat tersebut penting untuk diintegrasikan
dalam pembelajaran sejarah kepada siswa sebagai penguatan sikap kepemimpinan
mereka. Sukmadinata (2007) mengemukakan bahwa seiring perkembangan zaman, tantangan
yang harus dihadapi konselor adalah pengaruh nilai sosial dan budaya luar, sebab
itu memasukkan nilai ajaran Asthabrata untuk mengembangkan karakter kepemimpinan
siswa dirasa sangat pantas, hal ini senada dengan pendapat Hurlock (2009) bahwa
budaya memiliki peran dalam mengembangkan karakter individu. Hal tersebut juga
diperkuat dengan pendapat Tilaar (2004) bahwa internalisasi nilai budaya dapat
menjadi alternatif penguat karakter bangsa.Berdasarkan hasil literature review yang
dilakukan dari sumber jurnal. Diketahui bahwa penting untuk mengintegrasikan sebuah
kearifan lokal dalam pembelajaran sejarah sebagai penguatan sikap kepemimpinan
siswa. Salah satunya yaitu Astha Brata.
Kesimpulan
Belajar dari hikmah
kebijaksanaan alam semesta tersebut, maka seorang pemimpin sejati harus sanggup
bukan saja menyelaraskan dirinya dengan kaula-nya, tetapi lebih jauh bahkan
juga menyelaraskan dirinya dengan kosmis alam raya. Hal ini dalam rangka
merealisasikan tujuan dan sikap suwung ing pamrih, tebih ajrih, dan rame ing
gawe.
Pemimpin sejati adalah
pemimpin yang harus memiliki sikap Integritas serta kenegarawanan yang tinggi
dalam bersikap, bertindak serta memimpin bangsa dan negara.
Bandung, 07 Nopember 2022
Komentar
Posting Komentar