Astabrata, Sumber Nilai-Nilai Kepemimpinan Jawa

 


 



Astabrata, Sumber Nilai-Nilai Kepemimpinan Jawa

Oleh

Budy Hermawan

 Seiring berkembangnya zaman dan dampaknya ke dunia pelatihan kepemimpinan , penting untuk memanfaatkan kearifan lokal berbasis Astra Brata dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran sejarah. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk menguatkan sikap kepemimpinan kepada peserta dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai Astra Brata dalam pembelajaran. Tujuan pelatihan kepemimpinan adalah mencakup  tiga aspek secara spesifik, yaitu Afektif (Sikap), Kognitif (Pengetahuan), dan Psikomotorik (Keterampilan). Oleh karena itu, berkaitan dengan sikap. Perlu adanya pemanfaatan kearifan lokal nilai-nilai Astha Brata dalam pembelajaran sejarah sebagai penguatan sikap kepemimpinan peserta .

Pelatihan kepemimpinan merupakan jantung dari proses pengembangan kompetensi. Kualitas pelatihan kepemimpinan bersifat kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari berbagai macam persepsi dan sudut pandang yang melintasi garis waktu. Pembelajaran sejarah terdiri dari dua kata,  yaitu pembelajaran dan sejarah. Pembelajaran adalah proses atau suatu cara yang dilakukan agar seseorang maupun sekelompok orang dapat melakukan kegiatan belajar untuk membuat diri mereka lebih cepat berkembang. Sedangkan menurut Mulyasa (2006:110), menyebutkan bahwa pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik, di mana dalam interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik internal yang ada pada individu, maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan. Pada proses pembelajaran juga tidak hanya lingkungan belajar, tetapi juga meliputi guru, alat peraga, perpustakaan, laboratorium dan sebagainya untuk menunjang proses belajar mengajar di kampus. Sedangkan pembelajaran sejarah menurut I Gede Widja (1989:23) pembelajaran sejarah adalah aktivitas belajar mengajar, didalamnya memuat pelajaran tentang peristiwa masa lampau yang berkaitan erat dengan masa kini, sebab dengan kacamata masa kini kita mampu mempelajari masa lampau.Pembelajaran sejarah mempunyai peranan dalam upaya pembentukan karakter bangsa dan menanamkan nilai budaya. Pembelajaran sejarah berfungsi untuk menyadarkan peserta akan adanya proses perubahan dan perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu dan untuk membangun perspektif serta kesadaran sejarah dalam menemukan, memahami, dan menjelaskan jati diri bangsa di masa lalu, masa kini, dan masa depan di tengah-tengah perubahan dunia .

Pembelajaran sejarah juga merupakan cara untuk membentuk sikap sosial. Adapun sikap sosial tersebut antara lain: saling menghormati, menghargai perbedaan, toleransi dan kesediaan untuk hidup berdampingan dalam nuansa multikulturalisme (Susanto, 2014:62). Menurut Fathurrohman (2015:28) menjelaskan bahwa terdapat beberapa komponen dalam kegiatan pembelajaran, salah satunya yaitu tujuan pembelajaran berupa pencapaian hasil kegiatan pembelajaran atau kompetensi yang terdiri dari kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sejarah merupakan suatu proses pemahaman kembali filosofi terhadap suatu sejarah yang terjadi dimasa lampau yang akan bertranformasi di masa kini dan yang akan datang . Filosofi tentang suatu studi seperti ; politik, hukum, militer, sosial, keagamaan, kreativitas (seperti yang berkaitan dengan seni, musik, arsitektur Islam), keilmuan dan intelektual (Sapriya, 2017:26).

Sasaran dan Tujuan Pembelajaran Sejarah Sasaran merupakan sebuah petunjuk untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, dalam setiap pembelajaran sejarah diharapkan memiliki sasaran dan tujuan yang menjadi pokok dalam prosesnya. Sasaran umum pembelajaran sejarah oleh Kochar (2008:7) diuraikan ke dalam beberapa bagian yang dalam hal ini lebih disederhanakan sebagai berikut:

a.    Menambah pengetahuan tentang kesejarahan.

b.    Memahami konsep perubahan dan keberlanjutan terkait manusia, ruang dan waktu.

c.    Melatih kemampuan berfikir kritis dan alanitis serta melatih keterampilan dalam menyelesaikan suatu masalah.

d.    Menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara.

e.    Menanamkan sikap intelektualitas.

Melalui pendapat Kochar di atas, dapat disimpulkan bahwa para peserta diharapkan mampu mengembangkan kemampuan berfikir kritis dan rasa ingin tahu yang mendalam mengenai unsur kesejarahan. Sementara itu Heri Susanto (2014) menagatakan dalam standar isi tujuan pembelajaran sejarah ditetapkan sebagai berikut:

1.    Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan

2.    Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan

3.    Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau

4.    Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang

5.    Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.

 

Kepemimpinan

Pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang unik dan khas sehingga tingkah laku dan gayanya yang membedakan dirinya dari orang lain. Gaya atau style hidupnya ini pasti akan mewarnai perilaku dan tipe kepemimpinannya. Kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan kekuatan moral yang kreatif, yang mampu  mempengaruhi para anggota untuk mengubah sikap, sehingga mereka searah dengan kemauan dan aspirasi pemimpin. Padahal semestinya pemimpin merupakan sosok yang menjadi teladan panutan bagi yang dipimpinnya.

Kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas tugas dari orang-orang dalam kelompok. Kepemimpinan berarti melibatkan orang lain, yaitu bawahan atau karyawan yang dipimpin (Sunarto, 2005). Menurut Kartono (2010), pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang unik khas sehingga tingkah laku dan gayanya yang membedakan dirinya dari orang lain. Sedangkan menurut Winardi (2004) mendefinisikan pemimpin adalah seseorang yang karena kecakapan-kecakapan pribadinya dengan atau tanpa pengangkatan resmi dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya untuk menggerakkan usaha bersama kearah pencapaian sasaransasaran tertentu.

Tugas pokok seorang pemimpin yaitu:

1)    Memberikan suatu kerangka pokok yang jelas yang dapat dijadikan pegangan bagi pengikut-pengikutnya;

2)   Mengawasi, mengendalikan serta menyalurkan perilaku warga masyarakat yang dipimpinnya;

3)    Bertindak sebagai wakil kelompok kepada dunia diluar kelompok yang dipimpin.

 

Nilai-Nilai Astha Brata

Secara umum pengertian nilai dipahami sebagai indikator atau tolak ukur bagi manusia sebagai makhluk sosial. Menurut Rokeach dan Bank menyatakan bahwa nilai merupakan suatu tipe kepercayaan yang berada pada suatu lingkup sistem kepercayaan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, penting adanya penanaman nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran sejarah. Salah satu konsep

kepemimpinan berasal dari budaya Indonesia adalah kepemimpinan model Jawa, atau yang lebih dikenal dangan ajaran Asta (Astha) Brata. Secara etimologis kata Asta Brata berasal dari bahasa Sansekerta, Asta berarti delapan; dan Brata: berarti laku atau pedoman (Suyami, 2008). Jika digolongkan kedalam klasifikasi Yukl (2010), ajaran kepemimpinan Asta Brata dapat digolongkan kedalam pendekatan trait yang mengacu pada sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki seorang pemimpin.

Kata Asta Brata awalnya berasal dari kitab Manawa Dharma Sastra (kitab hukum Hindu) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta. Manawa Dharma Sastra dihimpun oleh Bhagawan Bhirgu yang diajarkan oleh Manu, pemuka agama Hindu. Pada kitab ini disebutkan bahwa seorang raja harus bertindak berlandaskan pada kedelapan sifat dewa (Manu, Pudja, Sudharta, 2003). Asta Brata awalnya tertulis sebagai ajaran agar berperilaku seperti sifat-sifat dewa, itu pun tidak semuanya yang melambangkan elemen alam tertentu. Lebih lanjut, konsep ajaran kepemimpinan Asta Brata pun berkembang dalam berbagai macam variasi. Ajaran Asta Brata salah satunya dipaparkan dalam Serat Rama (Soetomo, Sujata, Astusi, 1993), yang dikisahkan sebagai wejangan Rama kepada Wibisana untuk memimpin kerajaan Ngalengka. Serat Rama merupakan gubahan dari Ramayana Kakawin yang ditulis dalam bahasa Jawa modern oleh Yasadipura I (1729-1803 M) seorang sastrawan Jawa kuno yang berasal dari Kasunanan Surakarta (Ricklefs, 1991). Versi cerita Ramayana lain, salah satunya yang paling populer adalah Ramayana karangan Walmiki. Namun ajaran Asta Brata tidak ditemukan di Ramayana versi Walmiki, ajaran ini hanya ditemukan di Ramayana versi Jawa (Serat Rama).

Menurut Moertono ( 1922: 42) terdapat 8 sifat atau watak (ambeg) delapan dewa yaitu Wisnu (Bumi), Bayu (Angin), Baruna (Samudera), Candra (Bulan), Surya (Matahari), Indra (Langit), Agni (Api) dan Ismaya (Bintang).Sifat kebaikan dikaitkan dengan dikaitkan dengan Batara Endra, pemimpin bagi semua dewa. Kemampuan untuk menekan segala kejahatan, dikaitkan dengan dewa bintang Jama. Mempengaruhi dalam kebaikan dan perilaku yang bijak, atribut untuk dewa matahari, Surja. Lovingness atau penuh dengan cinta, dikaitkan dengan batara Tjandra. Kesadaran yang tajam dan wawasan yang mendalam, dikaitkan dengan dewa angin, Baju. Kedermawanan dengan kekayaan materi dan rekreasi dikaitkan dengan dewa laut, Baruna. Keberanian dan tekad yang berapi-api semangat dalam menentang musuh apapun dikaitkan dengan api dewa Brama. Sifat-sifat tersebut harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memimpin bangsa ini.oleh karena itu, delapan sifat tersebut penting untuk diintegrasikan dalam pembelajaran sejarah kepada siswa sebagai penguatan sikap kepemimpinan mereka. Sukmadinata (2007) mengemukakan bahwa seiring perkembangan zaman, tantangan yang harus dihadapi konselor adalah pengaruh nilai sosial dan budaya luar, sebab itu memasukkan nilai ajaran Asthabrata untuk mengembangkan karakter kepemimpinan siswa dirasa sangat pantas, hal ini senada dengan pendapat Hurlock (2009) bahwa budaya memiliki peran dalam mengembangkan karakter individu. Hal tersebut juga diperkuat dengan pendapat Tilaar (2004) bahwa internalisasi nilai budaya dapat menjadi alternatif penguat karakter bangsa.Berdasarkan hasil literature review yang dilakukan dari sumber jurnal. Diketahui bahwa penting untuk mengintegrasikan sebuah kearifan lokal dalam pembelajaran sejarah sebagai penguatan sikap kepemimpinan siswa. Salah satunya yaitu Astha Brata.

Kesimpulan

Belajar dari hikmah kebijaksanaan alam semesta tersebut, maka seorang pemimpin sejati harus sanggup bukan saja menyelaraskan dirinya dengan kaula-nya, tetapi lebih jauh bahkan juga menyelaraskan dirinya dengan kosmis alam raya. Hal ini dalam rangka merealisasikan tujuan dan sikap suwung ing pamrih, tebih ajrih, dan rame ing gawe.

Pemimpin sejati adalah pemimpin yang harus memiliki sikap Integritas serta kenegarawanan yang tinggi dalam bersikap, bertindak serta memimpin bangsa dan negara.


Bandung,  07  Nopember  2022

Komentar