Reformasi Birokrasi

 


REFORMASI BIROKRASI

Menyongsong pelayanan publik kelas dunia melalui pengembangan kompetensi berbasis digital

Oleh

Budy Hermawan

Widyaiswara Ahli Madya BPSDM Jawa Barat


Berbagai perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal, memberi pengaruh secara timbal balik terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. Birokrasi negara dituntut untuk bersikap proaktif dalam mengantisipasi perubahan yang akan terjadi, merencanakan perubahan dengan konsep yang komprehensif dan berkelanjutan.

Di Indonesia, peran birokrasi dalam perubahan sosial cukup besar terutama pada masa pemerintahan Orde Baru. Birokrasi ditempatkan sebagai perencana, pelaksana dan pengawas pembangunan. Peran ini kemudian semakin berkurang pada masa reformasi karena terlibatnya masyarakat di luar birokrasi, baik dalam bentuk lembaga swadaya masyarakat ataupun organisasi nonpemerintah semi otonom (quasi autonomous nongovernment organization).

Berkembangnya konsep “triple helix” yang awalnya di gagas oleh Sabato dan MacKenzi (1982) serta Etzkowitz (1993), yang kemudian disempurnakan oleh Etzkowitz dan Leydesdorff (1995), menggambarkan adanya tiga komponen potensial dalam inovasi dan pengembangan ekonomi yakni universitas-industry-dan pemerintah atau yang disebut poros ABG (Academician- Business-Government). Konsep triple helix kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Ernest J. Wilson (2012) dengan menambah satu “helix” lagi menjadi “The Quad-Helix.” Helix yang keempat adalah masyarakat sipil (civil society), sehingga keempat helix tersebut yaitu academician-business-civil society-government (ABCG). Sepuluh tahun kemudian, konsep triple helix juga dimodifikasi oleh Anka Masek Tonkovic et. al (2015) dengan menambahkan satu helix lagi yakni diaspora, sehingga kemudian menjadi “Penta Helix Model,” yang terdiri dari academician[1]business-civil society-diaspora-government (ABCDG)

 

 

Berdasarkan konsep dan model sebagaimana dikemukakan di atas diperoleh pemahaman bahwa dalam era globalisasi sekarang ini, pemerintah termasuk pemerintah daerah tidak dapat lagi menjadi pemain tunggal utama dalam membangun bangsa dan negara. Ada aktor-aktor lain di luar pemerintah yakni akademisi, pengusaha, masyarakat sipil, maupun kelompok diaspora atau perantau di luar negeri yang setiap saat siap kembali berkarya untuk negeri. Para penyelenggara pemerintahan daerah perlu memahami perubahan tersebut secara mendalam dan kemudian mengubah sikap dan cara bertindaknya. Dalam era reformasi, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, partai politik dan kaum intelektual (dunia kampus/akademik), nampak lebih besar peranannya dalam menciptakan perubahan sosial, terutama dalam menciptakan masyarakat yang demokratis. Untuk itu diperlukan perubahan sikap dan perilaku para birokrat agar mampu melayani masyarakat dengan baik dan maksimal.

Struktur birokrasi yang ada saat ini belum sepenuhnya mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, baik perubahan karena tuntutan masyarakat ataupun karena adanya kompetisi di era globalisasi. Masih terdapat kendala dalam menerapkan kinerja organisasi dan budaya organisasi secara baik dan efisien, sehingga mampu mendorong aparatur pemerintah berperilaku kompeten dan jujur.

Penyebab lainnya adalah karena adanya kelemahan dalam sistem informasi, kuantitas dan kualitas aparatur pemerintah yang belum sesuai standar nasional maupun internasional, proses pengambilan keputusan dalam ruang lingkup kebijakan yang terpusat, serta pelaksanaan aturan hukum yang belum berjalan dengan optimal. Kesemuanya menunjukkan bahwa perilaku dan budaya birokrasi belum berubah secara signifikan, meskipun paradigma pemerintahan telah mengalami perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi.

Penyelenggaraan otonomi daerah dalam rangka desentralisasi merupakan suatu perubahan yang kompleks dan berkesinambungan. Pada tahap awal desentralisasi, dilakukan transfer berbagai jenis kewenangan dari pemerintah pusat ke berbagai institusi terutama institusi pemerintah subnasional. Setelah transfer kewenangan kemudian akan diikuti dengan transfer pembiayaan, dokumen-dokumen serta sarana dan prasarana. Setelah tahap-tahap tersebut selesai dilalui, melanjutkan peningkatan kemampuan dari institusi yang memperoleh transfer kewenangan untuk mengelolanya secara baik dan benar. Tanpa manajemen yang baik, konsep penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah yang bertujuan untuk mengembangkan demokrasi, meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan, serta memeratakan keadilan tidak akan tercapai. Akan muncul sumber-sumber inefisiensi, in-efektivitas serta ketidakadilan yang baru di daerah-daerah yang dapat menjadi pemicu bagi terjadinya krisis multidimensional.

Untuk menjalankan otonomi daerah sesuai amanat konstitusi, birokrasi daerah harus melakukan reformasi dalam semua aspek, termasuk reformasi manajemen agar sesuai dengan dinamika perkembangan lingkungan strategisnya. Manajemen menjadi faktor yang sangat penting bagi pelaksanaan reformasi birokrasi guna mensukseskan implementasi otonomi daerah di Indonesia.

Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Peter F. Drucker (1995)-Bapak Manajemen Modern yang menolak penggunaan istilah “underdeveloped country” untuk negara-negara tertinggal. Drucker menyarankan penggunaan istilah “undermanaged country”, karena ketertinggalan negara-negara terbelakang terutama disebabkan oleh ketertinggalan dalam manajemennya. Dengan perkataan lain, kemajuan suatu negara akan sangat ditentukan oleh kualitas menajemennya. Hal tersebut secara mutatis-mutandis berlaku juga untuk daerah otonom di Indonesia.

Lebih lanjut Drucker (1995) mengemukakan bahwa kegagalan organisasi pemerintah sebagai institusi penyedia jasa layanan (service institutions) disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena manajernya tidak memiliki wawasan dan bakat bisnis. Kedua, mereka membutuhkan orang[1]orang baru. Ketiga, sasaran dan hasilnya bersifat tidak terukur dan tidak nyata. Pembaharuan manajemen merupakan suatu conditio sine qua non bagi reformasi birokrasi guna mewujudkan keberhasilan implementasi otonomi daerah. Tanpa manajemen yang diperbaharui, berbagai kesalahan masa lalu yang membawa bangsa dan negara ke pinggir jurang kebangkrutan dan kehancuran dapat terulang kembali. Kemauan politik untuk menata ulang manajemen pemerintahan daerah akan berpulang pada para stakeholders, khususnya sektor pemerintah daerah itu sendiri.

Kehadiran UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004, yang kemudian diganti dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menawarkan berbagai paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Momentum tersebut perlu digunakan untuk menata kembali birokrasi di tingkat pemerintahan daerah, termasuk manajemennya sebagai sistem yang mengatur kerjasama untuk mencapai tujuan. Kondisi birokrasi Indonesia di era reformasi saat ini belum menunjukkan arah perkembangan yang baik, karena masih banyak birokrat yang arogan, bersikap sebagai penguasa, menjalankan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) baik di aras pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Selain itu birokrat cenderung memilih zona nyaman (comfort zone) tanpa adanya kompetisi, tetapi lebih didasarkan pada senioritas. Birokrat umumnya belum siap untuk masuk ke zona kompetisi (competitive zone). Hal tersebut nampak dari penolakan dilakukannya lelang jabatan secara terbuka (open bidding), kalaupun ada lelang jabatan sifatnya sekedar formalitas. Untuk mengubah birokrasi yang handal dan professional, Pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan strategis. Salah satunya adalah adanya Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia 2010-2025, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 37 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan Roadmap Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah.

Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya yang telah dan terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menciptakan good governance menuju clean governance. Langkah awalnya adalah melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai oleh organisasi yang sangat gemuk dan berjenjang, adanya tumpang tindih kewenangan dan peraturan perundang-undangan, rendahnya produktivitas kerja pegawai, ketidakjelasan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang seharusnya tergambar dalam Machinery of Government (MoG) yakni “interconnected between structural and process”, belum semuanya memiliki Standard Operational Procedure (SOP) yang jelas dan terukur, serta penempatan sumber daya manusia aparatur yang tidak “The Right Man In The Right Place.”

Melalui reformasi birokrasi, perlu dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, dengan mengutamakan nilai 4E yakni efektivitas, efisiensi, equity (rasa adil), serta economies (hemat dan optimal). Oleh karena itu, Visi reformasi birokrasi yang tercantum dalam Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia adalah “Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia Tahun 2025”. Visi tersebut menjadi acuan bagi seluruh arah pemerintahan termasuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pemerintahan kelas dunia adalah sistem pemerintahan yang berbasis teknologi informatika dan komunikasi yang didukung birokrat profesional dan berintegritas tinggi, mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan mengikuti perkembangan manajemen pemerintahan yang terbaru dan berkembang secara demokratis.

Sedangkan misi reformasi birokrasi Indonesia menuju Pemerintahan Kelas Dunia yang dinamis adalah :

1.    Membentuk/menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik yang bebas kolusi, korupsi, dan nepotisme.

2.    Melakukan penataan dan penguatan organisasi menuju ke generasi terbaru yang ramping struktur dan kaya fungsi, tatalaksana yang memiliki standar operasional prosedur, manajemen sumber daya manusia aparatur yang kompetisi dan berkinerja tinggi, pengawasan yang profesional dari level atas hingga ke bawah, akuntabilitas yang terbiasa dengan prinsip check and balance, kualitas pelayanan publik ke generasi terbaru yang minim keluhan (zero complain), mindset yang bebas dari pendekatan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), serta cultural set yang menjadikan budaya birokrasi ke arah yang profesional.

3.    Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif dari pusat hingga daerah dengan pola-pola kerja yang transparan dan berdisiplin tinggi.

4.    Mengelola sengketa administrasi secara efektif dan efisien mengikuti perkembangan sumber-sumber peraturan yang terbaru. Reformasi Birokrasi bertujuan menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur Negara. Tujuan reformasi birokrasi dalam lima tahun ke depan diharapkan mengarah ke tahapan pemerintahan yang berbasis kinerja, dan pada tahun 2025 diharapkan pemerintahan sudah beranjak pada tatanan dynamic governance.

 

Pemerintahan berbasis kinerja ditandai dengan beberapa hal, antara lain sebagai berikut.

1.    Penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan dengan berorientasi pada prinsip efektif, efisien, dan ekonomis.

2.    Kinerja pemerintah difokuskan pada upaya untuk mewujudkan outcomes (hasil).

3.    Seluruh instansi pemerintah menerapkan manajemen kinerja yang didukung dengan penerapan sistem berbasis elektronik untuk memudahkan pengelolaan data kinerja.

4.    Setiap individu pegawai memiliki kontribusi yang jelas terhadap kinerja unit kerja terkecil, satuan unit kerja di atasnya, hingga pada organisasi secara keseluruhan. Setiap instansi pemerintah, sesuai dengan tugas dan fungsinya, secara terukur juga memiliki kontribusi terhadap kinerja pemerintah secara keseluruhan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Komentar