"ngebon kopi di Parabonan"
Kalau ada tempat yang selalu bisa bikin hati saya adem meskipun badan capek, jawabannya ya Dusun Parabonan. Sebuah dusun kecil yang tersembunyi di kaki Gunung Manglayang, masuk wilayah Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Bandung Timur. Jarak dari rumah saya di Antapani ke kebun ini sekitar 30-40 menit pakai motor. Tapi rasanya, tiap kali sampai di sana, segala lelah langsung larut dalam embun pagi dan aroma tanah basah.
Saya punya
sebidang tanah di sana, luasnya sekitar 400 tumbak—kalau dikonversi ke meter
persegi, ya sekitar 5.000 meter lah. Letaknya di ketinggian kurang lebih 1.000
meter di atas permukaan laut. Tanah itu sekarang sedang saya sulap jadi kebun
produktif. Isinya? Macam-macam. Utamanya kopi, sebanyak 1.000 pohon. Selain itu
ada alpukat sekitar 50 pohon—jenis Miki dan teman-temannya—lalu pisang, durian
Musang King (baru 15 pohon sih), dan beberapa palawija: kol, cabai (cengek),
kadang tomat juga.
Setiap Sabtu atau Minggu, saya usahakan ke sana. Kadang juga hari libur nasional kalau nggak ada tugas kedinasan. Perginya pakai motor, biar bisa nyelip-nyelip di jalanan nanjak dan sempit. Udara makin sejuk begitu masuk wilayah Mekarmanik. Jalan beton bercampur tanah merah. Kalau musim hujan, ya siap-siap aja motor main seluncuran.
Setiap Sabtu
atau Minggu, saya usahakan ke sana. Kadang juga hari libur nasional kalau nggak
ada tugas kedinasan. Perginya pakai motor, biar bisa nyelip-nyelip di jalanan
nanjak dan sempit. Tapi jangan bayangkan jalannya mulus. Begitu masuk kawasan
dusun, jalannya berubah jadi semacam jalur off-road: jalan perkebunan yang
sudah rusak parah. Aspalnya tinggal kenangan, lubang dan batu tersebar di
mana-mana, dan kalau hujan turun semalam sebelumnya—siap-siap motor seluncuran
tanpa izin.
Cuma motor
tinggi atau motor trail yang bisa selamat tanpa nyumpahin jalan tiap 5 meter.
Saya sendiri pakai motor yang sudah dimodifikasi sedikit supaya tahan banting.
Kadang, walau pakai motor trail pun tetap harus turun dan dorong kalau nemu
tanjakan licin atau jalur longsor kecil. Tapi ya itu tantangannya. Di balik
rintangan jalan itulah nikmatnya. Begitu sampai di kebun dan lihat pemandangan,
semua jerih payah langsung terbayar lunas.
Sampai di
kebun, biasanya saya langsung disambut suara ranting digesek parang. Itu tanda
kalau Mang Elan udah mulai kerja. Mang Elan ini penggarap kebun saya. Usianya
sekitar 55 tahun. Warga asli Parabonan. Orangnya ramah, banyak cerita, dan
tangannya seperti punya sensor otomatis buat deteksi gulma.
"Eh, tos
datang wae, Pak Drs!" sapa Mang Elan sambil menyeka keringat dari pelipis.
Dia tetap panggil saya “Pak Drs” walau saya sudah minta cukup “Kang Budy” saja.
"Hehe,
tos biasa kitu atuh Mang. Kumaha? Aya nu karusakan?" saya turun dari
motor, nyari tempat buat nyenderin helm.
"Alhamdulillah,
aman. Ari nu kopi mah geus subur ayeuna mah. Da ngan kudu diawaskeun bae ku
leuleuwi."
Leuleuwi itu hama batang. Hama kecil, tapi bisa bikin pohon kopi meringis. Saya pun langsung buka tas, ngeluarin pupuk NPK yang sudah saya beli di toko pertanian dekat Arcamanik. Hari itu rencananya mau nyebar pupuk ke beberapa rumpun kopi yang mulai berbunga.
Kami pun mulai
kerja bareng. Saya nyebar pupuk, Mang Elan bersihin rumput liar. Kadang kami
tukeran. Kadang juga cuma duduk di saung bambu sederhana yang dibikin dari
batang-batang kayu hasil pangkas pohon kopi. Saung itu pos utama kami buat
ngopi, makan, atau sekadar ngobrol ngalor ngidul.
"Pak Drs,
naha hoyongna kopi?" tanya Mang Elan sambil nyeduh air pakai kompor
portable kecil.
"Iya
Mang, mimpi ti baheula. Ti jaman kuliah di Jatinangor, hayang boga kebon kopi
di gunung."
"Hehehe,
anjeun teh sabenerna petani nu nyamar jadi PNS."
Saya ketawa.
"Komo mun pensiun, meureun bakal nyamar jadi petani beneran."
"Alus
atuh. Di dieu loba lahan kosong. Anu penting mah sabar jeung ulah nyerah.
Ngarawat kopi mah kudu kawas ngasuh anak."
Perkataan Mang
Elan itu terus nempel di kepala saya. Memang benar, merawat pohon kopi tidak
bisa buru-buru. Butuh waktu, ketekunan, dan doa.
Di sela kerja,
kadang ada warga lain yang mampir. Seperti Kang Aceng, yang kebunnya persis di
bawah lahan saya.
"Eh, Pak
Budy! Asik euy keur nanam kol. Loba cengek oge ayeuna teh?"
"Iya,
nyobaan saeutik. Pami hasilna alus mah, bisa jadi tambahan buat dijual."
Kang Aceng
mengangguk, lalu duduk bareng kami di saung. Ngobrol tentang harga kopi, musim
tanam, bahkan politik lokal—semuanya campur aduk seperti racikan kopi tubruk
yang kami minum.
Salah satu
kenikmatan hidup yang sulit dijelaskan itu justru sederhana: secangkir kopi
panas, pemandangan kebun hijau, angin sepoi-sepoi, dan obrolan ngalor-ngidul
bersama orang-orang baik.
Beberapa bulan terakhir, kami mulai panen ringan dari pohon kopi yang sudah cukup usia. Tidak banyak, tapi cukup buat menyemangati langkah. Alpukat mulai belajar berbuah, meski masih malu-malu. Pisang dan kol lebih cepat menghasilkan. Cengek pun rajin muncul, meski kadang kalah sama ulat.
"Pak Drs,
ayeuna mah tos cocog nyieun nama: Kebon Budy Mekarmanik!" kata Mang Elan
suatu hari sambil tertawa.
Saya hanya
tertawa kecil. "Hehe, atuh kudu aya papan nama mang. Biar nu datang teu
nyasar."
Dia menunjuk
batang bambu yang sudah ditebang. "Urang geura tuliskeun ayeuna."
Sore itu, kami
menulis “KEBON BUDY” dengan spidol di papan bambu. Lalu ditancapkan di depan
lahan, dekat jalan setapak yang biasa dilalui warga.
Kegiatan di
kebun jadi semacam terapi bagi saya. Setelah hari-hari padat dengan rapat,
pelatihan, dan urusan kedinasan, turun ke kebun seperti reset pikiran. Kadang
saya diam saja di saung, memperhatikan kabut yang turun pelan-pelan, menutupi
pucuk-pucuk pohon.
Suatu waktu
saya bertanya ke Mang Elan, "Mang, naon anu matak betah di
Parabonan?"
"Tenang,
Pak Drs. Moal loba geuning nu rungsing-rungsing. Udara seger, cai ngalir, jeung
saban poe bisa ngadengekeun sora jangkrik tibatan klakson."
Saya hanya bisa mengangguk. Ada benarnya. Di kota, kita sering dikejar waktu. Di kebun, waktu yang mengejar kita—dan kita dibebaskan untuk memilih, mau buru-buru atau nikmati prosesnya.
Cerita ini
belum berakhir. Sebab kebun terus tumbuh, begitu juga semangat saya. Saya masih
belajar, masih banyak yang belum saya tahu. Tapi satu hal yang pasti: Parabonan
bukan sekadar tempat berkebun. Ia adalah guru kehidupan.
Dan selama
motor masih bisa nanjak, kopi tetap bisa tumbuh, dan Mang Elan masih setia
mendampingi, saya akan terus pulang ke Parabonan.
Komentar
Posting Komentar