Cerita Ringan: “Integritas Bukan Sekadar Kata”

 Cerita Ringan: “Integritas Bukan Sekadar Kata”


Pagi itu, Rabu yang cerah, Drs. Budy Hermawan,  M.Si, mengenakan batik hitam putih bermotif klasik. Langkahnya mantap memasuki ruang pelatihan lantai 3.09 BPSDM Provinsi Jawa Barat. Seperti biasa, Budy datang ke kelas sebelum peserta PKA belum hadir karena masih melaksanakan apel pagi, alias belum ada peserta di dalam kelas. Sembari menunggu peserta, budy menyetel lagu2 perjuangan melalui yutub yg dibawakan oleh grup Musisi Indonesia yang tak asing lagi bagi kita yakni, Grup Band Coklat. Perlahan dan pasti , seiring dengan bertambahnya jarum jam mendekati angka 8 pagi, peserta secara berangsur mulai memasuki ruangan kelas. Tepat sekitar jam 8.10 menit ruangan sudah ramai oleh 40 ASN peserta Pelatihan Kepemimpinan Administrator (PKA) Angkatan I. Beberapa sibuk membuka laptop, lainnya melihat2 layar HP. Tapi semua seketika hening saat layar menampilkan judul materi:
"Wawasan Kebangsaan, Kepemimpinan Pancasila dan Integritas."

“Selamat pagi, 

sampurasun para pemimpin masa depan Jawa Barat!” sapa  saya sambil tersenyum. “Hari ini, saya bukan hanya mau mengajar, tapi ingin kita berdialog. Karena topik hari ini terlalu penting kalau hanya saya yang bicara.”

Seketika suasana mencair. Gelak tawa kecil terdengar. Tapi Budy langsung menggiring fokus dengan satu pertanyaan tajam:

“Siapa di sini yang merasa sudah 100% mengamalkan Pancasila dalam bekerja?”

Beberapa tangan mengangkat ragu-ragu. Lainnya saling pandang. Pak Budy tersenyum simpul.

“Tenang, saya juga belum sempurna. Tapi integritas itu bukan soal sempurna, melainkan soal niat untuk tidak mempermainkan kepercayaan yang diberikan negara.”

Ia pun mulai memutar cuplikan pidato Bung Karno tentang Hari Lahir Pancasila. Sang Proklamator menjelaskan dalam arsip film tersebut, bahwa Dia menggali nilai2 budaya Indonesia yang telah ada ratusan tahun menjadi Nilai-nilai Falsafah Pancasila . Layar menampilkan merah-putih berkibar megah. Suasana ruangan mendadak khusyuk.

Budy lanjut menjelaskan:

“ASN itu bukan sekadar profesi. Kita ini perpanjangan tangan negara. Layanan publik bukan jasa biasa. Ini urusan hajat hidup rakyat. Mulai dari bayi lahir, sampai jenazah dimakamkan, semua ada campur tangan ASN.”

Di sudut ruangan, salah seorang peserta mengangkat tangan.

“Pak Budy, sering kami dihadapkan pada dilema, antara ‘aturan ideal’ dan ‘realitas lapangan’. Integritas kami diuji bukan hanya oleh godaan, tapi juga tekanan.”

Saya mengangguk. “Itulah sebabnya saya bilang: integritas adalah modal utama. Kalau ASN kehilangan integritas, negara akan kehilangan kepercayaan publik. Kita bisa buat sistem secanggih apapun, tapi kalau manusianya tidak jujur, ya percuma.”

Ia pun menampilkan kutipan dari Bung Hatta:
“Kurang cerdas bisa diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap bisa diperbaiki dengan pengalaman. Tapi tidak jujur? Sulit.”

Diskusi mengalir deras. Pak Hendri dari Dinas Pemuda menyela, “Pak, integritas itu kan seringkali abstrak. Bisa enggak, kita ukur atau lihat ciri-cirinya?”

Saya langsung menulis di papan tulis:

  1. Konsisten antara ucapan dan tindakan
  2. Berani berkata “tidak” pada hal yang salah
  3. Tidak cari muka, tapi fokus pada hasil
  4. Tidak tergoda fasilitas di luar aturan

“Dan satu lagi,” tambahnya sambil tersenyum, “ASN berintegritas itu bukan yang menolak gratifikasi di depan umum, tapi juga yang menolak ketika tak ada yang melihat.”

Gelak tawa kembali terdengar. Tapi tawa yang penuh makna.


Sesi dilanjutkan dengan studi kasus. Slide berikutnya menampilkan wajah serius Baharuddin Lopa, dengan pertanyaan besar:

“Bagaimana Lopa menyikapi hal tersebut?”

Para peserta diminta tanggapan tentang hal tersebut.  tentang bagaimana seorang Lopa mencoba menerapkan tuk saling mengingatkan kepada sesama pejuang demokrasi, penegak hukum untuk menerapkan aturang sebagai fondasi mental dalam melaksanakan tugas. 

Lopa mengingatkan kepada kita semua tentang  keberanian moral.

Di sesi lain, budy sebagai seorang widyaiswara yang memiliki sertifikat sebagai penyuluh antikorupsi dari LSP-KPK mengangkat kembali kisah Jenderal Hugeng. Seorang Jenderal yang sangat terkenal dengan kesederhanaan dan ketegasan dalam bertindak untuk menerapkan nilai-nilai kepemimpinan Pancasila. 

Menjelang akhir sesi, Saya menutup dengan refleksi.

“Di luar sana, jutaan orang mengantre ingin jadi ASN. Bukan karena gaji, tapi karena kehormatan. Maka jaga amanah itu. Kalau kita gagal menjaga integritas, bukan hanya citra birokrasi yang rusak, tapi harapan rakyat juga ikut mati.”

Ia menatap peserta satu per satu.

“Kita ini pilar republik. Kalau ASN roboh karena integritas yang rapuh, bangunan bangsa pun ikut retak.”

Semua terdiam. Hening yang bukan karena kantuk, tapi karena terpukul oleh kebenaran.

Saat sesi berakhir dan peserta bersalaman, salah satu dari mereka berbisik:

“Pak Budy, materi Bapak hari ini bukan hanya menggugah… tapi juga menampar halus nurani saya.”

Saya hanya tersenyum sambil menjawab singkat,

“Kalau tamparan itu bikin kita bangun, maka itu tamparan yang sehat.”

Dan begitulah, pagi itu bukan hanya soal transfer ilmu. Tapi juga tentang menyalakan kembali api kompas moral di hati para abdi negara. Sebab, seperti kata Saya , “Integritas bukan hanya milik slogan, tapi harus hidup dalam tindakan.”

 

 

Cipageran, 4 Juni 2025

 

Komentar