Pagi di Sulaksana Makmur: Idul Adha yang Menghangatkan Hati

 Pagi di Sulaksana Makmur: Idul Adha yang Menghangatkan Hati


Pagi itu, langit Bandung seperti ikut berdoa. Mendung tipis bergelayut, tapi tak turun hujan. Sejuk, damai, dan terasa sekali nuansa syahdu Idul Adha. Saya berjalan pelan menyusuri jalan utama Perumahan Sulaksana Makmur, bersama istri dan anak-anak. Warga dari Perumahan Terusan Jakarta Utara, Cicaheu m Kecamatan Kiaracondong juga terlihat berbondong-bondong menuju halaman depan Masjid Al-Barokah, tempat Sholat Idul Adha tahun ini dilaksanakan.

Di depan masjid, panitia sudah sibuk sejak subuh. Karpet digelar rapi. Sound system diuji ulang. Bendera dan baliho kecil bertuliskan "Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 H – Berkurban dengan Ikhlas, Meneladani Nabi Ibrahim AS" berkibar pelan tertiup angin. Anak-anak tampak berlarian, mengenakan baju koko dan gamis baru, wajah mereka sumringah.

“Pak Budy, di depan sini aja, masih kosong,” sapa Pak Haji Roni, Ketua DKM Masjid selaku sesepuh di perumahan ini, sambil menunjuk shaf di sisi kanan panggung kecil tempat imam dan khatib akan berdiri.

Saya mengangguk dan duduk Bersama para warga lainnya . Tak lama, takbir mulai bergema. Dikumandangkan serempak oleh para remaja masjid yang bertugas. Suasana menjadi lebih haru.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
La ilaha illallah, wallahu Akbar
Allahu Akbar wa lillahilhamd

Suara-suara itu menggema ke langit, seolah mengetuk pintu langit untuk menyampaikan rindu dan syukur.

Imam sholat adalah Ustadz Abdul Manan, muda tapi suaranya tegas dan merdu. Dua rakaat sholat berjalan khusyuk, dengan jamaah yang tumpah ruah hingga ke jalan samping masjid.

Usai salam terakhir, khotbah pun dimulai. Ustadz H. Abdul Manan naik ke mimbar kecil. Beliau mengenakan jubah abu dan peci putih. Suaranya berat, penuh wibawa, tapi hangat di telinga.

“Saudara-saudaraku sekalian,” buka beliau. “Hari ini bukan hanya hari penyembelihan hewan. Hari ini adalah hari ketika kita diajak meneladani dua manusia pilihan: Ibrahim AS dan Ismail AS.”

Ia mulai bercerita, dengan gaya tutur seperti dongeng orang tua kepada cucunya.

“Bayangkan, seorang ayah—setelah puluhan tahun berdoa agar dikaruniai anak, akhirnya memiliki Ismail. Tapi, saat anak itu tumbuh sehat, Allah memerintahkan sang ayah untuk… menyembelihnya.”

Suasana jadi hening.

“Bayangkan hati Ibrahim. Bayangkan pula keteguhan Ismail. 'Wahai ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu. Insya Allah aku termasuk orang-orang yang sabar.'”

Ustadz Manan melanjutkan, “Tapi Allah tidak ingin darah Ismail. Allah ingin membuktikan siapa yang paling tunduk kepada-Nya. Maka, seekor domba dikirim sebagai pengganti. Dan sejak saat itu, kita diajarkan untuk berkurban sebagai simbol pengorbanan dan ketundukan kepada Allah.”

Khotbah itu ditutup dengan doa panjang yang membuat beberapa jemaah menitikkan air mata. Doa agar kita menjadi hamba yang rela berkorban, bukan hanya harta, tapi juga ego, ambisi, dan kepentingan diri.

Usai sholat dan khotbah, warga tak langsung bubar. Sesuai anjuran panitia DKM Masjid Al- Barokah ; Ustad Jajun, para warga melakukan musafahah; bersalaman yang dilakukan secara bergiliran / memutar . Sebagian warga lainnya mencoba membersihkan area tempat sholat dengan mengambil dan menyimpan bekas2 korang yang dijadikan alas sholat oleh para warga. Panitia kurban yang sejak tadi berdiri di sisi masjid mulai bergerak. Sebagian mengangkut karung-karung rumput dan ember air ke samping masjid, tempat penyembelihan akan dilakukan.

Saya ikut mendekat.

“Pak Budy, tahun ini kita kumpul sembilan sapi dan lima belas domba,” ujar Pak Taufik, Ketua Panitia Kurban, sambil tersenyum lega.

“Wah, alhamdulillah. Tambahan dari RT 03, ya?” tanya saya.

“Iya, dan juga dari perumahan Sulaksana Makmur. Semangatnya luar biasa.”

Anak-anak muda dari karang taruna terlihat memegang daftar nama sohibul qurban. Di sisi lain, tukang jagal bersiap dengan perlengkapan. Sapi-sapi tampak tenang diikat di sisi lapangan.

“Pak, itu sapi siapa yang paling besar?” tanya seorang anak kecil yang sepertinya baru pertama kali ikut lihat penyembelihan.

“Yang itu milik gabungan tujuh orang dari Blok C. Namanya si Gimbal, karena bulunya agak keriting,” jawab salah satu panitia sambil tertawa.

Saya tersenyum. Momen ini selalu jadi saat-saat menyatukan warga, lintas usia, lintas perumahan.

Sore nanti, daging-daging akan dikemas, lalu dibagikan ke warga sekitar. Anak-anak akan berlomba jadi kurir dadakan, mengantar dari rumah ke rumah.


Saya berdiri sejenak, menatap suasana sekitar. Takbir masih menggema dari speaker masjid, aroma rumput dan tanah bercampur udara pagi. Wajah-wajah saudara sesama muslim berseri-seri, bukan karena daging, tapi karena semangat kebersamaan.

Hari ini, di Sulaksana Makmur, kami tak hanya merayakan Idul Adha. Kami merayakan keteladanan, kebersamaan, dan kepedulian. Semoga semangat ini terus hidup, bukan hanya setiap 10 Dzulhijjah, tapi dalam setiap langkah kehidupan kita.



Bandung, 6 Juni 2025

Komentar