Catatan Gowes Minggu Pagi: 12 KM Penuh Makna

 Catatan Gowes Minggu Pagi: 12 KM Penuh Makna


Minggu pagi ini dimulai dengan niat sederhana: bersepeda. Jam menunjukkan pukul 09.30 saat saya keluar dari rumah di Antapani. Sepeda Wimcycle hitam yang telah menemani saya selama 13 tahun kembali saya gunakan. Sepeda ini bukan sekadar alat transportasi, tapi sahabat perjalanan, saksi bisu dari banyak kenangan: dari Majalengka hingga Cirebon, bahkan sampai ke Sukabumi.

Di garasi, sudah menunggu si hitam legendaris—sebuah Wimcycle yang telah menemani saya selama 11 tahun. Warnanya hitam pekat, dengan beberapa goresan kecil yang menjadi bukti setia akan ribuan kilometer yang sudah kami lewati bersama. Bukan sepeda mahal, tapi penuh kenangan. sepeda ini saya dapatkan melalui doorprise saat HUT Jabar di tahun 2014 , hingga kini, tetap jadi kendaraan pilihan untuk menyusuri kota dengan hati tenang.

Rute gowes hari minggu ini: dari Antapani menuju Jalan Terusan Jakarta, lalu ke Sport Jabar Arcamanik, lanjut ke Jalan AH Nasution, Cicaheum, Jalan PHH Mustofa, lalu ke ikon kota Bandung—Gedung Sate. Setelah itu ke Jalan WR Supratman, Cicadas, dan kembali ke Antapani. Jaraknya hanya sekitar 8 km, tapi rasanya seperti menelusuri ulang banyak memori hidup dalam 1,5 jam yang penuh makna.

Sudah cukup lama saya tak bersepeda bersama dua buah hati, si kakak Anisa dan si bungsu Anita. Biasanya, setiap akhir pekan, kami menyusuri jalan-jalan kecil di sekitar Arcamanik, berhenti untuk beli es krim atau hanya sekadar duduk santai di taman. Tapi seiring mereka tumbuh besar dan semakin sibuk, momen-momen itu perlahan menjadi kenangan. Hari ini, saya gowes sendiri, tapi kenangan mereka tetap mengayuh bersama saya.

Saya juga teringat saat bersepeda bersama rekan-rekan Widyaiswara di Majalengka. Kami menelusuri jalur-jalur desa yang penuh hijaunya pemandangan dan angin yang semilir. Di Cirebon, saya dan teman-teman WI sempat ikut fun bike dalam rangka Hari Jadi Kota Cirebon. Sepeda Wimcycle hitam ini setia menemani, tak pernah rewel meski rute panas dan jalanan bergelombang. Bahkan, pernah juga kami membawanya ke Sukabumi, menyusuri jalur-jalur perbukitan yang curam tapi memanjakan mata. Semua itu kini jadi cerita yang menghiasi perjalanan hari ini.

Saat melewati Gedung Sate, saya sempat berhenti sejenak. Menatap bangunan megah yang menjadi simbol kota. 2 tahun lebih pernah bertugas disalah satu pojok ruangan Gedung sate, saat menjabat sebagai Kepala Bagian Humas di tahun 2013-2015. Saya menarik napas panjang, mencoba menyerap ketenangan pagi ini. Di balik gedung itu, ada begitu banyak kebijakan, rapat, dan dinamika yang kadang membuat kepala penat. Tapi dari atas sadel sepeda, semuanya terlihat lebih ringan. Kota ini tidak hanya soal birokrasi, tapi juga tentang ruang untuk bernapas.

Di WR Supratman, suasana semakin ramai. Lalu lintas mulai padat, tapi saya tetap melaju dengan tenang. Saya melihat wajah-wajah warga Bandung yang sedang menjalani aktivitas minggu pagi: ada yang jogging, ada yang duduk di pinggir jalan, dan ada yang seperti saya—mengayuh untuk sekadar merasa bebas.
Sampai di Cicadas, saya memperlambat laju. Menengok kanan kiri, memastikan tak ada halangan, dan memberi ruang pada angkot yang ingin menepi. Jalanan mulai padat, tanda kota ini sedang kembali bergerak. Saya pun mulai menyiapkan diri untuk masuk ke jalur pulang ke Antapani.
Minggu pagi ini bukan sekadar tentang bersepeda 12 km dalam 1,5 jam. Ini tentang perjalanan pulang ke diri sendiri. Tentang mengenang, merenung, dan menyusun ulang mimpi. Di atas dua roda, saya menemukan arah. Dan selama saya masih bisa mengayuh, saya akan terus berjalan—sebagai suami, ayah, widyaiswara, dan manusia biasa… yang tidak pernah berhenti belajar dari jalanan.



Catatan Gowes Minggu Pagi: 12 KM Penuh Makna
Bandung ; 20 Juli 2025


Komentar