Teh Hangat

Teh Hangat 


#ASN Petarung menjadi keniscayaan

Minggu pagi di Antapani, suasana terasa tenang, sejuk, dan syahdu.
Di meja teras rumah, segelas teh hangat mengepul pelan, ditemani piring kecil berisi rebusan umbi dan kentang.
Udara pagi membawa aroma kayu dan tanah basah, menyempurnakan suasana untuk merenung.
Di momen sederhana inilah, saya menulis catatan ini.
Tentang kegelisahan yang sudah lama saya pendam sebagai bagian dari birokrasi yang memiliki tugas sebagai Widyaiswara. Tugas yang sangat mulia namun berat, yakni bagaimana seorang WI mampu meningkatkan dan manjaga kompetensi dan Integritas ASN di Jawa Barat
Pagi ini ditemani secangkir the hangat saya merasa bahwa saat ini sebagian ASN telah mengalami titik kritis yakni, matinya daya pikir ASN, yang makin hari makin terasa nyata.
Pikiran ini tidak datang tiba-tiba.

Namun di tengah tantangan besar ini, satu kenyataan pahit kembali muncul ke permukaan.
Tidak sedikit ASN, khususnya di Jawa Barat, mengikuti pelatihan hanya demi satu tujuan: mendapatkan sertifikat kelulusan.
Sertifikat dijadikan bukti formal, bukan bekal untuk berubah.
Padahal pelatihan seharusnya menjadi ruang belajar yang membentuk cara pikir baru.
Banyak peserta datang hanya untuk menggugurkan kewajiban.
Absen tepat waktu, ikut post test, lalu selesai.
Apa yang dibahas, apa yang disimulasikan, sering tak benar-benar diresapi.
Diskusi dangkal, refleksi tidak dilakukan, dan tugas hanya disalin dari contoh tahun lalu.
Orientasi mereka bukan “bagaimana menjadi lebih solutif”, tapi “bagaimana cepat lulus”.
Padahal tantangan birokrasi hari ini tak bisa dijawab dengan kebiasaan lama.
ASN tidak cukup sekadar tahu prosedur, tapi harus mampu menciptakan jalan keluar atas masalah daerahnya.
Mereka adalah simpul perubahan yang paling dekat dengan masyarakat.
Namun jika cara belajarnya pun hanya formalitas, lalu bagaimana mereka bisa menjadi solusi maker?
Menjadi ASN Petarung butuh kesungguhan dalam setiap proses pelatihan.
Butuh kejujuran intelektual, bukan hanya nilai di sertifikat.
Sayangnya, belum banyak pelatihan yang memberi tantangan nyata dalam konteks lokal. Simulasi masalah sering terlalu teoritis, tanpa keterkaitan dengan kondisi riil di lapangan.
ASN butuh pelatihan yang membiasakan berpikir lintas sektor, lintas data, dan lintas solusi. Karena tugas ASN bukan mengulang SOP, tapi menjawab pertanyaan rakyat dengan keberanian dan kecerdasan.
Dan semua itu hanya bisa lahir dari proses belajar yang sungguh-sungguh, bukan sekadar kejar sertifikat.

Padahal, untuk mewujudkan Jabar Istimewa, kita butuh ASN yang berpikir.


Bukan hanya yang lulus pelatihan, Bukan yang cepat tanda tangan.
Tapi yang tahu kenapa kebijakan ini ada.
Birokrasi kehilangan arah karena tak ada ruang berpikir.
Negara pun dirugikan, Program jalan, tapi tak tahu mau ke mana.
Pelayanan bergerak, tapi tak paham dasar kebijakannya, Literasi bukan pelengkap, tapi syarat utama birokrasi yang kuat.
Tanpa literasi, ASN hanya operator.
Tak bisa jadi penggerak.
Padahal masyarakat makin kritis, tantangan makin kompleks.
Kita butuh ASN Petarung — yang siap menghadapi ketidakpastian.
Yang berani berbeda pendapat, tapi tetap hormat.
Yang membaca sebelum bertindak.
Yang menulis sebelum memutuskan.
Yang bicara dengan akal, bukan asal, Pemerintah harus buka ruang: untuk bertanya, untuk menulis, untuk berpikir.
Rapat jangan hanya berisi laporan, Pelatihan jangan hanya soal kehadiran , Buka forum yang merangsang nalar.
Bangun budaya yang mempersilakan kritik. Karena hanya birokrasi yang bernalar yang akan bertahan. Dan hanya ASN yang bernyali yang bisa dipercaya.
Di pagi Antapani ini, saya tidak sedang membayangkan ASN sempurna.
Saya membayangkan ASN yang manusiawi — yang berpikir, bertanya, lalu bertindak.
Karena negara tidak cukup hadir dengan tangan.
Tapi juga harus hadir dengan pikiran.


Bandung pagi yang cerah

20 Juli 2025


Komentar