KONFLIK KEPENTINGAN
Pengertian, sumber dan Bagaimana
pengelolaannya bagi seorang ASN
Pagi ini, Sabtu 23 Agustus 2025,
suasana pembelajaran daring terasa cukup istimewa karena para peserta Latsar
CPNS Jawa Barat Angkatan 8 Kelompok 2 sudah siap menerima materi yang sangat
krusial bagi seorang ASN , walaupun sempat tertunda beberapa menit karena
terjadi miskomunikasi dengan pengamat kelas. Jam menunjukan 08.16 wib Ketika saya
memulai pembelajaran dipagi hari ini. Semangat mereka terpancar dari
wajah-wajah yang muncul di layar Zoom, meskipun sebagian tampak masih
menyiapkan kopi atau teh hangat di meja masing-masing. Sebagai fasilitator,
saya memulai kelas dengan sapaan hangat, “Selamat pagi rekan-rekan semua, bagaimana
kabarnya hari ini? Mudah-mudahan tetap sehat, semangat, dan siap belajar.”
Sapaan itu langsung disambut dengan senyum dan anggukan.
Saya kemudian menjelaskan bahwa
materi hari ini akan membahas Konflik Kepentingan, sebuah topik yang
sering dianggap sensitif tetapi justru sangat penting untuk dipahami sejak awal
seorang ASN memulai kariernya. Saya membuka dengan cerita ringan: “Bayangkan
kalian diminta panitia pengadaan barang di kantor, lalu ternyata salah satu penyedia
barang adalah kerabat dekat. Apa yang akan kalian lakukan? Di sinilah kita
bicara soal konflik kepentingan.” Para peserta tampak mulai fokus, ada yang
mengangguk, ada pula yang tersenyum karena merasa pernah mendengar kasus
serupa.
Setelah itu saya menjelaskan definisi dasar konflik kepentingan. Saya katakan bahwa konflik kepentingan adalah situasi ketika kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok tertentu bisa memengaruhi objektivitas dan profesionalisme seorang ASN dalam mengambil keputusan. Saya menekankan bahwa konflik kepentingan bukan sekadar soal gratifikasi atau suap, tetapi lebih luas, termasuk ketika ada potensi ketidakadilan dalam pelayanan publik.
Peserta pertama yang saya ajak
berdiskusi adalah Alfi Aldriyan. Saya bertanya, “Mas Alfi, menurut Anda, apakah
konflik kepentingan itu selalu berarti korupsi?” Ia menjawab dengan hati-hati,
“Tidak selalu, Pak. Bisa jadi hanya potensi saja, tetapi kalau tidak dicegah,
bisa mengarah ke perilaku koruptif.” Saya pun mengangguk sambil menegaskan
bahwa jawaban itu benar.
Kemudian saya memancing peserta lain
untuk berbagi pengalaman di kantornya. Salah satu peserta menceritakan, di
kantornya pernah ada situasi di mana pegawai diminta memilih vendor untuk
kegiatan pelatihan. Kebetulan salah satu vendor adalah perusahaan milik
keluarganya. Ia merasa serba salah, karena di satu sisi ingin membantu
keluarganya, tetapi di sisi lain sadar bahwa itu tidak etis. Peserta itu
berkata, “Akhirnya saya mundur dari kepanitiaan, Pak, karena takut dianggap
berpihak.” Saya memuji sikap itu sebagai langkah tepat dalam menghindari
konflik kepentingan.
Saya melanjutkan dengan memberikan contoh konkret dari dunia birokrasi. Misalnya, seorang ASN yang ditugaskan sebagai pejabat pembuat komitmen tetapi ternyata memiliki hubungan pertemanan dekat dengan salah satu penyedia jasa. Walaupun tidak ada transaksi yang mencurigakan, hubungan kedekatan ini bisa menimbulkan persepsi negatif. Saya menekankan bahwa persepsi publik sangat penting, karena integritas ASN dinilai bukan hanya dari kenyataan, tetapi juga dari bagaimana masyarakat melihatnya.
Diskusi makin hangat ketika salah
satu peserta bernama Afiyanti menceritakan pengalamannya. Ia berkata, “Pak, di
kantor saya sering ada tekanan dari atasan yang menyarankan agar saya memilih
vendor tertentu. Kadang sulit menolak, karena kalau menolak bisa dianggap tidak
loyal.” Saya menjawab dengan tenang bahwa situasi seperti itu memang nyata
terjadi di banyak instansi. Solusinya adalah tetap berpegang pada aturan,
memperkuat dokumentasi, dan berani menyampaikan alasan profesional. “Kalau kita
punya dasar hukum yang kuat, penolakan kita bukan karena pribadi, tetapi karena
aturan,” saya jelaskan.
Saya lalu menayangkan slide berisi
enam bentuk umum konflik kepentingan di ASN: nepotisme, kolusi, rangkap
jabatan, penggunaan informasi internal untuk keuntungan pribadi, menerima
hadiah, dan intervensi dari pihak luar. Para peserta tampak mencatat serius,
bahkan ada yang mengajukan pertanyaan tentang rangkap jabatan. Salah satunya
bertanya, “Pak, apakah menjadi pengurus koperasi di kantor bisa dianggap
konflik kepentingan?” Saya menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak masalah,
selama tidak ada benturan dengan tugas pokok dan fungsi serta tidak menimbulkan
keuntungan pribadi yang memengaruhi kebijakan.
Setelah itu, saya membuat simulasi sederhana. Saya berkata, “Bayangkan Anda menjadi panitia lelang, lalu salah satu peserta lelang adalah saudara sepupu Anda. Apa yang sebaiknya Anda lakukan?” Peserta menjawab beragam. Ada yang bilang mundur dari kepanitiaan, ada pula yang bilang tetap ikut tapi transparan. Saya kemudian meluruskan bahwa mundur adalah langkah terbaik untuk menjaga objektivitas.
Diskusi kemudian berlanjut dengan
tanya jawab ringan. Saya bertanya, “Kalau Anda diminta teman lama untuk
mempercepat proses tanda tangan dokumen, apakah itu termasuk konflik
kepentingan?” Beberapa peserta menjawab “ya”, yang lain agak ragu. Saya lalu menjelaskan
bahwa meskipun tampak sepele, mempercepat layanan untuk teman bisa dianggap
konflik kepentingan, karena melanggar prinsip keadilan pelayanan publik.
Selama sesi berlangsung, beberapa
peserta terlihat sangat aktif, sementara yang lain lebih banyak mendengarkan.
Saya berusaha melibatkan semua dengan cara memanggil nama mereka satu per satu.
Misalnya saya berkata, “Bagaimana menurut Anda, Mba Ari, kalau seorang ASN
menerima diskon khusus dari penyedia barang yang biasa berhubungan dengan
kantornya?” Mas Yudi menjawab, “Itu jelas konflik kepentingan, Pak, karena ada
keuntungan pribadi.” Jawaban itu membuat peserta lain ikut mengangguk setuju.
Saya juga menekankan bahwa konflik kepentingan tidak selalu berupa uang. Kadang bentuknya adalah fasilitas, peluang, atau bahkan sekadar prioritas layanan. “Misalnya ada ASN yang memproses permohonan izin lebih cepat hanya karena pemohon adalah tetangganya. Itu juga konflik kepentingan,” saya jelaskan.
Menjelang pukul sembilan, saya
memberikan kesempatan peserta untuk bertanya bebas. Seorang peserta bertanya,
“Pak, kalau kita diminta menghadiri acara keluarga di jam kerja, apakah itu
bisa disebut konflik kepentingan?” Saya menjawab bahwa itu lebih tepat disebut
pelanggaran disiplin waktu, bukan konflik kepentingan, kecuali acara keluarga
itu berkaitan dengan pengambilan keputusan di kantor.
Waktu berjalan cepat, dan saya mulai
menyimpulkan. Saya mengatakan bahwa konflik kepentingan adalah musuh dalam
selimut. Ia tidak selalu terlihat jahat, tetapi dampaknya bisa merusak
integritas ASN dan meruntuhkan kepercayaan publik. Oleh karena itu, setiap ASN
harus berani mengenali, menghindari, dan melaporkan potensi konflik
kepentingan.
Akhirnya, sebelum sesi ditutup pukul
09.50, saya memberikan pesan penutup: “Integritas itu mahal harganya. Jangan
dikorbankan hanya demi keuntungan sesaat. Ingatlah bahwa Anda semua adalah
harapan masyarakat, dan setiap keputusan Anda akan menentukan wajah birokrasi
kita.” Para peserta memberikan tepuk tangan virtual, ada yang mengacungkan
jempol, ada pula yang menuliskan ucapan terima kasih di kolom chat.
Saya pun menutup kelas dengan doa
singkat dan ucapan terima kasih. Rasanya lega melihat antusiasme mereka,
sekaligus bangga bahwa generasi baru ASN Jawa Barat sudah mulai menanamkan
nilai integritas sejak dini.
Bandung, 23 Agustus 2025
Komentar
Posting Komentar