KONFLIK KEPENTINGAN
Pengertian, sumber dan Bagaimana
pengelolaannya bagi seorang ASN
Pagi ini, Sabtu 23 Agustus 2025,
suasana pembelajaran daring terasa cukup istimewa karena para peserta Latsar
CPNS Jawa Barat Angkatan 8 Kelompok 2 sudah siap menerima materi yang sangat
krusial bagi seorang ASN , walaupun sempat tertunda beberapa menit karena
terjadi miskomunikasi dengan pengamat kelas. Jam menunjukan 08.16 wib Ketika saya
memulai pembelajaran dipagi hari ini. Semangat mereka terpancar dari
wajah-wajah yang muncul di layar Zoom, meskipun sebagian tampak masih
menyiapkan kopi atau teh hangat di meja masing-masing. Sebagai fasilitator,
saya memulai kelas dengan sapaan hangat, “Selamat pagi rekan-rekan semua, bagaimana
kabarnya hari ini? Mudah-mudahan tetap sehat, semangat, dan siap belajar.”
Sapaan itu langsung disambut dengan senyum dan anggukan.
Saya kemudian menjelaskan bahwa
materi hari ini akan membahas Konflik Kepentingan, sebuah topik yang
sering dianggap sensitif tetapi justru sangat penting untuk dipahami sejak awal
seorang ASN memulai kariernya. Saya membuka dengan cerita ringan: “Bayangkan
kalian diminta panitia pengadaan barang di kantor, lalu ternyata salah satu penyedia
barang adalah kerabat dekat. Apa yang akan kalian lakukan? Di sinilah kita
bicara soal konflik kepentingan.” Para peserta tampak mulai fokus, ada yang
mengangguk, ada pula yang tersenyum karena merasa pernah mendengar kasus
serupa.
Setelah itu saya menjelaskan definisi dasar konflik kepentingan. Saya katakan bahwa konflik kepentingan adalah situasi ketika kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok tertentu bisa memengaruhi objektivitas dan profesionalisme seorang ASN dalam mengambil keputusan. Saya menekankan bahwa konflik kepentingan bukan sekadar soal gratifikasi atau suap, tetapi lebih luas, termasuk ketika ada potensi ketidakadilan dalam pelayanan publik.
Peserta pertama yang saya ajak
berdiskusi adalah Alfi Aldriyan. Saya bertanya, “Mas Alfi, menurut Anda, apakah
konflik kepentingan itu selalu berarti korupsi?” Ia menjawab dengan hati-hati,
“Tidak selalu, Pak. Bisa jadi hanya potensi saja, tetapi kalau tidak dicegah,
bisa mengarah ke perilaku koruptif.” Saya pun mengangguk sambil menegaskan
bahwa jawaban itu benar.
Kemudian saya memancing peserta lain
untuk berbagi pengalaman di kantornya. Salah satu peserta menceritakan, di
kantornya pernah ada situasi di mana pegawai diminta memilih vendor untuk
kegiatan pelatihan. Kebetulan salah satu vendor adalah perusahaan milik
keluarganya. Ia merasa serba salah, karena di satu sisi ingin membantu
keluarganya, tetapi di sisi lain sadar bahwa itu tidak etis. Peserta itu
berkata, “Akhirnya saya mundur dari kepanitiaan, Pak, karena takut dianggap
berpihak.” Saya memuji sikap itu sebagai langkah tepat dalam menghindari
konflik kepentingan.
Saya melanjutkan dengan memberikan contoh konkret dari dunia birokrasi. Misalnya, seorang ASN yang ditugaskan sebagai pejabat pembuat komitmen tetapi ternyata memiliki hubungan pertemanan dekat dengan salah satu penyedia jasa. Walaupun tidak ada transaksi yang mencurigakan, hubungan kedekatan ini bisa menimbulkan persepsi negatif. Saya menekankan bahwa persepsi publik sangat penting, karena integritas ASN dinilai bukan hanya dari kenyataan, tetapi juga dari bagaimana masyarakat melihatnya.
Diskusi makin hangat ketika salah
satu peserta bernama Afiyanti menceritakan pengalamannya. Ia berkata, “Pak, di
kantor saya sering ada tekanan dari atasan yang menyarankan agar saya memilih
vendor tertentu. Kadang sulit menolak, karena kalau menolak bisa dianggap tidak
loyal.” Saya menjawab dengan tenang bahwa situasi seperti itu memang nyata
terjadi di banyak instansi. Solusinya adalah tetap berpegang pada aturan,
memperkuat dokumentasi, dan berani menyampaikan alasan profesional. “Kalau kita
punya dasar hukum yang kuat, penolakan kita bukan karena pribadi, tetapi karena
aturan,” saya jelaskan.
Saya lalu menayangkan slide berisi
enam bentuk umum konflik kepentingan di ASN: nepotisme, kolusi, rangkap
jabatan, penggunaan informasi internal untuk keuntungan pribadi, menerima
hadiah, dan intervensi dari pihak luar. Para peserta tampak mencatat serius,
bahkan ada yang mengajukan pertanyaan tentang rangkap jabatan. Salah satunya
bertanya, “Pak, apakah menjadi pengurus koperasi di kantor bisa dianggap
konflik kepentingan?” Saya menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak masalah,
selama tidak ada benturan dengan tugas pokok dan fungsi serta tidak menimbulkan
keuntungan pribadi yang memengaruhi kebijakan.
Setelah itu, saya membuat simulasi sederhana. Saya berkata, “Bayangkan Anda menjadi panitia lelang, lalu salah satu peserta lelang adalah saudara sepupu Anda. Apa yang sebaiknya Anda lakukan?” Peserta menjawab beragam. Ada yang bilang mundur dari kepanitiaan, ada pula yang bilang tetap ikut tapi transparan. Saya kemudian meluruskan bahwa mundur adalah langkah terbaik untuk menjaga objektivitas.
Diskusi kemudian berlanjut dengan
tanya jawab ringan. Saya bertanya, “Kalau Anda diminta teman lama untuk
mempercepat proses tanda tangan dokumen, apakah itu termasuk konflik
kepentingan?” Beberapa peserta menjawab “ya”, yang lain agak ragu. Saya lalu menjelaskan
bahwa meskipun tampak sepele, mempercepat layanan untuk teman bisa dianggap
konflik kepentingan, karena melanggar prinsip keadilan pelayanan publik.
Selama sesi berlangsung, beberapa
peserta terlihat sangat aktif, sementara yang lain lebih banyak mendengarkan.
Saya berusaha melibatkan semua dengan cara memanggil nama mereka satu per satu.
Misalnya saya berkata, “Bagaimana menurut Anda, Mba Ari, kalau seorang ASN
menerima diskon khusus dari penyedia barang yang biasa berhubungan dengan
kantornya?” Mas Yudi menjawab, “Itu jelas konflik kepentingan, Pak, karena ada
keuntungan pribadi.” Jawaban itu membuat peserta lain ikut mengangguk setuju.
Saya juga menekankan bahwa konflik kepentingan tidak selalu berupa uang. Kadang bentuknya adalah fasilitas, peluang, atau bahkan sekadar prioritas layanan. “Misalnya ada ASN yang memproses permohonan izin lebih cepat hanya karena pemohon adalah tetangganya. Itu juga konflik kepentingan,” saya jelaskan.
Menjelang pukul sembilan, saya
memberikan kesempatan peserta untuk bertanya bebas. Seorang peserta bertanya,
“Pak, kalau kita diminta menghadiri acara keluarga di jam kerja, apakah itu
bisa disebut konflik kepentingan?” Saya menjawab bahwa itu lebih tepat disebut
pelanggaran disiplin waktu, bukan konflik kepentingan, kecuali acara keluarga
itu berkaitan dengan pengambilan keputusan di kantor.
Waktu berjalan cepat, dan saya mulai
menyimpulkan. Saya mengatakan bahwa konflik kepentingan adalah musuh dalam
selimut. Ia tidak selalu terlihat jahat, tetapi dampaknya bisa merusak
integritas ASN dan meruntuhkan kepercayaan publik. Oleh karena itu, setiap ASN
harus berani mengenali, menghindari, dan melaporkan potensi konflik
kepentingan.
Akhirnya, sebelum sesi ditutup pukul
09.50, saya memberikan pesan penutup: “Integritas itu mahal harganya. Jangan
dikorbankan hanya demi keuntungan sesaat. Ingatlah bahwa Anda semua adalah
harapan masyarakat, dan setiap keputusan Anda akan menentukan wajah birokrasi
kita.” Para peserta memberikan tepuk tangan virtual, ada yang mengacungkan
jempol, ada pula yang menuliskan ucapan terima kasih di kolom chat.
Saya pun menutup kelas dengan doa
singkat dan ucapan terima kasih. Rasanya lega melihat antusiasme mereka,
sekaligus bangga bahwa generasi baru ASN Jawa Barat sudah mulai menanamkan
nilai integritas sejak dini.
Bandung, 23 Agustus 2025
terimakasih atas tulisannya yang sangat menarik pak Budy, saya menjadi paham mengenai konflik kepentingan benar seperti musuh dalam selimut karena terkadang tidak sadar kita melakukan hal itu dan tidak selalu terlihat jahat. integritas seorang ASN itu sangat mahal harganya dan juga seorang ASN adalah harapan masyarakat karena merupakan wajah pertama dari pemerintahan. Sekali lagi terimakasih banyak pak untuk tulisannya. -Feranisa Ramdania, Latsar CPNS Kab Bogor 7 Kelompok 4-
BalasHapusPada hari Sabtu tanggal 23 Agustus 2025, Bapak Budy Hermawan, melaksanakan kelas daring Latsar bersama para peserta CPNS Jawa Barat Angkatan 8 Kelompok 2.
BalasHapusMateri yang dibahas adalah Konflik Kepentingan, sebuah topik krusial bagi ASN. Pak Budy membuka sesi dengan kasus ringan yang memancing diskusi, seperti situasi dimana panitia pengadaan barang memiliki kerabat sebagai salah satu penyedia. Kemudian Pak Budy menjelaskan bahwa konflik kepentingan adalah situasi di mana kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok memengaruhi objektivitas dan profesionalisme seorang ASN. Ia menekankan bahwa ini tidak hanya seputar korupsi, tetapi juga potensi ketidakadilan dalam pelayanan. Melalui diskusi, peserta seperti Alfi Aldriyan memahami bahwa konflik kepentingan tidak selalu sama dengan korupsi, tetapi dapat mengarah kesana jika tidak dicegah. Peserta lain, Afiyanti, berbagi pengalaman tentang tekanan dari atasan untuk memilih vendor tertentu. Pak Budy menyarankan agar ASN berpegang pada aturan dan memperkuat dasar hukum. Kelas juga menyajikan enam bentuk umum konflik kepentingan: nepotisme, kolusi, rangkap jabatan, penggunaan informasi internal untuk keuntungan pribadi, penerimaan hadiah, dan intervensi dari pihak luar. Melalui simulasi, Pak Budy mengajak peserta memikirkan solusi praktis, seperti mundur dari kepanitiaan lelang yang melibatkan kerabat. Diskusi juga menyentuh hal-hal kecil, seperti mempercepat layanan untuk teman, yang juga dianggap konflik kepentingan karena melanggar prinsip keadilan.Sesi ditutup dengan pesan yang kuat: Integritas itu mahal harganya. Pak Budy mengingatkan para peserta bahwa CPNS dalam hal ini sebagai bagian dari ASN adalah harapan masyarakat dan setiap keputusan yang dihasilkan akan membentuk wajah birokrasi.
makasi pak, materi tentang konflik kepentingan tersampaikan jelas: definisi, bentuk-bentuk umum (nepotisme, kolusi, rangkap jabatan, hadiah, dll.), hingga contoh nyata yang relevan dengan pengalaman ASN. bapak dapat membangun interaksi—memberi pertanyaan, simulasi kasus, dan merespons pengalaman peserta. Hal ini membuat suasana kelas terasa partisipatif, reflektif, sekaligus aplikatif.
BalasHapustentang konflik kepentingan pada ASN, yaitu situasi ketika kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok tertentu dapat memengaruhi objektivitas dan profesionalisme dalam mengambil keputusan. Konflik kepentingan tidak selalu identik dengan korupsi, tetapi berpotensi mengarah ke perilaku koruptif bila tidak dicegah. Contoh yang muncul antara lain pemilihan vendor yang masih ada hubungan keluarga, tekanan dari atasan untuk memilih pihak tertentu, menerima fasilitas atau diskon khusus, hingga mempercepat layanan bagi orang dekat. Solusi yang ditekankan adalah menjaga transparansi, berpegang pada aturan, memperkuat dokumentasi, dan berani mengambil langkah etis seperti mundur dari kepanitiaan. Intinya, integritas ASN sangat bergantung pada kemampuan mengenali, menghindari, dan mengelola potensi konflik kepentingan. ~Yuda Fajar Panji Aragani, Latsar CPNS Kab Bogor 7 Kelompok 4~
BalasHapusTulisan yang sangat relevan dengan realitas yang terjadi dalam dinamika penyelengara pemerintahan, dimana konflik nyata yang memang terjadi di berbagai instansi yang ada saat ini. Beberapa konflik kepentingan yang sering muncul antara lain nepotisme, kolusi, pengambilan kebijakan maupun keputusan yang tidak objektif (akuntabel). Itu semua harus kita pahami dan bisa kita cegah dengan penanaman nilai AKHLAK yang ada pada ASN.
BalasHapusASN wajib mengenali, menghindari, dan mengelola konflik kepentingan mulai dari hal kecil, dengan berpegang teguh pada integritas, ASN dapat meminimalisis konflik tersebut sehingga kepercayaan publik dan citra ASN sebagai garda terdepan pelayanan publik bisa lebih baik dan diapresiasi oleh masyarakat.
Kadang kala kita lupa sesungguhnya, suatu kebijakan yang kita buat bisa merugikan masyarakat, dirinya sendiri bahkan keluarganya kelak. Dengan menjadi ASN yang berpegang teguh pada prinsip nilai Ber-AKHLAK, kita bisa menjadi ASN yang tangguh dan dipercaya masyarakat. Selain itu keberkahan bisa kita dapatkan dari profesi ini sebagaimana masyarkat yang mendoakan atau bersyukur atas kebijakan maupun keputusan yang diambil oleh kita.
Tulisan yang sangat menarik dan bisa dipahami dengan baik, Pak Budy. Saya akan mencoba merangkum tulisan bapak. Konflik kepentingan adalah situasi dimana kepentingan pribadi/keluarga/kelompok tertentu memengaruhi objektivitas dan professionalisme ASN dalam mengambil keputusan. Konflik kepentingan seperti musuh dalam selimut, dan terlihat sebagai kesalahan yang tidak fatal seperti korupsi, tetapi jika tidak dihentikan bisa mengarah ke korupsi. Bentuk dari konflik kepentingan tidak hanya berupa uang, tetapi bisa berupa fasilitas atau bahkan sekedar prioritas pelayanan. Sebagai ASN, kita harus bisa mengenali, menghindari, menolak, dan melaporkan konflik kepentingan, agar terwujud pelayanan yang berintegritas dan mampu dipercaya oleh masyarakat.
BalasHapus(Latsar Kab.Bogor7_Ellena Rosmayanti)
Assalamulaikum Wr. Wb. Izin berkomentar untuk tulisan bapak mengenai Konflik Kepentingan ini.
BalasHapusTidak dapat dipungkiri, dalam dunia birokrasi mungkin tidak hanya di lingkungan birokrasi tapi hampir disemua lingkungan kehidupan bermasyarakat pasti akan beririsan dengan konflik kepentingan. Konflik kepentingan ini seringkali hanya membawa kerugian apabila kegiatan ini menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak. Seperti yang dicontohkan di dalam tulisan bapak, di dalam dunia birokrasi tentu konflik kepentingan ini lebih banyak membawa mudharat daripada membawa manfaat. Mulai dari permainan dalam hal pengadaan, kerjasama "yang saling menguntungkan" antara pelaksana pengadaan dengan pihak ketiga serta perilaku-perilaku lainnya.
Konflik kepentingan yang terjadi di dunia aparatur Sipil Negara menurut saya mencederai Core Value ASN. Core Value pertama adalah akuntabel. Dengan terjadinya konflik kepentingan, Seharusnya setiap PNS bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan yang diambil dengan transparan serta Konflik kepentingan membuat keputusan jadi bias, tidak objektif, dan menguntungkan pihak tertentu, sehingga akuntabilitas hilang. Yang kedua adala nilai loyal, Konflik kepentingan justru menunjukkan ketidakloyalan terhadap mandat jabatan dan tugas negara. kemudian adalah nilai Harmonis, Bila ada konflik kepentingan, PNS lebih condong ke kepentingan pribadi/kelompok, sehingga dapat merusak kepercayaan publik dan keharmonisan dalam pelayanan.
Maka dari itu, konflik kepentingan hrus dihindari oleh semua ASN karena samngat tidak relevan dengan semangat Core Values ASN yaitu BerAKHLAK.
Sekian dan hatur nuhun, pak.
Konflik kepentingan memang menjadi isu yang sering terjadi dilingkungan ASN. kita sebagai ASN terikat dengan panca prasetya korpri yaitu point mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat diatas kepentingan pribadi dan golongan, namun point tersebut menjadi hal yang sulit diwujudkan oleh beberapa ASN karena adanya konflik kepentingan. seperti yang disimpulkan oleh Bapak Budy, bahwa konflik kepentingan adalah musuh dalam selimut, sejalan dengan pemikiran saya bahwa konflik kepentingan sering kali tersembunyi dan sulit dideteksi, namun dampaknya sistemik. Saya berpendapat bahwa pencegahan konflik kepentingan tidak cukup hanya melalui regulasi, tetapi juga harus dibarengi dengan pembentukan karakter dan budaya etika yang kuat di internal birokrasi.
BalasHapusKonflik kepentingan memang sering terjadi dalam dunia pemerintahan, maka jika seorang ASN memiliki kepentingan pribadi tentu hal tersebut dapat dapat memengaruhi objektivitas dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya. Situasi ini secara langsung berlawanan dengan nilai-nilai dasar ASN BerAKHLAK karena mengikis kepercayaan publik dan berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang.
BalasHapusTerima kasih.
Materi konflik kepentingan diposisikan sebagai isu krusial bagi ASN, karena menyangkut integritas, profesionalisme, dan kepercayaan publik. Fasilitator berhasil membangun suasana belajar yang hidup dengan memadukan teori, simulasi kasus, dan diskusi pengalaman peserta. Hal ini menunjukkan bahwa konflik kepentingan tidak selalu berupa tindakan koruptif, tetapi juga potensi ketidakadilan yang merusak persepsi publik, misalnya memilih vendor keluarga, menerima fasilitas khusus, atau mempercepat layanan bagi kerabat. Dari sesi ini, peserta disadarkan bahwa integritas ASN harus dijaga tidak hanya dalam kenyataan, tetapi juga dalam pandangan masyarakat. Pada akhirnya, pesan moral yang ditekankan adalah bahwa ASN wajib mengelola konflik kepentingan dengan mengenali, menghindari, dan melaporkan, karena integritas yang terjaga akan menjadi fondasi utama birokrasi yang bersih dan terpercaya.
BalasHapusSebagai ASN, saya harus mampu menghindari konflik kepentingan dengan berpegang pada nilai-nilai BerAKHLAK. Integritas dan akuntabilitas adalah kunci menjaga kepercayaan publik, karena pelayanan harus adil tanpa dipengaruhi kepentingan pribadi. Bagi saya, seperti kata-kata bapak menjaga integritas jauh lebih berharga daripada keuntungan sesaat.
BalasHapusDengan kondisi seperti saat ini kepentingan pribadi atau golongan dapat berpotensi memengaruhi keputusan yang seharusnya dibuat demi kepentingan publik atau organisasi. Konflik kepentingan sering kali muncul dari faktor seperti hubungan kekerabatan, hubungan bisnis, atau kepentingan politik yang tidak sejalan dengan tugas pokok dan fungsi. Bentuknya pun bisa beragam, seperti menerima gratifikasi, menyalahgunakan jabatan, atau memberikan perlakuan khusus kepada pihak tertentu. Dampak dari konflik kepentingan sangat merugikan, termasuk menurunnya kualitas pelayanan publik, hilangnya kepercayaan masyarakat, serta kerugian finansial bagi negara atau organisasi. Dengan adanya artikel dari Pak Budy ini maka menekankan pentingnya transparansi, pembuatan regulasi yang jelas, dan penegakan hukum yang tegas sebagai upaya pencegahan. Sebab pencegahan dan penanganan konflik kepentingan adalah kunci untuk mewujudkan ASN yang berpegang teguh pada nilai-nilai BerAKHLAK dan mampu memberikan pelayanan publik yang prima.
BalasHapusSecara umum sangat penting penerapan nilai-nilai BerAKHLAK dalam menghadapi konflik kepentingan. Nilai Akuntabel adalah fondasi utama dalam menangani konflik kepentingan karena menuntut seorang ASN untuk bertindak transparan, jujur, dan profesional dalam mengambil keputusan, seperti contoh salah satu keputusan untuk mundur dari kepanitiaan pengadaan barang demi menjaga objektivitas ASN dalam konflik kepentingan pemilihan vendor. Kedua, nilai Harmonis sangat relevan karena konflik kepentingan dapat merusak hubungan di tempat kerja jika ASN tidak berani menolak tekanan dari atasan yang tidak etis, sehingga dibutuhkan sikap profesional untuk menjaga suasana kondusif. Ketiga, nilai Loyal terlihat jelas karena seorang ASN sejati harus mengutamakan kesetiaan kepada negara dan sumpah jabatannya, bukan kepada kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok. Dengan demikian integritas seorang ASN dinilai dari keberaniannya untuk menegakkan prinsip-prinsip etika BerAKHLAK, yang pada akhirnya akan menentukan kualitas pelayanan publik dan kepercayaan masyarakat.
BalasHapuskonflik kepentingan adalah situasi yang bisa menggoyahkan integritas ASN jika tidak dikelola dengan baik. Untuk itu, ASN harus berpegang pada nilai BerAKHLAK: melayani masyarakat dengan adil, bekerja jujur dan akuntabel, serta mampu mengenali dan menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan keberpihakan. ASN juga perlu menjaga hubungan baik tanpa mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaan, tetap setia pada aturan dan kepentingan publik, serta saling mengingatkan agar birokrasi tetap bersih dan dipercaya Masyarakat
BalasHapusKonflik Kepentingan adalah musuh dalam selimut, tidak selalu tampak, tapi bisa merusak fondasi birokrasi. Maka, setiap ASN dituntut untuk jujur, berani, dan konsisten dalam mengenali, menghindari, serta melaporkan potensi konflik. Karena pada akhirnya, wajah birokrasi Indonesia ditentukan oleh keberanian para ASN menjaga nilai-nilai BerAKHLAK dalam setiap langkah pengabdiannya.
BalasHapusKonflik kepentingan terjadi ketika seorang pejabat atau pegawai memiliki kepentingan pribadi (finansial atau lainnya) yang berpotensi memengaruhi objektivitas atau independensi dalam menjalankan tugasnya. Secara langsung bertentangan dengan semua nilai dasar ASN.
BalasHapusSebagai ASN, penting untuk selalu menjaga nilai-nilai dasar BerAKHLAK dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil. Menghindari konflik kepentingan dan selalu mengutamakan kepentingan publik akan memastikan bahwa pelayanan yang diberikan tetap berkualitas, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Latsar_Ciamis5_30_Salsha Nur Fadilah
BalasHapusKonflik kepentingan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah situasi di mana seorang ASN memiliki kepentingan pribadi yang dapat memengaruhi objektivitas dan netralitasnya dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya atau merupakan benturan antara tanggung jawab publik dan kepentingan pribadi. Salah satu contoh dari konflik kepentingan ini adalah korupsi di lingkungan birokrasi, karena dapat merusak kepercayaan publik dan merugikan negara. Nilai-nilai dasar ASN (BerAKHLAK) hadir dan berfungsi sebagai benteng moral dan etika untuk mencegah dan mengatasi konflik kepentingan. Dengan mengamalkan nilai-nilai ini, akan mampu mengidentifikasi, mencegah, dan mengatasi situasi konflik kepentingan. Dengan itu, setiap ASN dapat menjaga integritas, profesionalisme, dan akuntabilitasnya, sehingga dapat mencegah dan mengatasi konflik kepentingan demi terwujudnya birokrasi yang bersih dan melayani.
Latsar_Majalengka5_01_Abdul Somad
BalasHapusSaya mengutip satu Poin utama yang sangat mengena yaitu menyebut Konflik Kepentingan sebagai 'musuh dalam selimut'. Ini menggambarkan dengan tepat bagaimana benturan kepentingan seringkali muncul dalam situasi yang abu-abu dan tidak terdeteksi, jauh sebelum mencapai tahap korupsi. Misalnya, kasus yang dicontohkan tentang memberi perlakuan istimewa (prioritas layanan) kepada teman atau kerabat. Hal-hal sepele ini, jika diakumulasi, akan merusak objektivitas dan prinsip keadilan publik yang seharusnya dijunjung tinggi oleh ASN.
Penekan bahwa 'Integritas itu mahal harganya,' adalah pesan moral terkuat. Ini sejalan dengan upaya mewujudkan Core Value ASN BerAKHLAK, di mana akuntabilitas dan loyalitas terhadap negara harus ditempatkan di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Saya amat tertarik terhadap tulisan mengenai tulisan yang telah bapak buat, konflik kepentingan memang selalu menjadi bahan diskusi yang tidak pernah ada habisnya. Sebagai Calon ASN saya menyadari bahwa tantangan emosional yang dihadapi di pemerintahan tidaklah mudah. Pantaslah ASN harus benar benar memahami nilai nilai dasar BerAKHLAK. contoh pada tulisan bapak seperti menerima diskon khusus dari penyedia barang yang biasa berhubungan dengan kantor adalah hal yang terlihat kecil dan sering kita temui sehari-hari bahkan terlihat seperti "hal yang wajar" namun dampak dari ini memberikan peluang terjadinya penyelewengan keputusan, dan gratifikasi. Maka selain BerAKHLAK maka perlunya integritas pada diri setiap ASN.
BalasHapusAparatur Sipil Negara (ASN) adalah pelayan publik yang memiliki tugas utama untuk menjalankan kebijakan negara serta memberikan pelayanan yang profesional, adil, dan bebas dari intervensi kepentingan pribadi maupun kelompok. Namun dalam praktiknya, ASN tidak terlepas dari potensi konflik kepentingan. Konflik kepentingan muncul ketika seorang ASN menghadapi situasi di mana kepentingan pribadi, keluarga, atau pihak tertentu dapat memengaruhi netralitas, objektivitas, dan integritas dalam pengambilan keputusan. Keterkaitan ASN dengan konflik kepentingan cukup erat karena posisi ASN berada pada titik strategis dalam birokrasi. Mereka terlibat langsung dalam proses perumusan kebijakan, pengelolaan anggaran, maupun pelayanan masyarakat. Apabila konflik kepentingan tidak dikelola dengan baik, risiko yang muncul adalah terganggunya kualitas pelayanan publik, menurunnya kepercayaan masyarakat, serta terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu, penting bagi ASN untuk memiliki kesadaran etis serta mematuhi aturan hukum dan kode etik yang berlaku. Regulasi seperti Undang-Undang ASN dan aturan tentang larangan rangkap jabatan maupun penerimaan gratifikasi menjadi instrumen penting untuk mencegah konflik kepentingan. Selain itu, transparansi, pengawasan, dan budaya integritas dalam birokrasi harus terus diperkuat agar ASN benar-benar dapat bekerja untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan demikian, keterkaitan ASN dengan konflik kepentingan bukanlah hal yang bisa diabaikan. ASN harus mampu mengidentifikasi potensi konflik sejak dini dan mengelolanya secara bijak, sehingga profesionalisme dan netralitas dalam menjalankan tugas tetap terjaga, dan kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi semakin meningkat. Hadirnya pak Budy disini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengedukasi calon-calon kandidat ASN di lingkungan birokrasi, yang mana merupakan cikal bakal peningkatan atau penurunan kualitas ASN. Namun, Indikator meningkat tau menurunnya kualitas ASN Kembali lagi kepada diri ASN itu masing-masing, pak Budy mengjar dengan harapan murid-muridnya menjadi penggerak birokasi.
BalasHapussaya sangat tertarik dengan pembahasan di artikel ini yang telah ditulis oleh Bapak Budi, dimana saya menyimpulkan bahwa konflik kepentingan diibaratkan dengan "pagar makan tanaman" yang mengancam integritas pelayanan publik. Ancaman ini tidak hanya berupa suap, tetapi juga tindakan kecil seperti memihak pada satu "perusahaan/bendera" yang mengikis keadilan dan objektivitas. Dalam artikel ini menekankan bahwa integritas merupakan kunci utama yang harus diutamakan di atas keuntungan pribadi, dimana hal tersebut sejalan dengan nilai inti ASN BerAKHLAK. Oleh karena itu, pencegahan menjadi pokok penting, terutama melalui penanaman kesadaran sejak dini pada saat pelatihan dasar. Pada intinya, perang melawan konflik kepentingan adalah perjuangan fundamental untuk menjaga kepercayaan publik, yang dimulai dari kesadaran dan komitmen setiap individu aparatur negara.
BalasHapusKonflik kepentingan harus kita dihindari karena dapat mengganggu objektivitas, menurunkan kepercayaan publik, dan berpotensi merugikan pihak lain. Diperlukan sikap transparan dan integritas agar keputusan yang diambil tetap adil dan profesional
BalasHapusTerimakasih atas tulisan yang menarik Pak, semakin menambah wawasan saya mengenai konflik kepentingan dan menjadi pelajaran bagi ASN baru seperti saya apabila berhadapan dengan situasi yang sama nantinya.
BalasHapusSaya setuju dengan pendapat Bapak mengenai, "konflik kepentingan adalah musuh dalam selimut", karena mungkin bagi kacamata kita bisa terlihat biasa saja tetapi belum tentu publik melihat dari kacamata yang sama. Maka dari itu demi menghindari konflik kepentingan, kita harus pandai dan berhati-hati dalam berperilaku serta mengambil keputusan. Jangan sampai keputusan yang kita ambil atau perilaku yang kita tunjukkan menimbulkan persepsi buruk di mata publik, karena belum tentu yang menurut kita baik itu juga baik di mata mereka. Apalagi bila sampai kepercayaan publik dirusak, bukan hanya citra pribadi kita saja yang dianggap buruk tetapi citra ASN secara umum akan dianggap buruk juga, maka dari itu kita sebagai ASN harus bisa menghindari konflik kepentingan agar dapat menjaga integritas ASN juga menjaga kepercayaan publik.
terimakasih sudah berbagi, pak.. Izinkan saya untuk menanggapi tulisan bapak. dalam konteks konflik kepentingan, kita sebagai ASN harus senantiasa bisa melihat kecenderungan atau masalah yang terjadi di kantor, terutama berhubungan dengan kepentingan. Dari beberapa kasus yang disampaikan oleh peserta Latsar diatas, cukup menggambarkan kondisi ang terjadi di kantor-kantor ang memang butuh ilmu khusus dan keterampilan untuk mengatasinya. semoga nanti setelah berdiskusi dengan bapak, saya dan teman teman majalengka bisa lebih paham mengenai masalah atau majemen knflik kepentingan di lingkungan kantor selaku kami selaku ASN
BalasHapusArtikel dengan pembahasan yang sangat menarik, Pak. Sebagai ASN, setiap individunya harus menjunjung tinggi nilai Akuntabel sesuai dengan salah satu nilai core values ASN BerAkhlak. Akuntabel berarti bekerja secara transparan, jujur, dapat dipertanggungjawbkan, dan tidak menyalahgunakan jabatan atau wewenang. Konflik kepentingan bisa dicegah dari dini dengan mengenali dan menilai dengan objektif apakah suatu kebijakan dan keputusan yang dibuat berpotensi menguntungkan atau tidak untuk sebagian pribadi/ kelompok tertentu. Sikap ASN terhadap konflik kepentingan yaitu tidak boleh menggunakan jabatan dan wewenang untuk mencari keuntungan sebagian pribadi/kelompok. Jabatan dan wewenang ASN harus digunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara. Selain itu, ASN dilarang menerima gratifikasi atau hadiah dari suatu kelompok agar ASN itu tidak merasa ada hutang budi yang dapat mempengaruhi objektivitas dalam membuat kebijakan atau keputusan. Sebagai ASN perlu memiliki prinsip netral, tidak berpihak pada partai politik atau kepentingan bisnis. Sikap netral ini menjadi kunci agar pelayanan yang diberikan secara adil dan tanpa diskirimasi, serta bebas dari intervensi kepentingan.
BalasHapusLatsar_Majalengka5_38_Zoel Boy Herianto
BalasHapusMateri konflik kepentingan di atas seru banget :D, meskipun ada momen yang bikin saya sedikit “greget”. Misalnya ketika ada peserta yang langsung mundur dari kepanitiaan karena takut dianggap berpihak :( Dalam hati saya mikir, “loh, kenapa nggak tetap lanjut tapi pilih vendor lain aja?”
Menurut saya, keluarga juga tetap punya hak yang sama untuk ikut bersaing secara adil, asalkan prosesnya transparan. Saya sendiri masih harus banyak belajar soal ini, apalagi setelah membaca Peraturan Pengelolaan Konflik Kepentingan Nomor 17 Tahun 2024. Bagian yang paling bikin saya tertarik adalah Pencatatan Daftar Kepentingan Pribadi (registering interest), karena menurut saya ini bisa jadi cara yang sangat baik untuk jujur sejak awal tanpa langsung dicap negatif.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSebagai peserta Latsar, saya merasa tulisan ini sangat membantu dalam membentuk cara pandang saya terhadap tugas sebagai ASN. Saya tidak hanya belajar tentang aturan, tetapi juga tentang nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi.
BalasHapusContoh-contoh yang diberikan sangat membumi. Misalnya, tentang pejabat yang merangkap sebagai ketua panitia pengadaan, atau tentang CPNS yang diminta membantu proyek keluarga. Situasi seperti ini sangat mungkin terjadi di lapangan, dan saya merasa perlu memiliki prinsip yang kuat agar tidak terjebak dalam konflik kepentingan. Terimakasih juga memberikan solusi yang konkret, seperti membuat dokumentasi, mengundurkan diri dari posisi yang rawan, dan berani berkata “tidak” dengan dasar aturan.