Maulid Nabi 2025 dan Krisis Keteladanan Bangsa
oleh
Budy Hermawan
Maulid Nabi Muhammad SAW pada tahun
2025 kembali menjadi momentum penting bagi umat Islam di Indonesia untuk
merenungkan perjalanan hidup sang teladan agung. Perayaan maulid bukan sekadar
rutinitas tahunan dengan lantunan shalawat, ceramah, dan doa bersama, melainkan
juga sebuah ajakan untuk bercermin: sejauh mana kita sebagai bangsa benar-benar
meneladani akhlak Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari, terutama di
tengah kondisi bangsa yang sedang dilanda berbagai krisis, mulai dari maraknya
kasus korupsi, rendahnya etika pejabat publik, hingga melemahnya kepercayaan
rakyat kepada pemimpinnya.
Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS.
Al-Ahzab: 21).
Ayat ini menjadi dasar bahwa Nabi
Muhammad adalah role model bagi umat manusia. Namun, kondisi bangsa kita justru
menunjukkan jauhnya perilaku sebagian pemimpin dari teladan tersebut.
Ketika kita membaca kembali sejarah
Nabi, yang muncul adalah sosok yang penuh ketulusan, jujur, amanah, sederhana,
dan mengutamakan kepentingan umat di atas dirinya sendiri. Gelar Al-Amin yang
melekat pada diri beliau jauh sebelum diangkat menjadi Rasul adalah bukti bahwa
integritas sudah menjadi identitas. Nabi memimpin bukan untuk memperkaya diri,
melainkan untuk mengangkat derajat manusia, menegakkan keadilan, dan menghapus
praktik penindasan. Sungguh jauh berbeda dengan kondisi sebagian pejabat di negeri
kita yang justru terjebak pada korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kita bisa melihat kasus korupsi
bantuan sosial, pengadaan barang dan jasa, atau perjalanan dinas fiktif yang
terus muncul di berita. Di saat rakyat menghadapi kesulitan ekonomi, masih ada
oknum yang tega merampas hak-hak masyarakat demi kepentingan pribadi. Padahal
Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan
setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Hadis ini seharusnya melekat kuat
pada diri para pejabat publik. Jabatan adalah amanah, bukan kesempatan untuk
mencari keuntungan pribadi. Namun ironisnya, masih banyak yang memperlakukan
jabatan seolah-olah jalan pintas menuju kekayaan.
Maulid Nabi seharusnya menjadi pengingat keras bahwa kepemimpinan bukanlah sarana untuk memperkaya diri, melainkan amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Rasulullah SAW memimpin dengan kesederhanaan yang luar biasa. Beliau tidur di atas tikar kasar, makan seadanya, bahkan ketika memiliki kesempatan untuk hidup mewah. Beliau menolak kemewahan karena khawatir terjerumus pada kesombongan. Sementara itu, sebagian pemimpin kita lebih bangga memperlihatkan kekayaan, fasilitas mewah, dan gaya hidup hedonis yang semakin menambah jarak dengan rakyat. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terkikis, bahkan muncul rasa muak terhadap elit politik.
Etika politik bangsa juga sedang
berada di titik rawan. Alih-alih mengutamakan musyawarah dan kepentingan rakyat
sebagaimana dicontohkan Nabi, keputusan politik sering kali lebih dipengaruhi
oleh kepentingan kelompok atau segelintir oligarki. Padahal, Rasulullah SAW
selalu melibatkan sahabat dalam mengambil keputusan, menghargai perbedaan
pendapat, dan mengutamakan maslahat bersama. Allah SWT berfirman:
“… dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 159).
Ayat ini menunjukkan bahwa musyawarah
adalah prinsip utama dalam kepemimpinan, bukan otoritarianisme atau politik
transaksional.
Tidak hanya masalah korupsi dan
politik, bangsa ini juga menghadapi krisis etika sosial. Media sosial dipenuhi
pamer kekayaan, fitnah, dan ujaran kebencian. Perbedaan politik atau keyakinan
sering dijadikan bahan perpecahan, bukan kekuatan. Padahal Nabi Muhammad SAW
melalui Piagam Madinah telah memberi contoh bagaimana menyatukan berbagai
golongan, bahkan yang berbeda agama, dalam satu tatanan masyarakat yang damai.
Beliau mengajarkan ukhuwah, persaudaraan, dan toleransi, bukan saling hujat.
Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Seorang muslim adalah saudara bagi
muslim yang lain, ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya (tersia-sia).” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Jika teladan ini kita lupakan, maka
perpecahan akan terus menggerogoti sendi-sendi bangsa.
Pendidikan akhlak menjadi kebutuhan
mendesak. Generasi muda sering terjebak dalam pragmatisme: menganggap kejujuran
hal langka, dan mengukur kesuksesan hanya dari harta dan jabatan. Padahal Nabi
menegaskan:
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Inilah esensi Maulid yang
sesungguhnya: mengingatkan kita kembali pada misi utama Rasulullah SAW. Sekolah
dan perguruan tinggi perlu lebih menekankan pembentukan karakter. Tanpa akhlak,
ilmu justru bisa disalahgunakan untuk kejahatan.
Kasus plagiarisme karya ilmiah
pejabat publik, misalnya, memperlihatkan betapa lemahnya integritas akademik di
negeri ini. Gelar tinggi sering kali dijadikan sekadar simbol status, bukan
bukti kualitas moral dan intelektual. Nabi tentu tidak akan membiarkan hal ini
terjadi. Beliau menghargai kejujuran dalam segala hal, termasuk dalam ilmu
pengetahuan.
Momentum Maulid Nabi 2025 juga sangat
relevan untuk mengingatkan pentingnya persatuan. Bangsa Indonesia sedang
menghadapi tantangan besar dalam menjaga kohesi sosial. Politik identitas,
polarisasi, dan provokasi di ruang publik membuat masyarakat mudah terpecah.
Padahal Allah mengingatkan:
“Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...” (QS. Ali
Imran: 103).
Ayat ini menegaskan pentingnya
persatuan di atas segala perbedaan.
Peringatan Maulid juga harus kita
maknai sebagai ajakan untuk kembali ke nilai kesederhanaan. Rasulullah SAW
hidup dengan penuh qanaah, menerima apa adanya, dan tidak terjebak dalam
keserakahan. Beliau bersabda:
“Bukanlah kekayaan itu karena
banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Inilah pesan yang seharusnya menjadi
dasar perilaku bangsa. Konsumerisme yang berlebihan hanya melahirkan
kesenjangan sosial.
Jika kita refleksikan lebih jauh,
masalah terbesar bangsa ini bukan hanya korupsi, tapi juga krisis moral yang
meluas. Dari tingkat elit hingga masyarakat bawah, kejujuran semakin jarang,
saling menghargai semakin hilang, dan kepedulian semakin menipis. Semua ini
bisa diperbaiki jika kita sungguh-sungguh meneladani Nabi Muhammad SAW.
Indonesia butuh pemimpin yang berani
menolak gratifikasi, yang tidak silau oleh kekayaan, dan yang siap hidup
sederhana seperti Rasulullah. Indonesia butuh masyarakat yang jujur dalam
bekerja, yang menjaga lisan di media sosial, dan yang mau bergotong royong
membantu sesama. Indonesia butuh generasi muda yang menjadikan Nabi sebagai
role model, bukan selebriti hedonis. Semua itu hanya bisa terjadi jika Maulid
Nabi kita maknai dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar ritual tahunan.
Tahun 2025 bisa menjadi titik
refleksi penting: apakah kita akan terus membiarkan bangsa ini
tenggelam dalam krisis etika, ataukah kita mau belajar dari Nabi untuk bangkit
dan memperbaiki diri. Jawabannya ada pada kita semua. Maulid Nabi adalah ajakan
untuk kembali pada akhlak mulia, kembali pada amanah, kembali pada
kesederhanaan, dan kembali pada persatuan. Jika bangsa ini mampu menjadikan
teladan Nabi sebagai dasar hidup berbangsa dan bernegara, maka Indonesia akan
bangkit, berdaulat, dan bermartabat. Jika tidak, maka krisis keteladanan ini
akan terus menggerogoti, hingga kepercayaan rakyat benar-benar habis.
Komentar
Posting Komentar